Bandung (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebutkan bahwa stigmatisasi masih terjadi pada korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) terhadap Anak yang dilakukan oleh pengajar agama di Purwakarta.
"Ini masih terjadi, bahkan ada yang terstigma saat akan mencari pekerjaan sehingga membuat korban merasa tidak percaya diri. Karena itu, mohon masyarakat mengerti tidak usah terlalu kepo karena mempengaruhi psikis-nya," kata Wakil Ketua LPSK Sri Nurherwati dalam keterangan di Bandung, Minggu.
Baca juga: LPSK sebut Jabar miliki jumlah permohonan tertinggi kedua se-Indonesia
Terkait dengan intimidasi dan stigma yang masih kerap dialami korban oleh masyarakat sekitar, untuk itu, sosialisasi LPSK lakukan agar masyarakat memahami pentingnya rasa aman dan nyaman para saksi dan korban dalam memberikan keterangan di persidangan.
Sri menjelaskan bahwa sejauh ini pihaknya telah memberikan perlindungan kepada 24 saksi dan korban lewat layanan pemenuhan hak saksi dan korban.
sejumlah 24 orang yang terlindung itu terdiri dari 15 korban dan sembilan anggota keluarga, dengan LPSK memberikan layanan perlindungan berupa pendampingan dalam proses hukum, rehabilitasi psikologis dan psikososial.
Dalam pendampingan pada proses hukum digelar di Pengadilan Negeri Purwakarta terkait tindak pidana kekerasan seksual terhadap Anak, LPSK berkoordinasi Pengadilan Negeri Purwakarta dan Kejaksaan Negeri Purwakarta.
"Saat ini, sudah 15 terlindung LPSK yang sudah menjalani pemeriksaan persidangan di Pengadilan Negeri Purwakarta dan Kejaksaan Negeri Purwakarta. Layanan psikologis dan psikososial yang dilakukan LPSK diharapkan membuat terlindung merasa aman, sehingga berani memberikan kesaksian atas kejadian yang dialami di dalam persidangan," ucap Sri.
Selanjutnya LPSK mendorong Pemerintah Desa untuk mensolidkan dukungan dan mengingatkan bahwa masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pemulihan korban.
Dalam kegiatan tersebut, LPSK bekerja sama dengan Dinas Sosial P3A Kabupaten Purwakarta dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Barat.
Sri menekankan saat ini LPSK telah melakukan koordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak untuk memberikan edukasi terkait peran masyarakat dalam pemulihan korban tindak pidana kekerasan seksual.Para korban saat ini juga mendapat pelatihan kemampuan untuk mengasah kemampuannya sebagai bekal mencari pekerjaan.
Pada 2023, permohonan perlindungan dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual dari wilayah Jawa Barat merupakan tertinggi ketiga yang mengajukan permohonan ke LPSK.
Mayoritas Tindak Pidana Kekerasan Seksual terjadi di lingkungan rumah tangga dan di lembaga Pendidikan, khususnya berbasis asrama.
Diketahui, OS (46), pelaku kekerasan seksual pada anak di Purwakarta, Jawa Barat ditangkap kepolisian setelah bersembunyi di kebun selama dua pekan lamanya.
Permohonan Perlindungan 2024
Sementara itu, Wakil Ketua LPSK, Wawan Fahrudin mengatakan, LPSK menerima sebanyak 7.645 permohonan pada tahun 2023 lalu. Sekira ratusan pemohon telah dilakukan pendampingan setelah diputuskan oleh pimpinan LPSK.
"Di tahun 2024 sejak bulan Januari sampai akhir Mei jumlah pemohon sudah mencapai 2.372. Sebanyak 1.600 yang masih ditelaah, dan 328 pemohon yang sudah mendapatkan keputusan dari pimpinan," kata dia.
Wawan mengatakan, jumlah pemohon di tahun 2024 ke LPSK diprediksi akan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal itu dikarenakan langkah sosialisasi tentang perlindungan saksi dan korban yang dilakukan secara terus menerus kepada masyarakat.
"Naiknya tren permohonan di tahun 2024 akan meningkat karena sifat sosialisasi sudah masif dilakukan dan melalui program nasional juga. Banyak masyarakat memiliki keuntungan-keuntungan dan terlindungi di LPSK," ucap dia.
Baca juga: LPSK ungkap ada sejumlah permohonan perlindungan baru terkait kasus Vina