Jakarta (ANTARA) - Para ahli kesehatan menyatakan ada sedikit alasan berpikir bahwa vaksin COVID-19 berbahaya untuk ibu hamil atau menyusui bayi, walau memang belum ada uji pada mereka.
"Tidak ada data, meskipun secara ilmiah, kami pikir sangat tidak mungkin memiliki efek berbahaya," asisten profesor ilmu kebidanan, ginekologi dan reproduksi di University of California, San Francisco, Dr. Stephanie Gaw, seperti dikutip dari Livescience, Jumat.
Hal ini karena vaksin yang dikembangkan Pfizer, BioNTech dan Moderna tidak mengandung virus corona, melainkan mengandung molekul atau disebut mRNA yang tidak dapat menyebabkan infeksi dalam tubuh.
Dari sisi risiko, Ketua Departemen Ginekologi dan Kebidanan di Emory University School of Medicine di Georgia, Denise Jamieson mengatakan, risiko tertular COVID-19 saat hamil kemungkinan lebih besar daripada risiko potensial dari vaksin.
Penelitian menunjukkan, kehamilan dapat meningkatkan risiko COVID-19 yang parah, masuk ICU dan kematian akibat virus, menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG).
Menurut Jamieson, orang harus berkonsultasi dengan penyedia layanan kesehatan untuk mempertimbangkan pro dan kontra vaksinasi selama kehamilan dan memutuskan segera mendapatkan vaksinasi atau menunggu lebih banyak data (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) berencana melakukan survei pada wanita hamil yang menerima vaksin).
Pertimbangan
Vaksin COVID-19 yang diizinkan untuk penggunaan darurat tidak mengandung virus apa pun, melainkan mRNA yakni sebuah molekul yang berisi instruksi untuk membangun protein spesifik.
"mRNA hanyalah potongan informasi genetik yang dikirimkan ke sel Anda sendiri. Begitu berada di dalam tubuh, vaksin mRNA menginstruksikan sel untuk membangun protein yang memicu respons kekebalan yang melatih tubuh untuk mengenali virus corona jika tubuh menemuinya di masa mendatang," kata Jamieson.
"Karena bekerja secara lokal, kemungkinan tidak berdampak pada janin," sambung dia yang juga menuturkan mRNA tidak dapat menyebabkan infeksi.
Penelitian pada tikus yang dilakukan Moderna mengisyaratkan vaksin COVID-19-nya aman sebelum dan selama kehamilan hewan pengerat itu.
Data yang diserahkan ke FDA menunjukkan, pemberian vaksin kepada tikus sebelum kawin atau selama kehamilan tidak mengubah sistem reproduksi mereka, mempengaruhi perkembangan embrio atau janin, atau mengganggu perkembangan bayi tikus setelah lahir.
Gaw menuturkan, bagi manusia, vaksin memang membawa risiko efek samping ringan, seperti nyeri saat melihat infeksi, bengkak, atau demam.
Salah satu gejala yang harus diwaspadai selama kehamilan khususnya adalah demam setelah vaksinasi, karena demam tinggi dapat meningkatkan risiko keguguran. Jika demam memang terjadi, obat penurun demam acetaminophen aman dikonsumsi selama kehamilan.
Secara umum, jika seseorang diketahui memiliki alergi terhadap salah satu bahan vaksin, mereka tidak boleh menerima vaksin.
Meski para ilmuwan menduga vaksin COVID-19 aman digunakan selama kehamilan, hal ini juga masih perlu dikonfirmasi.
Beberapa uji klinis pada orang hamil diharapkan dimulai pada Januari, ungkap The New York Times.
Hanya uji klinis yang dapat menjawab pertanyaan apakah vaksin COVID-19 lebih atau kurang efektif pada orang hamil dibandingkan dengan populasi umum.
Sistem kekebalan berubah selama kehamilan untuk mencegah tubuh menolak janin yang sedang tumbuh, tetapi tidak diketahui apakah atau bagaimana perubahan ini dapat memengaruhi seberapa baik vaksin COVID-19 bekerja pada berbagai tahap kehamilan.
Yang harus Anda tahu soal efek samping vaksin COVID-19
Sementara ini, baru ada penelitian pendahuluan tentang efek samping keamanan vaksin COVID-19 dari Pfizer dan Moderna. Namun secara keseluruhan, vaksin Pfizer dikatakan aman, begitu juga dengan vaksin dari Moderna yang menunjukkan tidak ada masalah keamanan yang serius.
Meskipun demikian, seperti vaksinasi lainnya, Anda dapat mengalami beberapa efek samping dari vaksin COVID-19.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC) menyebut efek ini antara lain: nyeri dan bengkak di lokasi suntikan, demam, menggigil, lelah dan sakit kepala.
"Efek samping vaksin COVID-19 lainnya mungkin termasuk nyeri otot dan nyeri sendi, Dari apa yang kami ketahui, sebagian besar efek samping kemungkinan besar akan muncul dalam satu atau dua hari pertama setelah menerima vaksin, tetapi mungkin berpotensi muncul kemudian,” kata wakil presiden program farmasi dan layanan diagnostik di ZOOM+Care, Thad Mick, Pharm seperti dilansir dari Shape.
Jika efek samping ini disebut sangat mirip dengan gejala COVID-19, itu karena pada dasarnya memang demikian. Vaksin tersebut merangsang sistem kekebalan untuk melawan virus, menurut dokter anak di California, Richard Pan.
Dia menegaskan, hal itu tidak berarti vaksin COVID-19 dapat memberi Anda COVID-19 karena mRNA dari vaksin tidak secara permanen mempengaruhi sel Anda
Sebaliknya, mRNA itu hanyalah cetak biru sementara dari lonjakan protein yang terletak di permukaan virus.
“Cetak biru ini sangat rapuh, oleh karena itu vaksin harus disimpan dalam suhu yang sangat dingin sebelum digunakan,” kata Pan.
Tubuh pada akhirnya menghilangkan cetak biru itu setelah Anda divaksinasi, tetapi antibodi yang Anda kembangkan sebagai respons akan tetap ada.
CDC menyatakan perlu lebih banyak data untuk mengkonfirmasi berapa lama antibodi yang dibangun dari vaksin COVID-19 akan bertahan.
Lalu, seberapa umum efek samping vaksin COVID-19?
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) masih mengevaluasi data tentang seberapa umum efek samping COVID-19 yang mungkin terjadi pada populasi umum.
Pan mengatakan, untuk saat ini, informasi dari Pfizer dan Moderna tentang uji klinis skala besar mereka menunjukkan sejumlah kecil orang akan mengalami gejala yang signifikan tetapi sifatnya sementara setelah menerima vaksin COVID-19.
Uji coba Moderna menunjukkan, sebanyak 2,7 persen orang mengalami nyeri di tempat suntikan setelah dosis pertama. Setelah dosis kedua yang diberikan empat minggu setelah suntikan pertama sekitar 9,7 persen orang mengalami kelelahan.
Selain itu, sebanyak 8,9 persen melaporkan nyeri otot; 5,2 persen mengalami nyeri sendi; 4,5 persen melaporkan sakit kepala; 4,1 persen mengalami nyeri, dan 2 persen mengalami kemerahan di tempat suntikan.
Efek ini tak jauh berbeda vaksin COVID-19 Pfizer. Hasil uji coba mereka memperlihatkan, sebanyak 3,8 persen orang melaporkan kelelahan dan 2 persen mengalami sakit kepala setelah dosis kedua yang diberikan tiga minggu setelah suntikan pertama.
Kurang dari 1 persen orang dalam uji klinis melaporkan demam dan sejumlah kecil partisipan uji yakni 0,3 persen juga melaporkan pembengkakan kelenjar getah bening yang umumnya sembuh dalam 10 hari setelah vaksinasi.
Menurut Pan, walau efek samping ini bersifat sementara dan tampaknya tidak terlalu umum, namun bisa jadi cukup signifikan sehingga beberapa orang mungkin perlu melewatkan satu hari kerja setelah divaksinasi.
Selain efek tersebut, ada juga kekhawatiran tentang reaksi alergi terhadap vaksin COVID-19 Pfizer. Terkait ini, FDA menyatakan individu dengan riwayat reaksi alergi parah misalnya anafilaksis tidak boleh divaksinasi sementara ini.