Bandung (ANTARA) - Ekonom dari Universitas Padjadjaran Aldrin Herwany menyarankan agar Omnibus Law RUU Cipta Kerja harus disahkan sesegera mungkin bersama DPR RI sebelum wabah COVID-19 berlalu atau hilang di Indonesia karena virus corona bisa mengakibatkan kondisi perekonomian Indonesia semakin terpuruk.
"Lebih baik RUU Cipta Kerja duluan diketuk palu. Jangan sampai nanti lagi. Karena pasca COVID-19, banyak persoalan yang harus kita selesaikan. Kalau masih ada pandangan yang berbeda-beda, habis waktu nanti. Mending dari sekarang ketuk palu," kata Aldrin dalam seminar daring bertajuk "Aspirasi untuk RUU Cipta Kerja dalam Membangun Kembali Sektor Ketenagakerjaan, Industri, dan UMKM Pasca Pandemi COVID-19", Kamis.
Aldrin yang juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Bandung Koordinator Jawa Barat ini menuturkan saat ini sudah banyak perusahaan yang terdampak sehingga jutaan pekerja dirumahkan dan terkena PHK.
Sehingga, kata dia, Omnibus law RUU Cipta Kerja akan menjadi solusi terbaik dan paling cepat untuk memulihkan perekonomian serta mengatasi pengangguran dan masalah ketenagakerjaan di Indonesia setelah pandemi COVID-19.
Dalam seminar daring yang diadakan oleh Pokja PWI Jabar Gedung Sate, Aldrin menyontohkam jika ada sebuah perusahaan tutup, memiliki hutang ke perbankan, maka untuk melakukan recovery, perusahaan harus kembali beroperasi dengan relaksasi dan restrukturisasi kredit dengan peran Otoritas Jasa Keuangan.
"Tapi kan ada peraturan banking, pada saat OJK tidak bisa berbuat banyak, di sinilah masuk peran omnibus law. Yang bisa pertahankan ketenagakerjaan sehingga bisa tetap beroperasi pasca COVID-19. Maka dengan peraturan ini OJK bisa top up kredit lagi. Kalau enggak, bisa tutup perusahaannya," katanya.
RUU Cipta Kerja sendiri, kata dia bisa, memangkas berbagai peraturan yang saling tumpang tindih sehingga nantinya kepastian hukum untuk investasi akan lebih jelas dan negara-negara di dunia, saat ini tengah berlomba untuk melalukan gebrakan yang dapat menarik minat investor unruk berinvestasi setelah pandemi COVID-19.
"Seluruh investor punya desire ingin investasi, sedang mencari tempat aman dan enggak ribet peraturannya. Kalau ketok palu sekarang RUU Cipta Kerja, saya yakin, investor akan pilih Indonesia setelah pandemi COVID-19. Karena selama ini risk di kita tinggi, investor sedang wait and see, kalau sekarang ada gebrakan seperti RUU ini, investor akan lari ke kita, yang nganggur akibat pandemi akan terserap," katanya.
Tidak bisa dinanti-nanti, lanjut dia, jika belum disahkan sampai akhir tahun ini sedangkan COVID-19 masih terjadi di Indonesia, maka akan menjadi keterpurukan ekonomi yang terburuk di Indonesia karena alan sulit melakukan recovery ekonomi.
"Jadi ini ialah momen yang sangat tepat bagi DPR untuk membahas dan mengesahkan omnibus law. Jangan sampai hilang moment, nanti makin susah. Saya tidak mengerti kenapa didiamkan, apa menunggu demo dulu. Harus diingat, kita sedang menghadapi kondisi ekstrem dan butuh gebrakan segera. Jangan diem-diem aja," katanya.
"Jika nanti diterapkan, Omnibus Law ini tentu lebih fleksibel untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan pasca masa abnormal dan krisis seperti saat ini," lanjut Aldrin
Menurut dia prinsip RUU Cipta Kerja yang bertujuan mempermudah, mempercepat, dan menghilangkan kerumitan melakukan investasi sangat tepat diterapkan untuk mengantisipasi dampak ekonomi karena pandemi.
"Banyak aturan dan regulasi yang tumpang tindih selama ini yang membuat kecepatan realisasi investasi kita terhambat baik di pusat atau daerah. Ini tidak bisa lagi terjadi karena ekonomi kita sudah terpukul karena pandemi," kata Aldrin.
Kemudahan investasi dan kepastian berbisnis, kata Aldrin, jadi hal yang paling dicari oleh para investor setelah masa krisis berakhir. Sementara, kondisi Indonesia sebelum COVID-19 saja masih tertinggal dan tidak kompetitif.
"Dalam pemeringkatan Ease of Doing Business (EoDB) atau kemudahan berinvestasi, kita ada di peringkat 73. Ini di ASEAN kita ketiga terendah, hanya di atas Filipina dan Myanmar," kata Aldrin melanjutkan.
Kesulitan investasi di Indonesia terjadi karena tumpang tindih dan aturan pusat, daerah, dan kementerian juga menyebabkan perizinan terkait bisnis juga sangat sulit didapatkan.
"Kemudahan mendapatkan perizinan, bahkan Indonesia paling bontot di ASEAN. Makanya, payung Omnibus Law yang sifatnya sapu jagat, membasmi aturan tumpang tindih, ini bisa menyelesaikan masalah ini," kata Aldrin.
Sementara itu, Pakar Ketenagakerjaan dari Indonesian Consultant at Law (IClaw) yang juga Hemasari Dharmabumi mengatakan yang harus dicermati bersama adalah bahwa RUU Cipta Kerja bertujuan untuk menciptakan tenaga kerja, bukan RUU Ketenagakerjaan.
Menurut Hema RUU ini akan menyelaraskan berbagai peraturan yang tumpang tindih, sehingga meningkatkan efisiensi dalam proses investasi, kemudian menarik investor dan akhirnya menciptakan lapangan kerja sangat cepat. Inilah, katanya, yang sangat dibutuhkan di kala krisis seperti saat sekarang.
"Kalau tidak disahkan segera, DPR akan kehilangan momentum. Nanti sama saja dengan nunggu rakyat ke DPR berdemo, bukan berdemo menolak RUU Cipta Kerja, tapi karena mereka tidak punya kerjaan dan karena mereka lapar," katanya.
Wabah COVID-19, kata Hema, telah membuat perekonomian Indonesia yang sedang terganggu pelesuan ekonomi global makin ambruk dan pemerintah di sisi lain tidak bisa terus menerus memberikan bantuan dan sembako kepada masyarakat terdampak karena keuangan yang terbatas. Maka solusinya adalah menyediakan lapangan pekerjaan yang cepat kepada masyarakat.
"Akan ada masanya, ketika pihak yang mempersulit pengesahan RUU Cipta Kerja akan menjadi public enemy. Karena menghambat penciptaan lapangan kerja secara cepat yang dibutuhkan masyarakat. Nanti akan muncul permintaan rakyat sendiri, siapapun yang akan menyediakan lapangan pekerjaan, akan jadi pahlawan," katanya.
Hemasari mengatakan dengan RUU Cipta Kerja, minimal akan mempertahankan perusahan yang ada untuk tidak pindah ke negara lain. Kemudian membuat perusahaan yang terpuruk menjadi kembali beroperasi normal. Harapan terbaiknya, katanya, jika mendatangkan investor untuk menciptakan lapangan kerja baru.
"Sebanyak 2,8 juta orang terdampak, 1,7 juta orang dirumahkan, di Jabar 200 ribu orang dirumahkan, pekerja yang dirumahkan tanpa gaji itu rawan pangan dan harus masuk dalam proteksi pemerintah. 749,4 ribu pekerja formal di PHK, 282 ribu pekerja informal terganggu usahanya, 100 ribu pekerja migran dipulangkan," kata Hemasari.
"Selama ini, UU Ketenagakerjaan kita ini hanya dimanfaatkan untuk merongrong peningkatan kesejahteraan. Padahal, kesejahteraan itu harusnya dilakukan berdasarkan proses perundingan antara pekerja dengan pengusaha," lanjut Hemasari.
Menurutnya, tugas pemerintah terkait ketenagakerjaan pada hakikatnya adalah memberikan garis pengaman dan melindungi tenaga kerja dan kondisi di lapangan hari ini, para serikat pekerja justru memanfaatkan aturan untuk terus berupaya meningkatkan kesejahteraan.
"Ini tidak ada relevansi antara serikat pekerja dengan pekerjanya. Harusnya, serikat pekerja ini menjembatani dan memfasilitasi peningkatan kesejahteraan dengan para pengusaha bukan terus menekan pemerintah," kata Hemasari.