Bandung (ANTARA) - CEO Nimo Land Group Ilham Sunaryanto menilai untuk kemajuan sektor pariwisata di Indonesia, harus ada peningkatan efektivitas dari pola pencarian investor kepariwisataan yang ada selama ini.
Pasalnya, kata Ilham, saat ditemui di Bandung, Kamis, dari hasil pengamatan pada usahanya yang kini mempekerjakan sekitar 600 karyawan dan 5.000 UMKM di bawah naungannya, ada permasalahan dari implementasi akses permodalan.
Menurut Ilham, akses permodalan ini telah diatur dalam Pasal 61 UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang mengamanatkan pemerintah dan pemerintah daerah memberikan peluang pendanaan dari usaha mikro dan kecil di bidang pariwisata, saat inipun telah ada kanal-kanal investasinya, namun belum efektif.
Dia mencontohkan pencarian investasi kepariwisataan dalam forum investasi internasional di berbagai kota besar yang kerap diikuti investor dari luar negeri, tapi tidak efektif mendorong secara signifikan investasi dan permodalan bagi kepariwisataan.
"Kalau kita cari investor di forum-forum besar, mereka tidak akan mau investasi di desa-desa yang kecil, tapi memilih ke kami perusahaan-perusahaan yang memang punya kapital besar dan jauh lebih profesional. Padahal (Oktober 2024) dari 9.000 tempat wisata, sebanyak 6.026 atau 70 persennya adalah desa wisata atau komersil yang dikelola mandiri oleh penduduk desa, jadi yang menghidupi industri wisata ini adalah orang-orang kecil," kata Ilham.
Ilham yang juga menyampaikan persoalan itu pada perwakilan Komisi VII DPR RI dalam rapat serap aspirasi perubahan UU Kepariwisataan bersama para pelaku kepariwisataan Jabar di Bandung, Rabu (26/2), mengatakan pemerintah sejatinya bisa membentuk satu divisi khusus yang kemudian berkoordinasi dengan koperasi, atau lembaga keuangan penyalur Kredit Usaha Rakyat (KUR), guna memberikan kemudahan akses permodalan bagi pelaku usaha pariwisata kecil.
"Investasinya enggak besar, paling Rp500 juta sampai Rp1 miliar, mereka sudah bisa mandiri. Kreativitas itu tidak bisa berjalan kalau tidak juga disupport dengan pemahaman bagaimana mencari permodalan," ujarnya.
Dengan 70 persen pelaku pariwisata adalah masyarakat kecil, lanjut Ilham, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi hal yang krusial, sehingga harus diberikan stimulus peningkatan kompetensi sesuai Pasal 13 poin 1 UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang mengamanatkan tenaga kerja di bidang kepariwisataan memiliki standar kompetensi.
Sehingga, lanjut dia, berbagai pelatihan untuk meningkatkan kompetensi dan kreativitas dari para pelaku usaha menjadi hal yang krusial.
"Karena menurut saya, kreativitas itu bisa terjadi karena dua hal, dari pribadinya atau dari stimulus eksternalnya. Kita harus pahami 70 persen pemain pariwisata ini tidak mengerti apa-apa dalam bisnis ini. Maka butuh distimulus, butuh ditraining, sehingga mereka akan akan timbul kesadaran juga, oh saya harus kreatif kalau saya mau hidup," ucapnya.
Yang tidak kalah penting juga, kata Ilham, adalah diperlukannya dukungan dari pemerintah dalam menciptakan dan memelihara akses yang mumpuni ke tempat pariwisata, sesuai Pasal 33 UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang mengamanatkan dalam rangka meningkatkan koordinasi strategis lintas sektor bidang pelayanan, bidang keamanan, bidang prasarana umum yang mencakupi jalan.
Jangan sampai, kata Ilham, seperti yang terjadi pada kawasan Cibolang, Kabupaten Bandung, yang pada tahun 2000-an awal sangat populer, namun karena akses jalan yang ada tidak begitu baik bahkan cenderung rusak, akhirnya lama-kelamaan sepi dan tidak ada lagi wisatawan yang datang.
"Sebenarnya industri pariwisata itu mau besar di Indonesia itu harus kolaborasi semua pihak. Tapi memang dalam pelaksanaannya, karena saking luasnya wilayah Indonesia termasuk di Jawa Barat, akhirnya banyak celah yang enggak optimal. Muncullah di situ ketidaktegasan akhirnya ada pungli misalnya, atau ketidak tajaman dari sisi visi membangun kabupaten atau kota, akhirnya infrastruktur tidak ada skala prioritas," tuturnya.
Menurut Ilham, perlu dipertimbangkan untuk pembangunan atau perbaikan akses jalan dengan skala prioritas yang juga memasukan kawasan-kawasan wisata rakyat untuk didahulukan.
"Karena jangan lupa tempat wisata itu menjadi growth gather yaitu lokomotif penghasil ekonomi di daerah-daerah sehingga support inilah yang dibutuhkan," tuturnya.
Terkait dengan dukungan infrastruktur, Wakil Ketua Komisi VII DPR Lamhot Sinaga mengungkapkan bahwa jika mengandalkan APBN atau APBD saja, adalah hal yang mustahil untuk pembangunan infrastruktur jalan.
"Terlebih kan Pemkot dan Pemkab membuat perbaikan jalan berdasar Musrembang. Kemudian di negara-negara yang pariwisatanya maju semuanya terlibat. Artinya ketika ruang dibuka oleh regulasi, pelaku-pelaku wisata ini pengusaha industri swasta ini juga mempunyai kemampuan untuk membangun sarana-prasarana termasuk aksesibilitas yang diinginkan," tutur Lamhot.