"Di Jepang misalnya infiltrasinya dibuat bagus, kapasitasnya dibuat sangat besar. Kiri kanan sungai dapat menampung seandainya ada banjir," ujarnya.
Di pinggiran sungai di Jepang, kata dia, ketika hujannya kecil lokasi pinggiran sungai tersebut dapat menjadi area bermain hingga fasilitas olahraga dan ketika curah hujan tinggi, area tersebut menjadi daya tampung banjir.
Selain itu, solusi lain yang sudah ada di Tokyo, Jepang, seperti "katedral bawah tanah", yang dibangun di bawah infrastruktur gedung-gedung untuk daya tampung air yang sangat luar biasa.
Adapun di Hongkong, yang kotanya sudah padat, kata dia, memutuskan penanganan banjir dengan terowongan bawah tanah (underground tunnel), yakni pembesaran gorong-gorong bawah tanah sebagai opsi lain dari aliran sungai.
Di sisi lain, Heri juga menilai perlunya rencana strategis (renstra) dari pemerintah untuk jangka waktu yang panjang, misalnya 20 tahun ke depan untuk penanganan banjir, serta menekankan perlunya ada lembaga khusus yang fokus untuk penanganan banjir.
"Kini belum ada pihak yang fokus dan bertanggung jawab untuk menangani banjir. Dari sisi kelembagaannya, entah itu koordinasi antar lembaga, entah itu lembaga yang benar-benar berdedikasi untuk urusan banjir ternyata masih belum khusus ada. Seharusnya perlu lembaga khusus yang fokus terhadap banjir," ujarnya.
Di sisi lain, ucapnya, upaya yang lebih perlu dilakukan untuk mempersiapkan daya tampung dan menambah infiltrasi. Misalnya program biopori ditingkatkan, normalisasi, naturalisasi yang digiatkan.
"Terkait hal tersebut, karena memerlukan waktu yang panjang, maka perlu investasi yang lebih tinggi untuk mengurangi kerugian yang lebih besar dari banjir," tuturnya.
Baca juga: Tanggul jebol di Sungai Cikapundung Bandung diperbaiki
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akademisi ITB: Penanganan banjir harus disesuaikan karakter wilayahnya