Bandung (Antaranews Jabar) - Pemerintah Indonesia bersama Malaysia menargetkan penyelesaian batas negara sektor timur di Kalimantan Utara rampung pada 2020.
Sekretaris Jenderal Kemendagri Hadi Prabowo menjelaskan sektor timur itu meliputi lima segmen atau batas wilayah yang harus diselesaikan Indonesia terkait perbatasan dengan Malaysia.
"Pulau Sebatik, Sungai Simantipal, Sungai Sinapad, kemudian titik B 2700-3100 dan titik C 500-600," ujar Hadi dalam sidang Forum Bilateral Joint Indonesia-Malaysia Committee (JIM) di Bandung, Selasa.
Menurut Hadi, masalah perbatasan tergolong sulit diselesaikan karena melibatkan kedua negara. Tapi, ia menekankan tidak boleh ada pihak yang dirugikan dalam penyelesaian perbatasan Indonesia-Malaysia.
"Apakah bisa menegakkan posisi, kita rugi atau untung sedikit, harus kita upayakan," kata dia.
Apabila perbatasan sudah disepakati maka masing-masing negara dapat menegakkan aturan serta hukum yang berlaku. Menurutnya, saat ini di sektor timur seperti di Pulau Sebatik belum dikenai aturan administrasi imigrasi.
Masyarakat Indonesia maupun Malaysia bisa bebas keluar masuk suatu negara tanpa ada hukum tetap yang berlaku di tapal batas.
Tak hanya itu, nantinya kejelasan penetapan batas negara dapat meminimalkan adanya penyeludupan maupun imigrasi ilegal yang kerap terjadi di batas negara.
"Artinya penduduk Malaysia yang masuk wilayah Indonesia harus melengkapi persyaratan. Kalau sekarang kita toleransi demikian pula warga Indonesia ke Malaysia," kata dia.
Ia menjelaskan, penyelesaian batas negara tersebut bukan dipasangi pilar-pilar semata, namun jangan juga dianggap Operasi Pengamanan Perbatasan (OPP).
"Ini sudah tidak menjadi problem kedua negara, artinya itu sudah dalam penguasaan mutlak Indonesia atau mutlak Malaysia," kata dia.
Penetapan garis batas darat Indonesia dan Malaysia yang berada di Kalimantan Utara merupakan warisan dari hasil kesepakatan batas di era kolonial antara Belanda dan Inggris.
Penegakan batas negara memang sudah tertuang dalam Konvensi London pada 1891 antara Belanda-Inggris (Britania Raya). Namun perjanjian batas yang ditulis dengan kondisi di lapangan tidak sama. Hal inilah yang membuat Indonesia dan Malaysia melakukan pengukuran ulang.
"Pada saat itu, peralatan serba terbatas sehingga antara yang tertulis dengan perjanjian tidak sama. Kita meminta wilayah kita sebagaimana perjanjian tersebut," kata dia.