Salah satu hal yang luar biasa adalah penekanan Pak MG pada peningkatan pelatihan anggota PWI. "Kalau ada 10 program, maka 1,2, 3 sampai 9 adalah pendidikan," kata Pak MG. Dan itu memang dibuktikan tidak hanya dengan Safari Jurnalistik yang sudah jalan tetapi dengan penyelenggaraan Sekolah Jurnalisme Indonesia, yang angkatan pertamanya di Palembang, mendapat kuliah umum dari Presiden SBY. Setelah itu SJI diadakan di belasan provinsi dan terus berlanjut atas dukungan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang waktu itu dipimpin Mohammad NUH, kini Ketua Dewan Pers.
Karena lobby-nya maka PWI dapat bekerja sama (disponsori) Bank Mandiri dalam melakukan uji kompetensi secara gratis di 34 provinsi pada tahun 2013. Bank nasional itu membiayai semuanya, mulai dari sewa tempat, tiket dan honorarium penguji, dan tetek bengeknya. Pengurus PWI Provinsi sangat gembira karena mereka tidak perlu susah payah mencari dana untuk mensertifikatkan anggotanya.
Oleh karena itu tidak heran PWI menjadi organisasi dengan jumlah anggota yang bersertifikat paling banyak, dibanding organisasi wartawan lainnya. Apalagi kemudian mereka berhasil melakukan UKW mandiri, bekerja sama dengan pemerintah daerah, BUMN, perusahaan swasta.
Pak MG sempat di gadang-gadang menjadi menteri di periode kedua kepengurusannya dan rumornya santer terdengar. Dia pun kerap dimintai pendapat oleh RI1 dan bahkan menjadi panelis Konvensi Partai Demokrat untuk Pilpres 2014. "Pak Sekjen saja yang menjadi Ketua Umum ya, saya banyak sekali kesibukan," katanya suatu hari. Saya bilang, ”Jangan, Pak. Pak MG itu simbol PWI silakan sibuk di luar, kami akan mengerjakan semuanya".
Nah ketika Pak MG mencalonkan diri menjadi Bupati Tulungagung, dia sempat nonaktif beberapa bulan dan Sasongko Tejo menjabat sebagai Plt Ketua Umum PWI Pusat. Pada saat inilah ada yang mengkritik karena seharusnya Pak MG melepas jabatan, tetapi dalam PD PRT PWI hal itu tidak diatur dan tidak dianggap sebagai konflik kepentingan, sehingga sifatnya hanya nonaktif. Dan kami semua pengurus harian, tidak mempermasalahkan karena memang unsur-unsur PWI di Jawa Timur ataupun Tulungagung bersikap netral. Mereka faham kode etik.
Satu ciri Pak MG adalah malas pakai sepatu, yang di acara formal diakali dengan memakai sepatu yang belakangnya terbuka. Kalau di acara internal lebih sering menggunakan sepatu sandal, dan itu dimaklumi. Nggak masalah karena soal sepatu tidak ada hubungannya dengan kepemimpinan.
Kenangan terindah dari Pak MG barangkali adalah sambutannya yang selalu ditunggu-tunggu ketika berlangsung Hari Pers Nasional. Presiden SBY dan Jokowi pasti tertawa, bahkan terpingkal-pingkal, ketika dia berpidato. Melakukan kritik, tetapi enak didengar dan dengan Bahasa yang santun. Terakhir itu dilakukannya saat menjadi Penanggung jawab HPN di Surabaya, Jawa Timur, tahun 2019.
Mengenang Pak Margiono, catatan dari Hendry Ch Bangun
Selasa, 1 Februari 2022 15:41 WIB