Denpasar (ANTARA) - Putri Suastini Koster, pegiat sastra yang juga istri Gubernur Bali, mengenang sosok mendiang penyair senior Umbu Landu Paranggi tak hanya sebagai guru sastra, tetapi juga guru alam.
"Karena di balik kepolosan dan konsistensi beliau di dunia sastra, beliau tidak hanya berlaku sebagai guru sastra, tetapi 'guru alam' bagi kita semua," kata Putri Koster, di Taman Makam Kristiani Mumbul, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Senin.
Putri Koster menyampaikan hal itu saat menghadiri prosesi penghormatan inkulturasi antara liturgi Kristiani dan ritual Kurukudu Sumba untuk mendiang Umbu Landu Paranggi.
"Tentunya menjadi tanggung jawab kita yang merasa sebagai murid mahaguru. Jangan bangga saja, mari kita petik apa-apa yang sudah beliau berikan, tidak hanya bersastra, namun juga lelaku hidup yang baik. Mari kita petik lelaku hidupnya dan jadikan pedoman," ucapnya.
Dirinya sangat mengagumi jasa-jasa sosok yang sering disebut mahaguru para penyair di Indonesia tersebut bagi perkembangan dunia sastra di Bali, meskipun Pulau Dewata bukan merupakan tanah kelahirannya.
"Bayangkan beliau yang lahir dari darah biru, keluarga bangsawan di Tanah Sumba, nyatanya berperan besar dalam tatanan tingkah laku hidup yang baik di Bali, Jawa, Sumatera dan lainnya. Itu yang membuat kita semakin bangga dengan beliau," katanya, di hadapan keluarga, kerabat dan insan sastra yang hadir.
Putri Koster pun mengibaratkan sang penyair seperti satu sayap yang mengepak menempuh jalan sunyi, sementara sayap lainnya dikepak sang istri untuk menata kehidupan keluarga.
"Keduanya, sama-sama memberikan makna pada orang-orang di sekitarnya. Beliau telah menorehkan banyak pelajaran hidup kepada para muridnya yang tersebar di seluruh Tanah Air, terus bergerak di ruang sunyi, tak kenal lelah," ucapnya.
Berpulangnya Umbu Landu Paranggi, juga diharapkan Putri Koster seyogyanya menjadi momentum untuk kembali mengasah batin dan lelaku lewat sastra dan kata-kata.
"Hari ini jenazah mendiang 'diistirahatkan' sementara di lokasi tersebut sembari menunggu kondisi sudah memungkinkan untuk membawa mendiang ke tempat peristirahatannya yang terakhir, di tanah kelahirannya, Sumba, NTT," ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, diisi pembacaan sejumlah puisi karya Umbu sebagai tanda kasih dan penghormatan kepada guru mereka.
Upacara Kurukudu sendiri berintikan mengantarkan mendiang ke "ruang sunyi" untuk beristirahat sementara, sebelum pemakaman nanti dilakukan di Tanah Sumba.
Seluruh rangkaian upacara Kurukudu akan dilakukan oleh pihak keluarga yang berjumlah 15 orang, baik yang datang dari Sumba maupun yang bermukim di Bali.
"Ini merupakan tempat peristirahatan sementara, dan berarti Pak Umbu masih ada di sekitar kita, belum mengendarai kuda putih, kuda merah untuk sampai ke surga," kata menantu mendiang, Umbu, Rihimeha Anggung Praing.
Pihak keluarga mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Bali, juga Kesultanan Jogja, di mana Umbu berkreativitas sehingga sampai pada jalan sunyi saat ini.
Terhadap jenazahnya juga akan dilakukan liturgi menurut tata cara Kristiani yang diikuti dengan ritual Kurukudu, sebagaimana yang selama ini menjadi tradisi dan adat Orang Sumba. Jenazah itu akan ditempatkan di blok khusus sendiri dengan jaminan 20 tahun dan diberikan perawatan oleh pihak yayasan pengelola taman pemakaman.
Penyair yang dijuluki pula dengan sebutan "Presiden Malioboro" tersebut meninggal dunia pada Selasa (6/4) dini hari di RS Bali Mandara, Denpasar, Bali, setelah sebelumnya sempat dirawat selama tiga hari.
Dari tangannya telah lahir banyak penyair maupun sastrawan besar, seperti Emha Ainun Nadjib, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG dan lainnya.