Manakala secara resmi “Indonesia Raya” dikumandangkan dalam Sumpah Pemuda 1928, WR Soepratman pun masih beprofensi wartawan. Jadi, lagu kebangsaan Indonesia merupakan sumbangsih dari orang yang kala itu berprofesi sebagai wartawan.
Dua kutub
Penyebutan bahasa Indonesia, seperti kita kenal sekarang, juga, lagi-lagi berkat jasa wartawan. Kali ini, lewat wartawan Mohammad Tabrani. Dialah yang dahulu menengahi “silang pendapat” bahasa apa yang perlu dipakai bangsa Indoensia, kelak, jika merdeka.
Waktu itu ada dua “kutub” mendukung bahasa apa yang harusnya dipakai bangsa Indonesia ke depan.
Kutub pertama, yang mendukung agar Bahasa Melayu yang dipakai oleh Bangsa Indonesia. Banyak argumentasi dari para mendukung kutub ini. Mereka, antara lain, mendengungkan bahwa akar dari Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu. Jadi, tak ada pilihan lain, bahasa Bangsa Indonesia kelak harus ditetapkan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Indonesia. Sebutannya pun “Bahasa Melayu.”
Kutub ini mendapat dukungan dan dipelopori oleh cendikiawan Muhammad Yamin.
Kutub kedua, yang menginginkan agar bahasa yang dipakai oleh Bangsa Indonesia adalah Bahasa Jawa. Alasannya, meskipun Indonesia terdiri dari berbagai-bagai suku, tapi mayoritas jumlah manusia bangsanya, terbanyak dari Suku Jawa. Wajarlah sebagai jumlah anggota terbesar, bahasanya juga dipakai sebagai bahasa Bangsa Indonesia.
Tabrani tidak mendukung kedua kubu tersebut, tapi dia juga tidak menolak. Bahasa Melayu memiliki akar bagi perkembangan Bahasa Indonesia, kelak. Meskipun demikian, bagi Tabrani, Bahasa Melayu dipandang mengandung kolonialisme karena sering disebut bahasa inlander.
Sebaliknya, jika Bahasa Jawa yang dipakai, struktur bahasa banyak yang tidak cocok dengan struktur sosial suku lain. Belum lagi akan banyak yang menolak Bahasa Jawa, terutama dari suku-suku non-Jawa.