Relevansi meneladani Kartini
Meneladani bukan berarti melakukan hal yang sama persis dengan tokoh yang menjadi panutan karena bisa saja telah terjadi perubahan zaman. Meneladani bisa dalam artian menjadikan inspirasi dari pokok-pokok pikiran dan gagasan serta perilaku dan sepak terjang sang teladan.
R.A. Kartini hidup pada masa penjajahan Belanda dengan segala pembatasan terhadap perempuan baik oleh peraturan adat dan budaya setempat maupun pemerintahan penjajah yang tengah berkuasa. Pahlawan emansipasi wanita dengan karya buku yang melegenda “Habis Gelap Terbitlah Terang” adalah bentuk pemberontakan atas kondisi saat itu.
Masa itu--di mana Kartini hidup-- seabad lebih telah berlalu, wanita masa kini hidup di zaman kemerdekaan yang modern hampir tanpa batasan apapun untuk menjadi individu yang maju setara dengan pria. Maka aksi tuntut-menuntut dalam isu kesetaraan gender perlahan akan kehilangan relevansinya.
Sementara cara merayakan peringatan Hari Kartini pada umumnya diwarnai dengan kesibukan berdandan ala penampilan Kartini yaitu berkebaya. Memang, kebaya adalah busana adat kebanggaan Indonesia yang telah didaftarkan oleh pemerintah sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO. Namun perayaan Hari Kartini sebagai pahlawan emansipasi hendaknya lebih menyentuh esensi, bukan sekadar gebyar kebaya yang semarak sebagai tontonan visual.
Belum lagi para perempuan politikus yang banyak memanfaatkan momen Hari Kartini (juga hari-hari besar lainnya) dengan memajang foto berkebaya pada baliho-baliho berukuran jumbo di pinggir jalan raya atau atau ruang publik dan tempat keramaian untuk “numpang kampanye”. Kalau saja, priyayi Jawa Kartini itu hidup pada zaman sekarang dengan tersedianya banyak media untuk memajang foto diri, mungkin dia tidak juga akan senarsis itu.
Kartini dengan perjuangan emansipasi wanitanya, adalah tentang perempuan pendobrak yang memiliki pemikiran dan gagasan melintasi zaman. Bukan sekadar perempuan Jawa berkebaya seperti yang direfleksikan di banyak tempat pada seremoni perayaan tentangnya.
Tak perlu manja
“Tak ada seorang pun bisa merendahkan Anda, kecuali Anda sendiri mengizinkannya." Sebuah kalimat bijak yang dapat digunakan para wanita untuk menggapai kesetaraan. Pola pikir, perilaku, dan mental perempuan turut menentukan bagaimana mereka diposisikan dalam kehidupan sosial. Karenanya mental inferior dengan merasa sebagai warga negara kelas dua jangan sempat hinggap dalam pemikiran perempuan. Hal itu yang menjadi picu pasal seorang wanita membuka celah untuk direndahkan.