Tabrani, kala itu, menegaskan ”Karena menurut keyakinan kita, kemerdekaan bangsa dan Tanah Air kita Indonesia ini, terutama akan tercapai dengan jalan persatuan anak Indonesia, yang antara lain terikat oleh Bahasa Indonesia.”
Pada kongres pertama, perdebatan antara Tabrani dan Yamin tak mencapai titik temu. Maka, akhirnya, pembahasan soal bahasa ditunda sampai digelar Kongres Pemuda Indonesia II pada 1928.
Tabrani mengemukakan argumentasinya, tujuannya mengusulkan dan mempertahankan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Bangsa Indonesia, agar terjadi koherensi ketika dicetuskan membangun Tanah Air dan Bangsa Indonesia.
Bagi Tabrani, lantaran tanah air sudah ada, bangsa sudah ada, lalu kita harus punya bahasa, yakni Bahasa Indonesia.
Berdasarkan pengalaman Tabrani sendiri sewaktu sekolah di OSVIA, sebagian pelajar menggunakan Bahasa Belanda. Memakai Bahasa Belanda, waktu itu, selain dipandang lebih berpendidikan, juga dinilai lebih bergengsi. Tak heran masyarakat sendiri, waktu itu, menganaktirikan Bahasa Indonesia . Maka penting memiliki bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi lambang dan perekat persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Dengan adanya Bahasa Indonesia, persatuan Indonesia dan kesatuan Indonesia dapat langsung terwujud.
Bayangkan jika tidak ada Bahasa Indonesia, Bangsa Indonesia mungkin sudah lebih dahulu porak poranda, jauh sebelum proses kebangsaan Indonesia terbentuk. Berkat adanya Bahasa Indonesia, Bangsa Indonesia pun dapat bersatu padu.
Bukti pemegang saham
Begitulah, lewat wartawan Tabrani yang masih hangat ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, menegaskan, jika pers Indonesia selama ini selalu saja terlibat dan memperhatikan masalah-masalah Bangsa Indonesia, seperti soal pemilu atau pilpres, pemberantasan korupsi, ketidakadilan, dan sebagainya, bukanlah sekadar gagah-gagahan, atau mengejar unsur komersial belaka, melainkan meneruskan tradisi membangun dan mengembangkan Bangsa Indonesia yang merdeka dan menyejahterakan. Tegasnya, semua itu untuk kepentingan umum.