Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto mengatakan gempa dan tsunami raksasa akan berulang di jalur-jalur tunjaman lempeng.
"Gempa dan tsunami raksasa dari jalur-jalur tunjaman lempeng dipastikan terjadi berulang. Jalur-jalur ini akan tetap menghasilkan gempa dan tsunami raksasa di masa datang. Tiap-tiap jalur memiliki waktu perulangan ratusan hingga ribuan tahun," kata Eko saat dihubungi ANTARA, di Jakarta, Jumat.
Tim Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI meneliti tsunami purba sejak 2006 di pantai Lebak, Pangandaran, Cilacap, Kutoarjo, Kulonprogo dan Pacitan. Endapan tsunami berumur 300 tahun ditemukan di sepanjang pantai itu. Di Lebak, tsunami tersebut mengendapkan batang-batang kayu di suatu rawa 1,5 kilometer (km) dari garis pantai.
Di Pangandaran, tsunami itu menghancurkan mangrove. Penelitian di lokasi bandara baru Kulonprogo menemukan pasir yang kaya akan jasad renik penghuni laut dalam, foraminifera dan radiolaria. Lokasi-lokasi endapan tsunami purba tersebut berada hingga 2,5 km dari garis pantai. Artinya, tsunami merangsek daratan setidaknya sampai 2,5 km.
Eko menuturkan jika lempeng di selatan Jawa sepanjang 800 km bergeser, gempa magnitudo 9 dapat terjadi. Sebagai gambaran, tsunami Aceh 2004 dipicu gempa magnitudo 9,1 akibat pergeseran lempeng sepanjang 1.300 km. Tsunami Jepang 2011 dipicu gempa magnitudo 9 akibat pergeseran lempeng sepanjang 500 km.
Eko menuturkan dari hitungan hipotetik MacCaffrey, yang merupakan seorang ahli geofisika Amerika, jalur subduksi selatan Jawa berpotensi memicu gempa magnitudo 9,6 yang berulang 675 tahun sekali. Kalkulasi serupa untuk pantai barat Sumatera adalah 525 tahun. Penelitian tsunami berhasil mengkonfirmasi hitungan hipotetik itu, bahwa tsunami serupa 2004 pernah terjadi 550 tahun lalu.
Sebagai perbandingan, tsunami Jepang 2011 pernah terjadi 1.142 tahun lalu, tercatat di suatu kitab kuno dan dikenal sebagai tsunami Jogan. Gempa magnitudo 9,5 di Chili tahun 1960 yang memicu tsunami raksasa juga pernah terjadi sebelumnya pada 1575.
Eko menuturkan perlu menjadi perhatian bahwa hasil penelitian mutakhir endapan tsunami di dalam Gua Laut di Aceh selama kurun 7.400 tahun terakhir menunjukkan, perulangan tsunami dan gempa tidak benar-benar periodik. Dalam satu periode waktu tertentu, tsunami lebih sering terjadi daripada periode lainnya.
"Ini sebuah pesan kuat bahwa masyarakat harus senantiasa siap siaga sepanjang waktu guna menghadapi ancaman gempa dan tsunami," tutur Eko.
Eko mengatakan perlu mitigasi bencana dalam menyikapi potensi bencana yang ada di Indonesia.
Menurut dia, pengembangan wilayah pesisir selatan Jawa sebagai pusat-pusat perekonomian dipastikan akan meningkatkan risiko bencananya khususnya tsunami.
Oleh karenanya, dia mengatakan sudah selayaknya pemerintah menghitung ulang analisis risikonya sehingga upaya pengurangan risiko dapat dilakukan menyatu dengan segala kegiatan pembangunan.
Dengan demikian pembangunan tetap dapat dilakukan bukan saja berdasarkan atas asas manfaat namun juga di atas prinsip keberlanjutan.
"Bencana selalu berulang, menimbulkan kerugian harta dan jiwa sangat besar," tutur Eko.
Eko menuturkan setiap kegiatan pembangunan harus menempatkan pengurangan risiko sebagai modalitas utamanya.
"Hasil analisis risikolah yang dapat digunakan sebagai alasan apakah sebuah proyek pembangunan harus dihentikan, boleh dilanjutkan, atau boleh dilanjutkan dengan syarat," ujar Eko.
Penelitian yang diketuai Guru Besar bidang Seismologi di Institut Teknologi Bandung (ITB) Sri Widiyantoro menunjukkan ada potensi tsunami dengan ketinggian gelombang mencapai 20 meter di selatan Jawa.
Menanggapi hasil riset ITB itu, Eko menuturkan hal serupa sudah sering dikemukakan beberapa tahun yang lalu oleh beberapa orang peneliti. Bahkan sejak 2008 oleh MaccAfrey tentang potensi gempa dan tsunami di jalur subduksi selatan Jawa.
Baca juga: BMKG: Potensi tsunami bisa terjadi di banyak wilayah
Baca juga: 804 gempa tektonik terjadi selama Agustus 2020
Baca juga: Rentetan gempa 7 Juli patut diwaspadai