Guru Besar IPB University Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo membahas beberapa tantangan dalam tata kelola hutan dalam kaitannya dengan pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang tidak hanya menitikberatkan pada substansi UU Kehutanan tapi juga UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Menurut Hariadi, untuk menyelesaikan konflik dan tumpang tindih penggunaan kawasan hutan diperlukan kebijakan yang afirmatif. Itu dikarenakan norma dan arahan dalam Peraturan Pemerintah (PP) mengenai pertahanan kawasan hutan dianggap kurang mencukupi dibandingkan dengan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang menggunakan pendekatan ekoregion.
Hal tersebut membuat anggapan bahwa diskresi pemerintah sangat tinggi karena koridor mengenai Kecukupan Kawasan Hutan masih sangat luas.
"Jadi persoalan kita adalah bagaimana menjabarkan Kecukupan Kawasan Hutan yang diskresinya tinggi, apalagi dalam Peraturan Pemerintah harus juga memperhatikan Kawasan Strategis Nasional. Nah, ini yang dikhawatirkan banyak pihak adalah ada konflik kepentingan," ujar guru besar bidang kebijakan kehutanan itu dalam keterangan IPB University yang diterima di Jakarta pada Rabu.
Pendekatan ekoregion dinilai paling ideal bagi penggunaan Kawasan Hutan sehingga tak hanya sekedar dianggap sebagai komoditi, tapi juga sebagai tuntutan agar tidak terjadi blindspot dalam pengambilan keputusan.
Tantangan lain dalam pemanfaatan kawasan hutan untuk perkebunan dan lainnya adalah integrasi kebijakannya yang masih berbenturan dengan Kecukupan Kawasan Hutan. Sehingga perlu adanya pengalokasian secara adil untuk memastikan kondisi hutan di masa depan.
Hariadi juga menekankan adanya masih banyak kasus kepemilikan lahan yang tidak berizin akibat oknum tertentu dan menjadi penting bagi pemerintah untuk melakukan transformasi dalam menyelesaikan hal tersebut. Jalannya adalah dengan menghubungkan pengelolaan hutan dengan konstelasi ekonomi-politik, khususnya korupsi.
Dalam analisis ruang sosionetwork, menurut Hariadi, ditemukan bahwa biang dari masalah tersebut adalah pelaku bisnis yang memiliki jaringan kuat dengan pihak tertentu yang memiliki pengaruh. Kuatnya pengaruh tersebut di pedesaan juga mengakibatkan angka deforestasi meningkat.
Menurut dia, faktor itu membuat perubahan pasal kurang sesuai karena permasalahan tata kelola tersebut harus ditangani sendiri.
"Pertama tentu kita harus memahami bukan hanya pasal demi pasal tapi keseluruhan dari aspek-aspek yang menentukan aspek-aspek kehutanan," jelasnya.
Hariadi menegaskan perlunya telaah mendalam mengenai makna UU Cipta Kerja agar dalam penjabarannya tidak parsial. Perlunya kebijakan afirmatif dalam menyeimbangkan porsi alokasi manfaat hutan, tak hanya kepada pelaku usaha tertentu saja dan pembenahan tata kelola yang mutlak agar dapat diwujudkannya perbaikan kinerja kehutanan di lapangan.
Baca juga: KLHK sebut PIPPIB untuk perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut
Baca juga: BUPATI IMBAU MASYARAKAT KELOLA HUTAN YANG BAIK
Baca juga: HOLCHIM-IPB KERJA SAMA KELOLA HUTAN PENDIDIKAN
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
Menurut Hariadi, untuk menyelesaikan konflik dan tumpang tindih penggunaan kawasan hutan diperlukan kebijakan yang afirmatif. Itu dikarenakan norma dan arahan dalam Peraturan Pemerintah (PP) mengenai pertahanan kawasan hutan dianggap kurang mencukupi dibandingkan dengan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang menggunakan pendekatan ekoregion.
Hal tersebut membuat anggapan bahwa diskresi pemerintah sangat tinggi karena koridor mengenai Kecukupan Kawasan Hutan masih sangat luas.
"Jadi persoalan kita adalah bagaimana menjabarkan Kecukupan Kawasan Hutan yang diskresinya tinggi, apalagi dalam Peraturan Pemerintah harus juga memperhatikan Kawasan Strategis Nasional. Nah, ini yang dikhawatirkan banyak pihak adalah ada konflik kepentingan," ujar guru besar bidang kebijakan kehutanan itu dalam keterangan IPB University yang diterima di Jakarta pada Rabu.
Pendekatan ekoregion dinilai paling ideal bagi penggunaan Kawasan Hutan sehingga tak hanya sekedar dianggap sebagai komoditi, tapi juga sebagai tuntutan agar tidak terjadi blindspot dalam pengambilan keputusan.
Tantangan lain dalam pemanfaatan kawasan hutan untuk perkebunan dan lainnya adalah integrasi kebijakannya yang masih berbenturan dengan Kecukupan Kawasan Hutan. Sehingga perlu adanya pengalokasian secara adil untuk memastikan kondisi hutan di masa depan.
Hariadi juga menekankan adanya masih banyak kasus kepemilikan lahan yang tidak berizin akibat oknum tertentu dan menjadi penting bagi pemerintah untuk melakukan transformasi dalam menyelesaikan hal tersebut. Jalannya adalah dengan menghubungkan pengelolaan hutan dengan konstelasi ekonomi-politik, khususnya korupsi.
Dalam analisis ruang sosionetwork, menurut Hariadi, ditemukan bahwa biang dari masalah tersebut adalah pelaku bisnis yang memiliki jaringan kuat dengan pihak tertentu yang memiliki pengaruh. Kuatnya pengaruh tersebut di pedesaan juga mengakibatkan angka deforestasi meningkat.
Menurut dia, faktor itu membuat perubahan pasal kurang sesuai karena permasalahan tata kelola tersebut harus ditangani sendiri.
"Pertama tentu kita harus memahami bukan hanya pasal demi pasal tapi keseluruhan dari aspek-aspek yang menentukan aspek-aspek kehutanan," jelasnya.
Hariadi menegaskan perlunya telaah mendalam mengenai makna UU Cipta Kerja agar dalam penjabarannya tidak parsial. Perlunya kebijakan afirmatif dalam menyeimbangkan porsi alokasi manfaat hutan, tak hanya kepada pelaku usaha tertentu saja dan pembenahan tata kelola yang mutlak agar dapat diwujudkannya perbaikan kinerja kehutanan di lapangan.
Baca juga: KLHK sebut PIPPIB untuk perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut
Baca juga: BUPATI IMBAU MASYARAKAT KELOLA HUTAN YANG BAIK
Baca juga: HOLCHIM-IPB KERJA SAMA KELOLA HUTAN PENDIDIKAN
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020