Jakarta (ANTARA) - Perkembangan teknologi dan inovasi pesat di luar sana, tidak hanya soal teknologi digital yang ada dalam mahfuz (ingatan) kebanyakan orang saja. Nanoteknologi, quantum computing, kecerdasan buatan, hingga bioteknologi modern mulai dari rekayasa genetik hingga kultur jaringan berkembang menjadi kekinian.
"Perkawinan" keanekaragaman hayati dan semua teknologi inovasi tersebut dipercaya akan menghasilkan "emas hijau" yang sesungguhnya di masa depan. Jika isu biosentrisme semakin kencang berembus di Eropa di tengah pandemi, di Indonesia sebagai pemilik "mega biodiversity" di dunia belum banyak "mengawinkan" teknologi mutakhir tersebut dengan keanekaragaman hayati.
Sambil menunggu pertemuan itu terjadi, penting untuk terus menemukan, meneliti, mendata, mengoleksi keanekaragaman hayati tersebut. Itu yang terus dilakukan peneliti-peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di masa pandemi COVID-19 masih berlangsung.
Setidaknya terdapat delapan spesies tumbuhan unik dari belantara Indonesia menjadi penemuan baru dua peneliti pada Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya LIPI sepanjang 2020.
Salah satu peneliti Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya LIPI , Dr Destario Metusala, M.Sc mengatakan hasil dari penelitian kolaborasi bersama berbagai pihak mulai dari akademisi, peneliti dalam dan luar negeri, filantropis lingkungan, hingga staf Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menghasilkan empat publikasi untuk spesies tumbuhan baru di antaranya Bulbophyllum acehense, Dendrobium rubrostriatum, Nepenthes putaiguneung, dan Dendrobium sagin.
Sedangkan peneliti pada Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya LIPI lainnya Wisnu Handoyo Ardi, M.Si. telah memublikasikan empat spesies baru lain di antaranya Begonia enoplocampa, Begonia tjiasmantoi, Begonia sidolensis, dan Etlingera tjiasmantoi. Spesies-spesies baru tumbuhan unik dari Indonesia itu diterbitkan pada jurnal ilmiah nasional maupun internasional di sepanjang 2020.
Penemuan delapan spesies tumbuhan baru memang dilakukan di saat dan lokasi yang berbeda. Menurut Destario, tidak semua tumbuhan tersebut mereka yang mengambilnya langsung dari alam, karena ada pula yang merupakan hasil penemuan BKSDA yang kemudian diteliti bersama-sama.
"Tujuh dari delapan spesies tampaknya hanya tersebar di area yang relatif sempit, sehingga diduga lebih rentan terhadap ancaman kepunahan seandainya terjadi degradasi habitat maupun overcollecting," katanya saat ditanya apakah ada dari spesies tumbuhan baru itu yang terancam punah.
Sedangkan Dendrobium rubrostriatum, meskipun endemik Pulau Kalimantan, namun sebarannya diduga relatif lebih luas, yaitu dari Kalimantan Barat, Sarawak, hingga ujung utara pulau yaitu di Sabah.
Delapan spesies baru
Untuk Bulbophyllum acehense, spesies tersebut merupakan tumbuhan anggrek epifit yang tumbuh alami di pegunungan hutan Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Anggrek tersebut memiliki perbungaan tunggal yang bermunculan dari bagian ruas-ruas rhizomnya.
Bunganya berwarna kuning cerah mengkilap berlilin dengan corak halus garis-garis kuning yang lebih pekat. Walaupun ukuran bunganya hanya berkisar 1,7-2 sentimeter (cm), namun memiliki bentuk unik yang mana bagian lateral sepalnya terpilin kuat ke belakang.
Spesies anggrek baru yang hasil penelitiannya sudah terbit di jurnal nasional Biologi Tropis itu, menurut Destario, juga memiliki keunikan pada bagian bibir bunganya yang menekuk tajam ke bawah seperti pengait. Epithet spesies menggunakan nama Provinsi Aceh sebagai petunjuk bahwa kawasan Aceh memiliki keunikan diversitas anggrek yang tinggi.
Selanjutnya Dendrobium rubrostriatum juga merupakan anggrek epifit yang tumbuh menempel di kulit batang pepohonan. Susunan daunnya berevolusi secara unik membentuk seperti gergaji pipih dengan panjang total hingga mencapai 43 cm.
Sepal petal bunga berwarna dasar krem dengan garis garis memanjang merah keunguan. Spesies baru itu ditemukan di hutan dataran rendah Kalimantan Barat pada ketinggian 200-300 meter (m).
Meskipun demikian, observasi selanjutnya menunjukkan bahwa sebaran spesies baru itu mencapai kawasan Sarawak dan Sabah di Malaysia. Menurut Destario, penelitian yang publikasinya terbit di jurnal internasional Phytotaxa itu memerlukan waktu panjang hingga enam tahun lamanya demi memperoleh data-data spesies pembanding yang akurat.
Lalu ada Nepenthes putaiguneung yang merupakan spesies tumbuhan karnifora yang lebih akrab disebut dengan nama tumbuhan kantung semar atau periuk monyet. Indonesia merupakan salah satu gudang pusat keanekaragaman spesies tumbuhan Nepenthes di dunia, sekitar 75 spesies tumbuhan Nepenthes dari seluruh kepulauan Nusantara yang sebagian besar berada di kawasan Pulau Sumatera.
Penelitian Nepenthes yang menghasilkan jurnal ilmiah baru tersebut merupakan kolaborasi dengan Dee Dee Al Farishy, yang saat itu sebagai mahasiswa biologi Universitas Indonesia, di mana Destario menjadi salah satu pembimbingnya. Penelitian berlangsung selama enam tahun sejak 2014 untuk memastikan perbandingan data morfologi dilakukan secara cermat dan akurat.
Nama epithet “putai guneung” berasal dari bahasa lokal Kerinci, yaitu “putai” (puteri) dan “guneung” (gunung) yang merujuk dari keanggunan sosok spesies dataran tinggi itu yang menyerupai puteri gunung. Spesies baru tersebut diduga endemik Pulau Sumatera dan memerlukan perlindungan khusus dari perubahan habitat serta ancaman pengkoleksian tak terkendali. Penelitian ini berkolaborasi pula dengan peneliti dari Inggris dan diterbitkan di jurnal internasional Phytotaxa.
Sementara itu untuk Dendrobium sagin yang merupakan anggrek spesies baru berbunga indah dari hutan alami di Papua Barat, penelitiannya merupakan hasil kolaborasi dengan Reza Saputra selaku first author.
Menurut Destario, Reza adalah staf pengendali ekosistem hutan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat, yang juga pernah menjadi mahasiswa biologi Universitas Indonesia yang pernah dibimbingnya.
Meskipun berbunga indah dan berwarna cerah, sayangnya masa mekar bunga anggrek itu tidak bertahan lama, yaitu sekitar 1-2 hari saja, katanya.
Nama epithet “sagin” diambil dari bahasa lokal suku Moi di Papua Barat yang memiliki arti “rambut”, yaitu merujuk pada tonjolan khas menyerupai rambut di bagian bibir bunganya. Penelitian ini dipublikasikan di jurnal internasional Phytotaxa.
Untuk Begonia enoplocampa, hanya dijumpai di Pulau Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Tumbuhan tersebut, menurut Wisnu Handoyo, mudah dikenali dengan batang yang berupa rhizome, daun berbentuk bundar telur melebar dengan tepian daun bergigi hingga bercangap.
Nama spesies baru Begonia tersebut diambil dari Bahasa Yunani, yaitu énoplos (νοπλος=senjata, bersenjata) dan kámpë (κμπη=ulat), merujuk pada karakter rhizome dan daun penumpunya dengan rambut yang bercabang-cabang, yang jika diperhatikan seksama akan sangat mirip dengan ulat hijau berduri yang gatal. Penelitian tersebut dipublikasikan di jurnal internasional Phytotaxa, kata Wisnu.
Sedangkan Begonia tjiasmantoi merupakan spesies endemik pulau Sulawesi. Spesies itu hanya dapat ditemukan di wilayah kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat.
Tumbuhan tersebut adalah salah satu Begonia yang terunik di Sulawesi karena memiliki kombinasi karakter yang jarang ditemukan di Begonia spesies lainnya di Sulawesi, yaitu berperawakan kecil dengan tinggi hanya sekitar 15 cm, daun berbentuk elips dengan warna kecoklatan disertai hijau terang pada permukaan atas daunnya.
Sayangnya keberadaan spesies endemik itu semakin terancam karena habitatnya yang sebagian besar telah dikonversi menjadi perkebunan kopi. Nama spesies ini diberikan sebagai penghargaan kepada filantropis lingkungan Wewin Tjiasmanto, dari Yayasan Konservasi Lahan Basah atas dukungannya terhadap pelestarian flora di Indonesia. Penelitian ini diterbitkan di jurnal nasional Reinwardtia.
Sementara untuk Begonia sidolensis merupakan spesies endemik Sulawesi Tengah yang hanya dapat dijumpai di sekitar kawasan puncak Gunung Sidole, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah.
Spesies itu merupakan salah satu hasil kolaborasi penelitian dengan mahasiswa Universitas Tadulako, Eka Putri Dayanti yang saat itu tengah mengerjakan tugas akhirnya yaitu tentang ekologi Begonia di Gunung Sidole.
Spesies tersebut, menurut Wahyu, sangat berbeda dengan spesies-spesies Begonia lainnya di Sulawesi dikarenakan memiliki beberapa karakter unik. Diantaranya yaitu perawakan yang kecil dengan batang yang tumbuh menjalar di atas permukaan tanah. Daun kecil berbentuk bundar telur berwarna kemerahan disertai bercak atau semburat berwarna hijau keperakan.
Bunga berwarna merah muda dan berukuran relatif besar jika dibandingkan dengan proporsi ukuran daunnya. Nama epithet spesies ini menggunakan nama Gunung dimana spesies ini tumbuh dan ditemukan, yaitu Gunung Sidole. Penelitian ini dipublikasikan di jurnal internasional Phytotaxa.
Etlingera tjiasmantoi merupakan salah satu spesies dari suku jahe-jahean (Zingiberaceae) yang saat ini hanya ditemukan di hutan pegunungan wilayah Tentena, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Spesies tersebut, kata Wahyu, merupakan salah satu hasil temuan dari kegiatan ekspedisi Sulawesi yang dilakukan pada awal 2020 sebelum merebaknya pandemi di Indonesia.
Jenis baru itu dideskripsi bersama peneliti Zingiberaceae dari Pusat Penelitian Biologi LIPI Dr Marlina Ardiyani. Spesies Etlingera tjiasmantoi terlihat mirip dengan kerabatnya Etlingera flexuosa, namun dapat dengan mudah dibedakan pada tangkai anak daunnya yang lebih panjang, buah yang berbentuk bulat telur sungsang dan tidak berduri.
Nama spesies itu, ia mengatakan, diberikan sebagai penghargaan kepada filantropis lingkungan Wewin Tjiasmanto, dari Yayasan Konservasi Lahan Basah atas dukungannya terhadap pelestarian flora di Indonesia. Hasil penelitiannya diterbitkan di jurnal nasional Reinwardtia.
Wisnu mengatakan berbagai temuan spesies baru tersebut adalah salah satu bukti nyata bahwa pelosok belantara hutan Indonesia masih menyimpan banyak kekayaan hayati yang belum terkuak oleh ilmu pengetahuan. Berbagai ancaman terhadap kelestarian hutan, terutama di kawasan pusat biodiversitas, menjadi sebuah tantangan besar yang harus dihadapi.
Oleh karena itu, eksplorasi intensif oleh para peneliti yang berkolaborasi dengan berbagai pihak perlu terus didorong sebagai salah satu langkah awal konkrit pelestarian keanekaragaman tumbuhan di Indonesia.