Atas jasa-jasanya, Tabrani yang lahir di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, 10 Oktober 1904, dengan nama Mohammad Tabrani Soerjowitjitro, tepat pada hari pahlawan 10 November 2023 dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Tabrani ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional bersama lima tokoh lainnya. Kelimanya adalah Ida Dewa Agung Jambe dari Bali, Bataha Santiago dari Sulawesi Utara, Ratu Kalinyamat dari Jawa Tengah, Kiai Haji Abdul Chalim dari Jawa Barat, dan Kiai Haji Ahmad Hanafiah dari Lampung.
Tabrani melengkapi gelar Pahlawan Nasional yang bukan dari unsur tentara, tetapi dari sipil, dari profesi wartawan. Ini tentu sebuah kebanggaan buat dunia wartawan.
Sebelum Tabrani, ada seniman Usmar Ismail yang pernah menjadi Ketua Umum PWI, juga dianugerahi gelar pahlawan, lantaran jasa-jasanya di bidang kebudayaan.
Tabrani berkiprah sebagai wartawan, antara lain dimulai dari Surat Kabar Pemandangan, Hindia Baroe, dan lainnya.
Pada 10 Januari 1926, Tabrani menerbitkan tulisan sebagai gagasan awal untuk menggunakan nama "Bahasa Indonesia". Gagasan tersebut didasari oleh kentalnya sifat kedaerahan masyarakat Indonesia pada saat itu.
Keberadaan masyarakat seperti ini, dalam pandangan Tabrani, lebih mementingkan suku atau daerah masing-masing. Kondisi ini tercermin dari berbagai organisasi pemuda kala itu yang banyak mengusung nama daerah. Misalnya Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, dan lainnya.
Tabrani menorehkan pula tulisan berjudul “Bahasa Indonesia” dalam koran “Hindia Baru“ di kolom Kepentingan, edisi 11 Februari 1926. Dengan tegas ia menuliskan, ”Bangsa Indonesia belum ada, terbitkanlah Bangsa Indonesia itu! Bahasa Indonesia belum ada, terbitkanlah Bahasa Indonesia itu!”
Pengikat persatuan
Sejarah mencatat, Tabrani saat masih berusia 32 tahun telah menolak Bahasa Melayu pada Kongres Pemuda pertama yang digelar 30 April-2 Mei 1926. Tabrani secara tegas menolak pemikitan Mohammad Yamin yang mengusulkan butir ketiga resolusi kongres, yaitu “menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Melayu.”
Terhadap gagasan Muhamad Yamin itu, Tabrani menyatakan. ”Nama bahasa persatuan hendaknya bukan Bahasa Melayu, tetapi Bahasa Indonesia. Kalau belum ada, harus dilahirkan melalui Kongres Pemuda Indonesia pertama ini,” katanya, sebagaimana dikutip dalam tulisan Tabrani Berjudul “Sebuah Otobiografi M Tabrani: Anak Nakal Banyak Akal”.