Jakarta (ANTARA) - Pangsa pasar industri halal nasional trennya terus bertumbuh.
Bahkan, terhadap total industri makanan halal dunia pun, Indonesia masih menjadi pemimpin dengan pangsa pasar mencapai 13 persen.
Kondisi itu tentu saja karena ditunjang oleh mayoritas penduduk Indonesia merupakan masyarakat beragama Islam.
Karenanya, produk halal tersebut memiliki pasar yang besar baik itu di Indonesia maupun global.
Dengan kondisi demikian agaknya dapat dipastikan industri halal Indonesia akan mampu menjadi pemicu dalam pemulihan ekonomi nasional sebagai dampak pandemi COVID-19.
Dalam diskusi bertajuk “Industri Halal Jadi Trigger Pemulihan Ekonomi Nasional” beberapa waktu lalu, Diana Yumanita selaku Deputi Direktur Departemen Ekonomi & Keuangan Syariah Bank Indonesia mengemukakan, saat ini posisi Indonesia sudah masuk "top player" di pasar global.
Berdasarkan State of the Global Islamic Economy Report 2020/2021 Indonesia berada pada 10 peringkat teratas sektor makanan halal, keuangan syariah, wisata halal, fesyen, kosmetik, media dan rekreasi.
Peluang dalam industri halal cukup besar, di antaranya besarnya potensi industri halal dan besarnya potensi keuangan syariah global itu sendiri.
Tidak ringan
Meski begitu, tantangannya tidak ringan seperti begitu cepatnya penetrasi produk halal dari negara mayoritas non muslim dan sudah lebih majunya instrumen keuangan syariah di negara lain.
Diana mengatakan meski terkena dampak pandemi COVID-19, namun pada sektor prioritas dalam "Halal Value Chains" (HVC), kinerja ekonomi syariah Indonesia secara umum lebih baik dibandingkan produk domestik bruto (PDB) nasional.
Ekonomi syariah Indonesia pada 2020 hanya mengalami kontraksi sebesar minus 1,72 persen, lebih baik dibandingkan tingkat konstraksi PDB nasional.
Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian Koperasi dan UKM, Eddy Satriya mengatakan potensi UMKM berbasis halal sangat besar, yang disebabkan berbagai faktor.
Pertama, meningkatnya populasi muslim dunia dan jumlah penduduk muslim Indonesia mencapai 229 juta jiwa (87,2 persen) dari total penduduk 273,5 juta jiwa (World Population Review, 2020).
Kedua, kontribusi PDB ekonomi halal nasional yang mencapai 3,8 miliar dolar AS per tahun (engine of global halal economy).
Ketiga, pengembangan pasar global untuk produk halal dan keempat jumlah pelaku UMKM dan ruang lingkup aktivitasnya sangat terkait dengan industri halal.
Hanya saja, Indonesia harus menghadapi tantangan yang tidak mudah antara lain belum masuknya Indonesia dalam 10 besar untuk produk makanan halal, media & rekreasi, serta farmasi & kosmetika.
Kedua, Indonesia masih menjadi pasar produk halal dunia, karenanya kinerja ekspor produk halal perlu ditingkatkan.
Ketiga, lanjutnya, penguatan rantai nilai industri halal perlu terus dilakukan secara berkesinambungan, seperti industri makanan dan minuman halal, pariwisata halal, busana muslim dan farmasi/ kosmetik halal.
Keempat adalah eliminasi permasalahan yang dihadapi UMKM untuk dapat mengoptimalisasi peran UMKM dalam industri halal.
Menurut Eddy, pelaku UMKM nasional masih menghadapi kendala seperti proses produksi belum standar, permodalan, pasar, teknologi, informasi kurang, serta berbagai hal lain yang menjadi hambatan untuk masuk ke pasar global.
Sementara Kepala Divisi IT Bakti Kominfo Ari Soegeng Wahyuniarti menuturkan perlunya infrastruktur dan ekosistem teknologi informasi dan komunikasi (TIK) bagi pengembangan industri halal di Indonesia.
Ia memberikan contoh, untuk sektor industri dan usaha kecil telah digelar pelatihan UMKM digital 2020.
Program yang digelar di awal masa pandemi Covid itu memfokuskan bagaimana agar UMKM bisa bertahan dari terpaan pandemi COVID-19.
Salah satunya, melalui pelatihan Toko Online Bumdes dan UMKM Lokal 2020 terhadap 100 UMKM/Bumdes. Pelatihan sendiri berkaitan dengan pemasaran digital, pemasaran toko daring dan pengelolaan toko daring.
Untuk 2021, akan digelar pelatihan UKM Digital & Akses Permodalan dengan sasaran bidang kuliner dan target 800 UMKM dari delapan kota/kabupaten.
Bahkan, termasuk Pelatihan Toko Online Bumdes / UMKM 2021 dengan target 50 Bumdes / UMKM lokal/.
Menurut Ari, Bumdes / UMKM binaan Bakti ini berpotensi untuk diberikan pelatihan dalam mendukung pengembangan industri halal melalui kerja sama dengan laboratorium pengujian halal, sistem pengelolaan air bersih sesuai persyaratan halal dan tenaga kerja terlatih dalam jaminan produk halal.
Sektor fesyen
Busana sederhana (modest fashion) Indonesia masih bertengger di peringkat tiga setelah UEA dan Turki, namun sektor ini diyakini dapat mendongkrak industri halal tanah air.
Desainer, Founder Fashion Brands & Pembina Industri Kreatif, Amy Atmanto mengatakan tren global dalam pengeluaran sektor ini dunia, tertinggi adalah Turki dengan total belanja 29 miliar dolar AS, disusul UAE dengan belanja 23 miliar dolar AS, dan Indonesia dengan total belanja 21 miliar dolar AS.
Sementara total belanja dunia untuk pakaian muslim pada 2018 bertumbuh 4,8 persen dari 270 miliar dolar AS menjadi 283 miliar dolar AS.
Pada 2024, diperkirakan belanja untuk baju dan perlengkapan muslim akan tumbuh sebesar enam persen mencapai 402 miliar dolar AS.
“Saya menggunakan istilah busana sederhana (modest fashion) untuk mendorong pola pikir kita untuk dapat menjelajahi wilayah-wilayah kreatif tradisional muslim teratas. Dengan istilah ini kita tidak dibatasi oleh konsepsi umum tentang busana muslim (gamis, abaya dan kaftan),” ungkapnya.
Mengutip State of the Global Islamic Economic Report – Driving the Islamic economy revolution 4.0, Amy menuturkan, Indonesia merupakan pasar domestik nomor tiga terbesar, selain itu, gaya desain Indonesia diterima di dunia.
Karena itu dia yakin industri halal termasuk di dalamnya fesyen sederhana, bisa menjadi pemantik ekonomi nasional.
"Kita mendominasi pencarian 'googling' dengan kata kunci 'moslem fashion', hasilnya Indonesia 77 persen, Malaysia 15 persen, dan sisanya Inggris, India dan negara lain. Ini membuktikan Indonesia mendominasi busana dan perlengkapan muslim,” jelasnya.
Meski demikian, Amy tidak memungkiri tantangan yang dihadapi industri ini di Indonesia antara lain masih terperangkap pada desain tradisional, kurangnya inovasi, keterbatasan keterampilan pemasaran dan persaingan usaha.
Juga, bahan baku yang masih harus impor dan kebanyakan usaha fesyen masih mengandalkan dari hobi serta kurangnya modal usaha.
Amy mendesak agar pengusaha dan desainer pelaku sektor ini harus terus berinovasi dan pemerintah agar lebih berperan untuk membuat kebijakan iklim kompetisi yang sehat.
“Kita masih ingat pernyataan Menteri Perdagangan “Bagaimana mau bersaing kalau harga hijab impor Rp1.900. Dalam hal ini Pemerintah menyatakan berupaya menertibkan 'predatory pricing' agar produk-produk dalam negeri tidak tergerus oleh produk asing,”ungkapnya.
Dia juga berharap gerai merek internasional di Indonesia bisa mengalokasikan ruangnya untuk produk "modest fashion" Indonesia.
Harapannya agar suatu saat nanti muncul "Unicorn Fashion Moslem Indonesia".
Namun untuk itu dibutuhkan peran pengusaha fesyen, investor, perbankan dan pemerintah.
Karenanya diperlukan sinergi para pihak, agar potensi pada sektor produk halal ini, bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin sehingga pada akhirnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Baca juga: LPPOM MUI permudah proses sertifikasi halal untuk UMK
Baca juga: Wapres Ma'ruf minta peningkatan ekspor produk halal global ke OKI