Seorang pria tampak menghitung jumlah penumpang di rakit. Setelah dirasanya cukup, dia lantas mendayung rakit dengan panjang sekitar 10 meter tersebut agar berjalan menuju seberang.

Para penumpang rakit itu merupakan wisatawan yang akan mengunjungi situs Candi Cangkuang, Garut. Untuk menuju lokasi candi, wisatawan perlu menaiki rakit yang khusus disewakan untuk menyeberangi situ atau danau menuju candi.

Waktu yang diperlukan untuk menyeberang tidak terlalu lama, sekitar 5 menit. Rakit bambu panjang tersebut dapat memuat maksimum 20 orang.

Sesampainya di daratan seberang, para wisatawan dapat langsung menuju situs Candi Cangkuang yang di sana terdapat artefak peninggalan dari dua agama, yaitu Hindu dan Islam.

Peninggalan agama Hindu di sana adalah patung Dewa Siwa yang diperkirakan berasal dari abad VIII.

Peninggalan Islam berasal dari abad XVII dan merupakan makam dari Eyang Embah Dalem Arief Muhammad, penyebar agama Islam pertama di wilayah tersebut.

Artefak-artefak di situs Candi Cangkuang ditemukan oleh arkeolog Uka Tjandrasasmita yang berpedoman pada buku kuno yang menyebutkan adanya peninggalan sejarah di situs Cangkuang, yaitu patung Dewa Siwa dan makam Eyang Arief Muhammad yang ditemukan pada tanggal 9 Desember 1966.

"Waktu itu Bapak Uka dan tim datang ke sini melakukan penggalian dan pencarian batu. Penelitian mengenai fondasi candi yang ditemukan di sebelah makan Eyang berukuran 4,5 x 4,5 meter persegi dan tingginya 8,5 meter," jelas Umar, pemandu sekaligus warga yang tinggal di sekitar candi.

Batu candi asli yang ditemukan sekitar 40 persen. Sisa batu tersebut sudah dipakai oleh masyarakat sekitar untuk nisan karena masyarakat juga tidak mengetahui adanya candi dan patung Dewa Siwa tergeletak di sebelahnya.

Bentuk relief Hindu Candi Cangkuang yang ada sekarang hanya perkiraan saja mengingat sisa-sisa batu di bagian atas candi tidak ditemukan. Patung Dewa Siwa masih ada dan sekarang dimasukkan ke dalam candi untuk menutup lubang sedalam 7 meter yang diperkirakan sebagai sumur penyimpanan abu jenazah.

Umar mengatakan penelitian Candi Cangkuang memang belum tuntas. Misalnya, mengenai peninggalan raja siapa? Karena memang tidak diketemukan prasasti yang mencatat mengenai sejarah candi tersebut.

"Sejauh ini yang diketahui mengenai Candi Cangkuang hanya peninggalan Hindu abad VIII yang terbuat batu dan digunakan sembahyang dan peristirahatan," katanya lagi.

    
Kampung Pulo

Sebagai penyebar agama Islam pertama di wilayah Cangkuang, Eyang Embah Dalem Arief Muhammad juga turut mendirikan peradaban di sekitarnya, yaitu sebuah kampung adat dengan nama Kampung Pulo.

Pada mulanya, Embah Dalem Arief Muhammad merupakan panglima perang Kerajaan Mataram yang ditugaskan oleh Sultan Agung untuk menyerang VOC di Batavia. Namun, karena kalah dan takut mendapatkan sanksi apabila pulang ke Mataram, Embah Dalem Arief Muhammad memutuskan untuk bersembunyi di Cangkuang.

"Ketika berada di daerah tersebut, masyarakat sekitar menganut agama Hindu serta animisme dan dinamisme. Abad XVII kemudian masyarakat diislamkan. Upaya tersebut dilakukan secara bertahap, karena ketika itu kemenyan dan sesaji masih digunakan," kata Umar.

 Bukti penyebaran dan pengajaran agama Islam oleh Embah Dalem Arief Muhammad dipamerkan di museum kecil yang ada di dekat makam keramat. Di museum tersebut terdapat naskah Alquran dari abad XVII dari daluang atau kertas tradisional dari batang pohon saeh (Broussanetia papyrifera vent).

Selain itu, juga terdapat naskah khotbah Idulfitri dari abad yang sama sepanjang 167 sentimeter yang berisi keutamaan puasa dan zakat fitrah.

Warga adat yang mendiami Kampung Pulo saat ini berjumlah 23 orang yang terdiri atas 10 perempuan dan 13 laki-laki. Mereka merupakan generasi ke-8, ke-9, dan ke-10 dari Embah Dalem Arief Muhammad.

Bangunan di Kampung Pulo terdiri atas enam rumah dan satu musala. Jumlah tersebut merupakan simbol dari jumlah anak Embah Dalem Arief Muhammad yang memiliki enam anak perempuan dan satu laki-laki.

Komunitas adat Kampung Pulo tidak boleh menambah kepala keluarga sehingga apabila ada warga adat yang menikah, harus membangun keluarga ke luar kampung.

"Apabila ayah atau ibunya sudah meninggal, bisa masuk lagi ke kampung adat untuk mengisi kekosongan. Namun, yang mendapatkan hak waris adalah anak perempuan karena yang melanjutkan eyang adalah anak perempuan. Laki-laki satu-satunya meninggal saat mau disunat yang disimbolkan dengan musala," terang Umar.

    
Larangan Adat

Salah satu hal yang unik dari masyarakat adat Kampung Pulo adalah penerapan sejumlah larangan adat yang diamanatkan sejak zaman Eyang Embah Dalem Arief Muhammad sebagai pendiri Kampung Pulo.

Larangan pertama, warga adat tidak boleh berziarah pada hari Rabu. Hari tersebut dikhususkan untuk pengajian dan memperdalam ilmu keagamaan.

"Tidak boleh ziarah pada malam Rabu atau Rabu karena dahulu hari itu dianggap hari terbaik untuk menyembah patung Dewa Siwa," kata Umar.

 Warga Kampung Pulo juga tidak boleh memelihara hewan besar berkaki empat, seperti sapi, kambing, dan kerbau, yang dimaksudkan untuk menjaga kebersihan halaman rumah, tanaman, dan makam.

"Binatang besar tidak boleh dipelihara karena takutnya merusak ladang dan mengotori makam, atau kemungkinan disembah lagi karena Dewa Siwa dipercaya menunggangi Nandi (sapi kendaraan Dewa Siwa)," tambah Umar.

Larangan berikutnya, tidak boleh menabuh gong besar dari perunggu. Hal ini berkaitan dengan kisah Embah Dalem Arief Muhammad yang memiliki seorang anak laki-laki tetapi meninggal dunia saat akan dikhitan.

Konon, pada waktu sang anak diarak dengan tandu berbentuk prisma diiringi gamelan yang menggunakan gong besar, tiba-tiba muncul angin topan yang menyebabkan anak tersebut celaka dan meninggal dunia

Tandu berbentuk prisma yang ditunggangi sang anak juga menjadi alasan larangan berikutnya yang tidak memperbolehkan warga adat membuat rumah beratap jure atau prisma, tetapi harus memanjang.

Larangan terakhir, tidak boleh menambahi atau mengurangi bangunan pokok dan kepala keluarga.

Di Kampung Pulo, jumlah bangunan disimbolkan sama dengan jumlah anak dari Embah Dalem Arief Muhammad yang memiliki enam anak perempuan dan satu laki-laki.

Enam anak perempuan dilambangkan dengan enam rumah dan satu anak laki-laki dilambangkan dengan satu masjid.

"Di setiap rumah wajib dihuni oleh satu kepala keluarga," ucap Umar.

Pengunjung yang mengunjungi situs Candi Cangkuang akan memperoleh pengetahuan dan pengalaman budaya baru.

Waktu terbaik untuk mengunjungi situs tersebut adalah pagi atau sore hari karena sinar matahari yang relatif teduh sehingga memberikan kesan elok ketika mengunjungi Candi Cankuang dalam suasana sejuk tepi danau.

Pewarta: Calvin Basuki

Editor : Sapto HP


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2017