Oleh Edy M Ya'kub *)
Bola matanya seperti normal, tapi pandangannya menerawang. Itulah Anik Indrawati (34), penyandang tunanetra, pengetik Al Quran braille dari Jalan Simo Pomahan Baru gang XII, nomer 15, Surabaya, Jatim.
"Saya lahir normal, tapi saat berumur enam bulan menderita panas dan sesak, lalu diberi oksigen oleh dokter, tapi mungkin kadarnya terlalu tinggi, sehingga urat syaraf saya terkena dan mata saya jadi korbannya," ucapnya.
Akibat gangguan penglihatan itulah, anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Ginem - Sukardi (almarhum) itu bersekolah di SLB dan SMP di Yayasan Pendidikan Anak Buta (YPAB) A, Surabaya.
"Tamat SMP, saya diajak Adi Subroto untuk mengaji di Yayasan Pendidikan Tunanetra Islam Karunia (Yaptunik) di Jalan Darmokali gang Tugu, nomer 210, Surabaya," tutur istri dari Suharto (40) yang juga tunanetra itu.
Di yayasan itu, penderita "low vision" sejak kecil itu belajar mengaji bersama 10 orang tunanetra selama setahun, bahkan di Yaptunik itu pula Anik dijodohkan Adi Subroto dengan Suharto hingga menikah pada 29 Agustus 2004.
"Tetapi, kami sampai sekarang belum dikarunia anak. Kami sih ingin cepat punya momongan, tapi kami pasrah kepada Allah SWT. Selama ini, saya mengasuh keponakan di sela-sela menulis Al Quran Braille," ujarnya.
Suharto sendiri berasal dari Kecamatan Palang, Tuban, Jatim. Ia belajar membaca Al Quran Braille sejak tinggal di Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Janti, Malang, hingga lulus pada tahun 2002 dan akhirnya bergabung di Yaptunik.
"Saya sudah lama bisa membaca Al Quran Braille, tapi saya belum tentu bisa menulis Al Quran Braille, karena menulis Al Quran Braille itu membutuhkan latihan dan ketelitian," kata Suharto saat mendampingi istrinya.
Sementara itu, Anik masuk ke dalam kamar dan saat keluar sudah membawa mesin ketik khusus braille. Mesin ketik yang dipinjami Yaptunik itu berhuruf hijaiyah braille, namun cara membacanya seperti buku biasa yakni dari kiri ke kanan, bukan dari kanan ke kiri seperti Al Quran.
"Awalnya, saya diajari huruf hijaiyah oleh Adu Subroto sampai hafal, lalu saya diajari mengetik huruf hijaiyah. Dari 10 siswa yang mengaji di Yaptunik hanya saya dan Pak Parno dari Darmorejo (Surabaya) yang diajari mengetik huruf hijaiyah," tukasnya, bangga.
Padahal, katanya, di Yaptunik ada tiga orang yang penglihatannya normal yang bekerja sebagai juru ketik, namun yayasan belum mampu memenuhi pesanan, sehingga dirinya pun ditawari untuk membantu hingga akhirnya dipinjami mesik ketik khusus Al Quran Braille untuk dikerjakan di rumah.
Seminggu 1-2 juz
Anik mengaku dirinya hanya mampu mengerjakan satu juz Al Quran dalam 1-2 minggu. "Jadi, kalau Al Quran yang berjumlah 30 juz, saya membutuhkan waktu 15-20 hari," ujar tunanetra yang hingga kini sudah membuat 60-an Al Quran Braille.
Hasilnya, katanya, ia setorkan ke Yaptunik. "Satu juz Al Quran Braille yang berjumlah 45-55 halaman dengan kertas BC Bandung, saya diberi Rp20.000,00 dari harga jual senilai Rp60.000,00. Kalau harga 30 juz berkisar Rp1,5 juta. Lumayan, saya bisa jajan," ujarnya, tersenyum.
Bahkan, dirinya pun diberi kebebasan oleh Yaptunik untuk menulis buku-buku agama atau doa-doa yang bukan pesanan Yaptunik, asalkan semua pesanan Yaptunik dapat terselesaikan.
"Saya pernah menerima pesanan dari teman di Tuban untuk membuat Surah Yasin dan Tahlil, Khasiat Asmaul Husna, 99 Doa, dan Tajwid. Semuanya saya kerjakan dalam waktu 2-3 bulan," katanya.
Ia mengaku tulisan huruf hijauiyah braille memang agak rumit, karena ada harakat (tanda baca) dan penanda panjang-pendeknya bacaan yang sangat membutuhkan ketelitian.
"Saya belajar membaca Al Quran Braille mulai nol sampai bisa membaca dalam waktu dua bulan, tapi kalau belajar mengetik Al Qurab, saya agak takut, karena kalau salah sedikit akan mengubah artinya, sehingga sangat sensitif. Namun Alhamdulillah, saya akhirnya bisa," katanya.
Namun, sebagai manusia biasa, ia juga pernah salah ketik. "Saya bersyukur ada suami yang mau membaca hasil ketikan saya dan mengoreksinya. Kalau salah sedikit bisa dihapus, tapi kalau kesalahannya satu kata, maka harus ganti kertas," ujarnya lagi.
Apalagi, sepeninggal Adi Subroto pada 26 Februari 2010, pengajian di Yaotunik pada setiap hari Sabtu sekarang ada guru pembimbing tartil Al Quran, sehingga dirinya dan rekan-rekannya semakin memahami Al Quran.
"Bulan puasa Ramadhan tahun ini, saya mengalami gangguan dalam mengetik Al Quran Braille, karena mesin ketik rusak, sehingga saya setorkan ke Yaptunik untuk diservis. Hingga dua minggu Ramadhan, saya hanya mampu mengetik 9 juz," tuturya.
Namun, Anik dan suami ingin membalas jasa almarhum Adi Subroto dengan meneruskan pengembangan Al Quran Braille dan juga memajukan Yaptunik.
"Saya ingin Yaptunik maju dan para tunanetra bisa membaca Al Quran. Tidak kalah dengan orang yang normal," katanya. *
(E011/H-KWR)
*) Wartawan ANTARA di Surabaya
ANIK INDRAWATI TUNANETRA PEMBUAT AL QURAN BRAILLE
Jumat, 27 Agustus 2010 13:31 WIB