Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Barat, dr Eka Mulyana menyatakan bawah pemerintah daerah (pemda) di provinsi itu perlu melakukan evaluasi soal angka reproduksi penularan COVID-19 yang menjadi patokan langkah mitigasi.
Alasannya, kata dia, angka reproduksi COVID-19 yang disampaikan oleh pemda dinilai tidak sesuai dengan kondisi di lapangan karena masih ada cukup banyak penularan di tengah masyarakat.
"Sekarang kenyataannya di lapangan sampai ada klaster baru, tiba-tiba di satu institusi ada 100 lebih (kasus positif COVID-19), nah itu kan menunjukkan masih terjadi penularan," kata Eka saat dihubungi di Bandung, Minggu.
Sebelumnya, Pemerintah Kota Bandung menyatakan kini wilayahnya masih termasuk kepada zona oranye yang bisa dipahami tingkat risikonya sedang dengan angka reproduksi di bawah satu, yakni 0,81.
Namun, Eka menyebut apabila angka reproduksi di bawah satu, maka seharusnya sudah tidak ada lagi penularan COVID-19 dari orang ke orang.
Karena saat ini yang terjadi, menurut dia, jumlah kasus COVID-19 kian meningkat, bukan hanya di Kota Bandung.
"Yang disebut angka reproduksi, kan harus di bawah satu. Kalau di atas satu, artinya angka penularannya masih tinggi. Ternyata waktu itu dari PSBB diubah dari adaptasi kebiasaan baru (AKB), katanya ada kemajuan, tapi sekarang angka reproduksi naik, penyebarannya bertambah," katanya.
Maka dari itu, ia menyebut pemda perlu mengevaluasi kembali angka reproduksi atau mencari patokan lain soal potensi penyebaran COVID-1 sehingga langkah yang diambil dalam kebijakan dapat menekan jumlah kasus baru.
"Kita harus menekan jumlah kasus baru, dan untuk menekan itu artinya menekan penyebaran virusnya, jadi memutus rantai penularan," kata dia
"Sekarang kan bagaimana protokol kesehatan, sanksinya, karena tujuannya supaya beban kerja tenaga medis juga tidak melebihi batas," demikian Eka Mulyana.
Baca juga: IDI Jabar minta pemda pertegas sanksi jika tak mau kembali PSBB
Baca juga: IDI: 115 dokter meninggal akibat COVID-19 terdapat guru besar
Baca juga: PB IDI catat 109 dokter meninggal akibat COVID-19
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
Alasannya, kata dia, angka reproduksi COVID-19 yang disampaikan oleh pemda dinilai tidak sesuai dengan kondisi di lapangan karena masih ada cukup banyak penularan di tengah masyarakat.
"Sekarang kenyataannya di lapangan sampai ada klaster baru, tiba-tiba di satu institusi ada 100 lebih (kasus positif COVID-19), nah itu kan menunjukkan masih terjadi penularan," kata Eka saat dihubungi di Bandung, Minggu.
Sebelumnya, Pemerintah Kota Bandung menyatakan kini wilayahnya masih termasuk kepada zona oranye yang bisa dipahami tingkat risikonya sedang dengan angka reproduksi di bawah satu, yakni 0,81.
Namun, Eka menyebut apabila angka reproduksi di bawah satu, maka seharusnya sudah tidak ada lagi penularan COVID-19 dari orang ke orang.
Karena saat ini yang terjadi, menurut dia, jumlah kasus COVID-19 kian meningkat, bukan hanya di Kota Bandung.
"Yang disebut angka reproduksi, kan harus di bawah satu. Kalau di atas satu, artinya angka penularannya masih tinggi. Ternyata waktu itu dari PSBB diubah dari adaptasi kebiasaan baru (AKB), katanya ada kemajuan, tapi sekarang angka reproduksi naik, penyebarannya bertambah," katanya.
Maka dari itu, ia menyebut pemda perlu mengevaluasi kembali angka reproduksi atau mencari patokan lain soal potensi penyebaran COVID-1 sehingga langkah yang diambil dalam kebijakan dapat menekan jumlah kasus baru.
"Kita harus menekan jumlah kasus baru, dan untuk menekan itu artinya menekan penyebaran virusnya, jadi memutus rantai penularan," kata dia
"Sekarang kan bagaimana protokol kesehatan, sanksinya, karena tujuannya supaya beban kerja tenaga medis juga tidak melebihi batas," demikian Eka Mulyana.
Baca juga: IDI Jabar minta pemda pertegas sanksi jika tak mau kembali PSBB
Baca juga: IDI: 115 dokter meninggal akibat COVID-19 terdapat guru besar
Baca juga: PB IDI catat 109 dokter meninggal akibat COVID-19
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020