Fajar menyingsing pada Sabtu (29/6). Keramaian mulai terasa di sekitar Gedung Paseban Desa Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Ribuan warga dari berbagai pelosok, berduyun-duyun memadati kawasan ini.
Mereka datang ke Kabupaten Kuningan untuk menyaksikan kembali keunikan tradisi tahunan yang telah menjadi warisan leluhur masyarakat Sunda di daerah tersebut, yakni upacara adat Seren Taun.
Upacara tradisi ini setiap digelar berhasil menarik perhatian para pengunjung dari berbagai daerah. Tidak sedikit pula dari mereka rela menempuh perjalanan jauh demi merasakan langsung atmosfer unik pada tradisi ini.
Ria Agustin misalnya. Seorang pengunjung dari Cirebon yang terkesima dengan rangkaian prosesi adat dalam Seren Taun. Baginya, tradisi ini menjadi sarana untuk mengenang jasa leluhur karena telah memberikan pengetahuan dalam bercocok tanam. "Tradisi ini harus tetap terjaga. Apalagi banyak pertunjukan yang kental dengan sejarah," ujarnya.
Demikian juga Mayang, pengunjung asal Sumedang juga tak kalah antusias. Bersama sanak saudaranya, ia sengaja menginap di rumah keluarga di Kuningan untuk merasakan langsung keunikan tradisi ini.
"Bernilai budaya tinggi. Kabupaten Kuningan sangat kaya warisan kebudayaan. Saya dari Sumedang, kebetulan ada keluarga di sini. Tapi banyak juga yang sengaja menginap sejak kemarin," ucapnya.
Seren Taun merupakan salah satu perayaan tradisional yang kaya akan nilai sejarah dan budaya di Kabupaten Kuningan. Tradisi ini diadakan menjelang Tahun Baru Saka atau setiap tanggal 22 Rayagung, bulan terakhir pada kalender Sunda. Upacara adat ini diselenggarakan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat agraris atas hasil panen yang melimpah.
Makna dari Seren Taun tidak hanya sebatas pada rasa syukur, tetapi juga sebagai bentuk harapan agar di tahun yang akan datang hasil panen tetap melimpah.
Pesta rakyat
Upacara tradisi yang dilaksanakan rutin oleh Yayasan Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur itu mampu mengangkat kembali keunikan budaya khas Sunda di Kabupaten Kuningan.
Tak hanya budaya, Seren Taun juga mendatangkan berkah yang dirasakan oleh para pedagang. Omzet mereka melonjak seiring dengan membanjirnya pengunjung.
Iqbal, seorang pedagang dari Cimahi, mengaku rela datang lebih awal demi mendapatkan tempat strategis, mengingat banyak pula warga setempat yang memanfaatkan momentum ini untuk berdagang dengan menjajakan barang-barang khas Sunda. "Tahun lalu juga sudah ikut jualan di sini, lumayan, momen yang sangat dinanti," katanya.
Sejak sepekan lalu, berbagai pertunjukan seni pun telah digelar untuk menandai awal upacara. Semua pementasan tersebut menggambarkan perwujudan rasa syukur atas berkah dan karunia Tuhan, terutama di bidang pertanian.
Puncak acara dimulai dengan tarian Jamparing Apsari yang menyedot perhatian para pengunjung. Tarian ini melambangkan panah cinta kasih yang mengarah ke jantung hati.
Jamparing berarti busur, dan anak panahnya memiliki dua sisi sebagai senjata berburu dan "panah asmara". Tarian ini mengajak manusia untuk menyingkirkan kesombongan serta amarah, menggantikannya dengan welas asih kepada sesama maupun alam sekitar.
Selanjutnya, ada tarian Puragabaya Gebang mengingatkan akan kodrat manusia. Tarian ini diikuti oleh tari Maung Lugay yang mengajarkan kelincahan dan keperkasaan harimau dalam menjaga lingkungan.
Maung Lugay memiliki makna bahwa masyarakat Sunda harus menjadi manusia unggul di berbagai bidang. Tarian ini juga menggambarkan pentingnya melindungi lingkungan dengan penuh ketangkasan.
Pertunjukan Angklung Kanekes dari masyarakat Baduy juga memeriahkan acara tersebut. Alat musik ini umumnya dimainkan dalam ritual saat bercocok tanam padi.
Kemudian, Angklung Buncis, kreasi sesepuh dari adat setempat yakni Pangeran Djatikusumah pada tahun 1969, yang ditampilkan guna menunjukkan kehidupan dan keseharian masyarakat Cigugur.
Tak berselang lama, pementasan dilanjutkan dengan penampilan Tari Buyung, yang memperlihatkan simbolisme menginjak kendi sambil membawa buyung di kepala.
Setiap gerakannya menggambarkan hubungan harmonis antara manusia dan alam. Tarian ini menambah kekayaan makna dalam upacara Seren Taun.
Acara dilanjutkan dengan Helaran Memeron, sebuah pagelaran patung simbolik yang diarak bersama binatang seperti burung garuda, harimau, naga, kuda, dan ikan dewa. Setiap binatang memiliki makna tersendiri yang telah dipercaya turun-temurun.
Prosesi ditutup dengan Ngajayak, di mana masyarakat melakukan arak-arakan menuju Gedung Paseban. Mereka membawa hasil panen seperti padi, biji-bijian, buah-buahan, dan hasil pertanian lainnya.
Suara dentuman lesung menggema di ruangan tersebut, mengiringi langkah-langkah warga yang antusias untuk melakukan Nutug Pare atau menumbuk padi. Kegiatan ini menjadi puncak dari rangkaian acara ini, sebuah simbol syukur atas hasil bumi yang melimpah.
Padi yang dikumpulkan dari petani setempat, disusun rapi di gazebo, menunggu untuk ditumbuk bersama oleh tangan-tangan yang penuh semangat.
Di tengah keramaian, terlihat wajah-wajah bersemangat dari masyarakat hingga tamu undangan. Mereka bergantian menumbuk padi dengan irama yang seolah bercerita tentang kebersamaan dan kekuatan komunitas.
Para penumbuk tidak hanya berdiam di satu tempat. Mereka bergerak mengelilingi area sesuai rute yang diatur panitia, menciptakan pemandangan yang dinamis dan hidup.
Warisan budaya
Kehadiran Seren Taun, bisa menjadi salah satu atraksi budaya yang memikat para pelancong untuk berkunjung ke Kabupaten Kuningan. Oleh karenanya, tradisi ini telah masuk dalam Calendar of Event 2024 daerah tersebut.
Penjabat Bupati Kuningan Iip Hidajat mengapresiasi berbagai pihak yang tak pernah lelah untuk melestarikan kebudayaan berbasis kearifan lokal. Termasuk upacara adat Seren Taun.
Tradisi ini merupakan ikon penting yang berkontribusi nyata dalam menaikkan pamor budaya Kabupaten Kuningan. Bahkan, dampaknya dapat meningkatkan kunjungan wisata ke daerah tersebut.
“Kami berupaya melestarikan Seren Taun, apalagi upacara ini telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) tingkat Provinsi Jawa Barat,” ujar Iip, menambahkan.
Perayaan Seren Taun di Kuningan tidak sekadar menjadi penguatan akar kebudayaan Sunda, melainkan bisa lebih mempererat hubungan keberagaman etnis, suku dan agama di Kuningan.
Pemkab Kuningan akan terus berupaya mendorong agar pelestarian kebudayaan melalui tradisi ini dapat dikenal lebih luas lagi, baik secara nasional maupun internasional.
Pelestarian Seren Taun menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah daerah maupun masyarakat setempat. Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga agar tradisi ini tetap hidup dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
Edukasi tentang pentingnya menjaga warisan budaya juga terus digalakkan di kalangan anak muda, agar mereka merasa bangga dan terpanggil untuk melestarikan tradisi leluhur.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: "Seren Taun", perwujudan syukur berlimpahnya hasil panen di Kuningan
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024