Kedua, hal itu bisa dipersepsi bahwa institusi Polri memang "gudangnya" pelanggaran sehingga pejabat setingkat jenderal pun ditangkap.
Tulisan ini akan memilih persepsi pertama karena lebih memiliki landasan fakta, bukan sekadar persepsi apalagi spekulasi.
Artinya, sangat bisa andai Kapolri tidak mengungkap yang sebenarnya mengenai kasus Sambo dan Teddy Minahasa, dengan tujuan untuk melindungi citra institusi itu di mata publik. Akan tetapi untuk kasus Sambo agaknya memang sulit bagi pemimpin Polri menutup-nutupi karena sudah telanjur menjadi perhatian publik. Apalagi ada keluarga korban, Brigadir J, yang melakukan berbagai upaya agar kasus itu diungkap sesuai fakta.
Untuk kasus Teddy Minahasa, bisa saja Jenderal Listyo Sigit melindungi koleganya itu dengan menutup kasus. Apalagi, pada hari yang sama para perwira Polri sedang mendapat pengarahan langsung dari Presiden Jokowi.
Akan tetapi Kapolri memilih penegakan hukum tanpa pandang bulu demi menjaga muruah institusi penegak hukum itu. Meskipun Teddy Minahasa termasuk yang dipilih untuk mendapatkan promosi jabatan dari Kapolda Sumbar ke Kapolda Jatim, Jenderal Listyo Sigit memilih menganulir keputusannya.
Dua kasus besar yang melibatkan jenderal bintang dua tersebut sudah bergulir. Tidak ada jalan lain bagi Polri kecuali menuntaskannya demi penegakan hukum. Juga untuk memperbaiki citra Polri yang merosot setelah didera kasus Sambo, Tragedi Kanjuruhan, hingga perkara Teddy.
Demi mendapatkan pemimpin di tingkat polda yang bersih, Kapolri memilih jenderal lain untuk memimpin Polda Jatim, yakni Irjen Pol. Toni Hermanto. Keputusan Kapolri ini tentu menjadi angin segar dan tidak akan melukai hati polisi-polisi yang selama ini bekerja dengan tulus ikhlas.