Jakarta (ANTARA) - Kebijakan pengembangan secara masif pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di atap gedung atau rumah (rooftop photovoltaic power station) dinilai sangat bagus untuk menurunkan ketergantungan pada listrik berbahan bakar fosil.
Akan tetapi, dalam keterangannya kepada media, Selasa, Dosen ekonomi energi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Dr Yayan Satiyakti mengatakan berkaca pada pasar yang relatif berhasil mengembangkan teknologi ini, yaitu Uni Eropa, untuk menyukseskan inovasi yang baik ini di Indonesia maka harus memenuhi beberapa catatan.
Pertama, terkait permintaan dari rooftop PV atau PLTS atap, apakah kesediaan orang Indonesia menggunakan teknologi ini sudah tinggi atau belum.
Menurut Yayan, teknologi ini biasanya digunakan oleh rumah tangga atau konsumen yang memang memiliki literasi yang baik untuk menggunakan teknologi tersebut seperti literasi lingkungan akan green economy atau green investment (ekonomi hijau dan investasi hijau).
Di sisi lain, ada juga masyarakat yang tidak willingness to use (tidak ingin menggunakannya).
“Maka jawabannya yaitu economic incentives. Apakah benefit menggunakan teknologi bagi rumah tangga akan lebih banyak dibandingkan cost of investment and maintenance (biaya investasi dan pemeliharaan) dari penggunaan teknologi ini,” ujar Yayan.
Doktor dari Czech University of Life Science Prague, Republik Ceko itu mencontohkan, ada vendor yang siap untuk instalasi, layanan purna jual untuk maintenance yang dapat diakses seperti menggunakan mobile phone pada saat ini. “Semua dapat diakses dengan mudah dan nilai ekonomi dari investasi ini mudah diakses dan dibeli dengan murah atau investasi yang efisien,” kata Yayan.
Kedua, terkait investasi yang efisien untuk roofsolar PV tidak mudah. Yayan mencontohkan, di beberapa negara Eropa seperti Prancis, Jerman, Spanyol atau Italia, Levelised Cost of Electricity (LCOE) kurang lebih 20 sen euro/kWh, masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan LCOE di wilayah Eropa tengah dan timur seperti Hungaria, Bulgaria, Romania, dan Estonia yang hanya 5-10 sen euro/kWh pada 2017.
Namun, harganya terus turun dalam jangka waktu tiga tahun sebesar 50 persen menjadi 5-10 sen euro/kwH. “Artinya pengembangan R&D untuk teknologi rooftop PV di Eropa sangat signifikan menurunkan LCOE selama periode 2017-2019,” katanya.
Menurut Yayan, jika melihat pada tarif dasar listrik (TDL) Indonesia, harga akhir listrik PLN berada di kisaran 6-8 sen euro/kWh, berdasarkan informasi dari PT PLN untuk TDL April – Juni 2021.
“Kita dapat bayangkan ini harga konsumsi akhir, jika kita bandingkan dengan harga rooftop di EU harga tersebut adalah ongkos produksinya, jadi mereka akan jual di kisaran 9-10 sen euro/kWh. Keekonomian TDL harga listrik saat ini tidak mendukung terhadap keekonomisan dari investasi teknologi rooftop PV,” ungkap Yayan.
Berdasarkan hasil perhitungan di EU, lanjut Yayan, WACC (Weight Cost of Capital) untuk investasi rooftop berada di 7 persen sedangkan di Indonesia WACC atau IRR keekonomian di atas 10 persen. “Di sini ada kesenjangan antara daya beli vs price, investment vs economic price, harusnya investment = price sehingga price = daya beli (purchasing power),” kata Yayan.
Menurut kalkulasi Laboratorium Sistem Tenaga Listrik Institut Teknologi Bandung (ITB), jika tarif PLTS atap tetap 100 persen atau Rp1.444,3 per KWh dan diikuti penambahan kapasitas 1 GW tiap tahun, hingga 2030 maka akan ada kenaikan Biaya Pokok Produksi (BPP) Rp11,3 per KWh atau Rp42,5 triliun selama sembilan tahun.
Mukhtasor, pakar energi dan guru besar Institut Teknologi 10 November Surabaya, menambahkan pemerintah atau negara harus siap menerima konsekuensi dari keputusan yang diambil terkait rencana Kementerian ESDM merevisi Peraturan Menteri terkait PLTS atap. Salah satu klausul yang kontroversial adalah kewajiban PLN untuk membeli 100 persen listrik dari PLTS atap dari sebelumnya 65 persen.
“Rencana penerbitan Permen ESDM soal PLTS atap terburu-buru. Harusnya pihak terkait memberikan masukan dalam penyusunan Permen terkait revisi PLTS Atap. Jika ada informasi yang tidak match, pihak independen dilibatkan. Apalagi ini demi kepentingan nasional dan berdampak tidak hanya bagi PLN, juga keuangan negara,” ujar Mukthtasor saat diskusi dengan media, Selasa sore.
Menurut dia, apa pun keputusan nanti dalam Permen ESDM terkait PLTS atap, keputusan itu diambil harus sudah memperhitungkan konsekuensi dan ada mitigasinya. “Kalau ditetapkan 1:1 harus ada kompensasi kepada PLN. Berapa beban kompensasinya. Begitu juga kalau 1:0,65, berapa kompensasi yang diberikan,” katanya.
Artinya, lanjut Mukhtasor, APBN harus disiapkan untuk menanggung konsekuensi dari keputusan tersebut. Dana APBN harus disiapkan untuk kuota tertentu.
“PLTS atap kan marak untuk kota besar, khususnya Jakarta. Padahal, yang pas itu pengembangan PLTS yang digunakan untuk menggantikan pembangkit diesel yang kebanyakan dibangun/dipasang di daerah. Sebaiknya fokus ke PLTS bukan ke PLTS atap. Itu hanya menguntungkan orang kaya,” kata dia.
Baca juga: Pakar ITB: Regulasi PLTS atap malah berpotensi naikkan tarif listrik
Baca juga: PLTS Terapung Cirata diharapkan beroperasi sesuai target
Baca juga: PLTS terapung di Waduk Cirata berpotensi kurangi emisi karbon 214 ribu ton
Agar PLTS atap berhasil, pakar Unpad beberkan beberapa catatan ini
Selasa, 17 Agustus 2021 21:27 WIB