Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) memproyeksikan nilai ekspor produk oleokimia Indonesia bisa mencapai 54 miliar dolar Amerika Serikat (AS) pada 2030, dengan catatan ada upaya serius soal hilirisasi sawit untuk terus dikembangkan.
"Diperkirakan pasar oleokimia pada 2030 itu meningkat menjadi 54 miliar dolar AS, dengan asumsi pertumbuhan enam persen setiap tahun. Upaya tersebut bisa didorong jika hilirisasi sawit Indonesia bisa terus berkembang," kata Sekretaris Jenderal Apolin Rapolo Hutabarat saat dikonfirmasi, di Bandung, Jawa Barat, Rabu.
Kenaikan nilai ekspor oleokimia, kata Rapolo, tidak terlepas dari permintaan beragam industri dari kosmetik, makanan-minuman hingga farmasi.
Dalam Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit bertemakan "Perkembangan dan Kontribusi Industri Hilir Sawit Bagi Perekonomian Indonesia" beberapa waktu lalu, Rapolo mengungkapkan bahwa nilai ekspor oleokimia tahun 2023 mengalami penurunan karena anjloknya nilai komoditas dunia.
Pada 2023, ekspor oleokimia sebesar 3,5 miliar dolar AS dengan volume diperkirakan 4,2 juta ton, angka ini mengalami penurunan dibandingkan pada 2022 nilai ekspor oleokimia mencapai 5,4 miliar dolar AS dengan volume 4,2 juta ton.
"Memang secara keseluruhan nilai ekspor kita seluruh Harmonized System (HS) itu hanya 31 miliar dolar AS, jadi turun semua. Negara tujuannya China, India, Uni Eropa, dan lain lain," ujar Rapolo.
Lebih lanjut, dia menuturkan pasar ekspor oleokimia yang terbesar adalah ke kawasan Asia Pasifik yakni sebesar 16 miliar dolar AS, dan sisanya ke Uni Eropa dan Amerika, dengan mayoritas produk adalah fatty acid, fatty alcohol, dan sebagainya.
"Kalau di Eropa konsumennya, yakni Jerman, Prancis, Italia, Inggris yang memang lebih menginginkan produk berkelanjutan. Sebenarnya Indonesia harus melirik Afrika, karena total populasinya 1,4 miliar tapi GDP-nya rendah yaitu sekitar 2.000 dolar AS dibanding benua lain," ujarnya pula.
"Diperkirakan pasar oleokimia pada 2030 itu meningkat menjadi 54 miliar dolar AS, dengan asumsi pertumbuhan enam persen setiap tahun. Upaya tersebut bisa didorong jika hilirisasi sawit Indonesia bisa terus berkembang," kata Sekretaris Jenderal Apolin Rapolo Hutabarat saat dikonfirmasi, di Bandung, Jawa Barat, Rabu.
Kenaikan nilai ekspor oleokimia, kata Rapolo, tidak terlepas dari permintaan beragam industri dari kosmetik, makanan-minuman hingga farmasi.
Dalam Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit bertemakan "Perkembangan dan Kontribusi Industri Hilir Sawit Bagi Perekonomian Indonesia" beberapa waktu lalu, Rapolo mengungkapkan bahwa nilai ekspor oleokimia tahun 2023 mengalami penurunan karena anjloknya nilai komoditas dunia.
Pada 2023, ekspor oleokimia sebesar 3,5 miliar dolar AS dengan volume diperkirakan 4,2 juta ton, angka ini mengalami penurunan dibandingkan pada 2022 nilai ekspor oleokimia mencapai 5,4 miliar dolar AS dengan volume 4,2 juta ton.
"Memang secara keseluruhan nilai ekspor kita seluruh Harmonized System (HS) itu hanya 31 miliar dolar AS, jadi turun semua. Negara tujuannya China, India, Uni Eropa, dan lain lain," ujar Rapolo.
Lebih lanjut, dia menuturkan pasar ekspor oleokimia yang terbesar adalah ke kawasan Asia Pasifik yakni sebesar 16 miliar dolar AS, dan sisanya ke Uni Eropa dan Amerika, dengan mayoritas produk adalah fatty acid, fatty alcohol, dan sebagainya.
"Kalau di Eropa konsumennya, yakni Jerman, Prancis, Italia, Inggris yang memang lebih menginginkan produk berkelanjutan. Sebenarnya Indonesia harus melirik Afrika, karena total populasinya 1,4 miliar tapi GDP-nya rendah yaitu sekitar 2.000 dolar AS dibanding benua lain," ujarnya pula.