Bandung, 27/4 (ANTARA) - Peneliti LAPAN Thomas Djamaluddin, di Bandung, Selasa, mengatakan, kenaikan suhu udara yang terjadi mulai awal April merupakan efek gabungan kondisi musiman, kondisi regional, dan dampak perubahan iklim lokal, yang dipengaruhi musim pancaroba.
Kondisi musiman, kata dia, dipengaruhi musim pancaroba, yaitu perubahan arah angin di wilayah Indonesia.
"Pada Maret-Mei matahari berada di belahan utara bumi. Hal ini menyebabkan musim panas di belahan utara bertekanan rendah dan musim dingin di belahan selatan bertekanan tinggi. Saat itu angin bertiup dari Australia yang kering menuju Pasifik," katanya.
Pernyataan Thomas itu juga untuk membantah isu yang menyebutkan bahwa panasnya udara belakangan ini disebabkan posisi matahari yang berada pada titik terdekat dengan bumi, yang beredar melalui pesan singkat telefon seluler.
"Titik terdekat matahari dengan bumi terjadi pada Januari. Namun hal ini tidak berdampak signifikan. Mengenai kanker kulit, itu tidak terkait pemanasan. Kanker kulit disebabkan paparan UV yang intens akibat penipisan ozon. Saat ini ozon di atas Indonesia dalam kondisi normal, jadi tidak ada yg perlu dikhawatirkan," kata Thomas.
Sejak pekan lalu beredar pesan singkat yang menyakan bahwa pada akhir April hingga awal Mei matahari berada di titik terdekat dengan bumi. Hal iitu berakibat suhu udara di seluruh wilayah Indonesia naik empat derajat celcius. Selain itu fenomena ini juga dapat mengakibatkan kulit manusia yang tersengat sinar matahari langsung bisa terkena kanker.
Menurut dia, Indonesia yang berada di wilayah khatulistiwa menjadi daerah paling panas karena angin cenderung berputar di sekitar wilayah tersebut. Ditambah lagi tidak ada efek pendinginan dari wilayah lain, kata dia, maka dampaknya bulan April menjadi bulan terpanas.
Faktor selanjutnya adalah kondisi regional, kata Thomas, dan hal itu harus diperhatikan karena bisa memberi efek penguatan.
"Pada awal April, ada efek gabungan el nino di Pasifik, 'dipole mode' di Hindia, dan siklus periodik madden-julian oscilliation aktif yang bersifat menekan pembentukan awan di wilayah Indonesia. Efek gabungan tadi cenderung mengurangi liputan awan di wilayah Indonesia. Akibatnya pada siang hari kita merasakan panas yang sangat terik," kata Thomas.
Thomas mengatakan, faktor terakhir yang menyebabkan fenomena ini adalah dampak perubahan iklim lokal. Perubahan tata guna lahan dan aktivitas manusia mendukung terjadinya pemanasan kota.
"Pepohonan banyak ditebang, dan lahannya diubah menjadi bangunan. Pelataran jalan berlapis semen dan aspal, maka permukaan bumi menyerap panas lebih efektif. Panas tersebut dipancar lagi ke atas sebagai gelombang panas inframerah," kata Thomas.
Sebenarnya, kata dia, pancaran gelombang panas itu bermanfaat menghangatkan bumi saat matahari terbenam. Namun adanya gas karbon dioksida dari kendaraan bermotor dan industri di udara perkotaan membuat panas tersebut tertahan.
"Karbon dioksida bersifat menyerap inframerah yang berarti menahan panas. Akibatnya kota semakin panas dan semakin berkurang tingkat kenyamanannya," kata Thomas.
(U.KR-ASJ/B/s018/s018) 27-04-2010 16:47:23