Kisah aparat Polri yang tertembak saat menjaga keutuhan NKRI
Minggu, 29 Agustus 2021 15:39 WIB
Jakarta (ANTARA) - Menjalani profesi sebagai seorang Polri memiliki risiko yang tinggi, terlebih ketika yang berada di hadapan mereka merupakan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Bagi para Polri, pertumpahan darah bukan hanya sekadar kisah. Pertumpahan darah merupakan sebuah konsekuensi yang harus dihadapi ketika menjalankan tugas dan membela keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono mengatakan bahwa terdapat 14 ASN Polri menjadi disabilitas akibat kecelakaan saat bertugas, baik karena terkena tembakan maupun granat.
Akan tetapi, hal tersebut tidak menjadi penghambat bagi para prajurit negara untuk tetap berkontribusi kepada Indonesia.
Setidaknya, hal tersebut yang diutarakan Perwira Pertama (Pama) SDM Polda Sulawesi Selatan Iptu Anton Tonapa. Ia merupakan Komandan Tim (Dantim) Bravo 9 Belukar yang tertembak ketika terjadi kontak senjata dengan KKB Papua.
Kisah melawan KKB Papua
“Saya datang ke Papua untuk menjaga NKRI,” tutur Anton dengan tegas yang menggambarkan tekadnya ketika diminta untuk menyiapkan sepuluh personel untuk menjadi tim penindak.
Pada mulanya, tim yang dipimpin Anton merupakan tim evakuasi. Akan tetapi, terjadi perubahan strategi tepat satu hari, yakni pada tanggal 26 April 2021 sebelum tim gabungan TNI-Polri mengeksekusi rencana penindakan mereka terhadap KKB Papua.
Perubahan rencana tersebut mengakibatkan Tim Bravo 9 Belukar yang semula merupakan tim evakuasi menjadi tim penindak. Hal ini bertujuan untuk menggantikan dua Tim Nanggala dan satu Tim Belukar yang telanjur diketahui KKB. Sebelumnya, ketiga tim tersebut merupakan tim penindak.
Anton Tonapa mengisahkan ketika mereka melakukan observasi di Ilaga Kabupaten Puncak, Papua, terdengar suara tembakan sebanyak tiga kali yang membidik Bharada I Komang Wira Natha (yang saat ini berpangkat Bharatu Anumerta). Tembakan tersebut mengenai lengan, punggung, dan kaki Komang.
Sebagai seorang komandan, Anton mengatakan bahwa dirinya merasa sangat terguncang atas tertembaknya seorang prajurit yang berasal dari timnya. Terlebih, Anton memiliki kedekatan erat dengan Komang.
Saat itu, ketika Komang masih meneriakkan rasa sakitnya, Anton merasa bahwa Komang masih bisa diselamatkan. Karenanya, ia meminta agar timnya melakukan evakuasi dengan sigap dan penuh kehati-hatian di tengah hujan peluru yang berasal dari bukit.
Komang berhasil diamankan oleh rekan-rekan satu timnya, tetapi penyerangan masih terus berlanjut. Timah panas yang berasal dari KKB berhasil mengenai punggung Anton.
Ia mengatakan bahwa tubuhnya terasa kram dan bahkan sempat mati rasa. Refleks, Anton merebahkan tubuhnya dan mengamankan diri di tempat Komang sempat berlindung.
Baku tembak yang terjadi mengakibatkan helikopter evakuasi tidak dapat melakukan pendaratan. Mobil dan kendaraan lainnya juga tidak dapat digunakan untuk mengevakuasi mereka akibat medan yang terlalu ekstrem.
Anton terpaksa diarahkan untuk melakukan evakuasi dengan berjalan kaki. Padahal, selain Komang dan Anton, terdapat Muhammad Syaifiddin yang terkena tembakan di bagian perut.
Kondisi tersebut mengakibatkan tim yang dipimpin Anton merasa terpukul. Terlebih ketika Komang menghembuskan napas terakhirnya sebelum mendapat perawatan di rumah sakit.
Suasana berkabung menyelimuti seluruh anggota tim yang terlibat. Akan tetapi, perasaan tersebut tidak menghentikan semangat perjuangan mereka.
“Saya, dalam keadaan luka dan berdarah, berjalan kaki sejauh satu kilo,” tutur Anton.
Ketika telah mencapai medan dengan situasi yang lebih kondusif, helikopter yang berasal dari Polri akhirnya datang dan berhasil melakukan pendaratan.
Evakuasi lantas dilakukan untuk Anton dan Syaifiddin dengan membawa mereka guna dirawat di Rumah Sakit Timika.
Trauma pascakejadian
Meski tidak ada organ vital yang mengalami kerusakan, Anton mengatakan bahwa ia masih merasakan trauma yang mendalam akibat kejadian penembakan yang ia alami.
Anton mengatakan bahwa ia dihantui dengan suara yang menyerupai tembakan, ia merasa tidak nyaman dan takut ketika menaiki mobil, bahkan masih terlintas bayang-bayang peristiwa penembakan saat Anton sedang sendiri.
Setiap terdengar suara yang menyerupai tembakan, acap kali terdapat refleks untuk melindungi diri.
Sebelumnya, ketika masih menjalani perawatan di RS Timika, ia bahkan sempat lompat dari tempat tidur dan meneriakkan agar istrinya melakukan tiarap guna menghindari tembakan. Meskipun, suara tersebut sesungguhnya berasal dari petir.
“Di situ saya trauma, semuanya terasa menghantui,” ucapnya.
Hingga saat ini, Anton masih berupaya untuk memulihkan dirinya dari trauma pascakejadian yang menghantui.
Tindakan dari Polri
Polri memberikan prioritas pengobatan kepada para prajurit pembela negara sebagai penghargaan atas jasa serta pertumpahan darah yang telah diberikan demi menjaga keutuhan Indonesia.
Anton mengatakan bahwa tidak ada personel yang diabaikan, seluruhnya mendapatkan pengobatan yang diperlukan guna memulihkan kondisi.
Polri juga memfasilitasi Anton untuk menjalankan terapi guna memulihkan trauma yang dihadapi.
Atas berbagai fasilitas yang diberikan, Anton Tonapa menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) dan Kepala Polri (Kapolri).
Penghargaan lain dari Kapolri yang sangat berkesan bagi Anton adalah kenaikan pangkat luar biasa (KPLB) menjadi setingkat lebih tinggi dari pangkat lama.
Walaupun sesungguhnya, ia berharap agar seluruh anggota tim yang terlibat dalam insiden tersebut diberi kemudahan atau percepatan untuk naik pangkat. Anton merasa keberhasilannya merupakan buah dari kerja sama tim yang tidak mungkin dapat ia lalui sendiri.
Iptu Anton Tonapa berpesan kepada seluruh TNI dan Polri untuk tetap semangat dalam menjalani latihan agar terbiasa dengan situasi apapun di lapangan.
Perjuangan Anton beserta timnya telah menunjukkan bahwa Polri sebagai penegak hukum tidak pernah gentar mempertahankan NKRI dan melakukan tindakan terhadap kelompok kriminal. Ia berharap generasi muda dapat meneruskan semangat perjuangan para TNI dan Polri dalam mempertahankan keutuhan Indonesia.
Bagi para Polri, pertumpahan darah bukan hanya sekadar kisah. Pertumpahan darah merupakan sebuah konsekuensi yang harus dihadapi ketika menjalankan tugas dan membela keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono mengatakan bahwa terdapat 14 ASN Polri menjadi disabilitas akibat kecelakaan saat bertugas, baik karena terkena tembakan maupun granat.
Akan tetapi, hal tersebut tidak menjadi penghambat bagi para prajurit negara untuk tetap berkontribusi kepada Indonesia.
Setidaknya, hal tersebut yang diutarakan Perwira Pertama (Pama) SDM Polda Sulawesi Selatan Iptu Anton Tonapa. Ia merupakan Komandan Tim (Dantim) Bravo 9 Belukar yang tertembak ketika terjadi kontak senjata dengan KKB Papua.
Kisah melawan KKB Papua
“Saya datang ke Papua untuk menjaga NKRI,” tutur Anton dengan tegas yang menggambarkan tekadnya ketika diminta untuk menyiapkan sepuluh personel untuk menjadi tim penindak.
Pada mulanya, tim yang dipimpin Anton merupakan tim evakuasi. Akan tetapi, terjadi perubahan strategi tepat satu hari, yakni pada tanggal 26 April 2021 sebelum tim gabungan TNI-Polri mengeksekusi rencana penindakan mereka terhadap KKB Papua.
Perubahan rencana tersebut mengakibatkan Tim Bravo 9 Belukar yang semula merupakan tim evakuasi menjadi tim penindak. Hal ini bertujuan untuk menggantikan dua Tim Nanggala dan satu Tim Belukar yang telanjur diketahui KKB. Sebelumnya, ketiga tim tersebut merupakan tim penindak.
Anton Tonapa mengisahkan ketika mereka melakukan observasi di Ilaga Kabupaten Puncak, Papua, terdengar suara tembakan sebanyak tiga kali yang membidik Bharada I Komang Wira Natha (yang saat ini berpangkat Bharatu Anumerta). Tembakan tersebut mengenai lengan, punggung, dan kaki Komang.
Sebagai seorang komandan, Anton mengatakan bahwa dirinya merasa sangat terguncang atas tertembaknya seorang prajurit yang berasal dari timnya. Terlebih, Anton memiliki kedekatan erat dengan Komang.
Saat itu, ketika Komang masih meneriakkan rasa sakitnya, Anton merasa bahwa Komang masih bisa diselamatkan. Karenanya, ia meminta agar timnya melakukan evakuasi dengan sigap dan penuh kehati-hatian di tengah hujan peluru yang berasal dari bukit.
Komang berhasil diamankan oleh rekan-rekan satu timnya, tetapi penyerangan masih terus berlanjut. Timah panas yang berasal dari KKB berhasil mengenai punggung Anton.
Ia mengatakan bahwa tubuhnya terasa kram dan bahkan sempat mati rasa. Refleks, Anton merebahkan tubuhnya dan mengamankan diri di tempat Komang sempat berlindung.
Baku tembak yang terjadi mengakibatkan helikopter evakuasi tidak dapat melakukan pendaratan. Mobil dan kendaraan lainnya juga tidak dapat digunakan untuk mengevakuasi mereka akibat medan yang terlalu ekstrem.
Anton terpaksa diarahkan untuk melakukan evakuasi dengan berjalan kaki. Padahal, selain Komang dan Anton, terdapat Muhammad Syaifiddin yang terkena tembakan di bagian perut.
Kondisi tersebut mengakibatkan tim yang dipimpin Anton merasa terpukul. Terlebih ketika Komang menghembuskan napas terakhirnya sebelum mendapat perawatan di rumah sakit.
Suasana berkabung menyelimuti seluruh anggota tim yang terlibat. Akan tetapi, perasaan tersebut tidak menghentikan semangat perjuangan mereka.
“Saya, dalam keadaan luka dan berdarah, berjalan kaki sejauh satu kilo,” tutur Anton.
Ketika telah mencapai medan dengan situasi yang lebih kondusif, helikopter yang berasal dari Polri akhirnya datang dan berhasil melakukan pendaratan.
Evakuasi lantas dilakukan untuk Anton dan Syaifiddin dengan membawa mereka guna dirawat di Rumah Sakit Timika.
Trauma pascakejadian
Meski tidak ada organ vital yang mengalami kerusakan, Anton mengatakan bahwa ia masih merasakan trauma yang mendalam akibat kejadian penembakan yang ia alami.
Anton mengatakan bahwa ia dihantui dengan suara yang menyerupai tembakan, ia merasa tidak nyaman dan takut ketika menaiki mobil, bahkan masih terlintas bayang-bayang peristiwa penembakan saat Anton sedang sendiri.
Setiap terdengar suara yang menyerupai tembakan, acap kali terdapat refleks untuk melindungi diri.
Sebelumnya, ketika masih menjalani perawatan di RS Timika, ia bahkan sempat lompat dari tempat tidur dan meneriakkan agar istrinya melakukan tiarap guna menghindari tembakan. Meskipun, suara tersebut sesungguhnya berasal dari petir.
“Di situ saya trauma, semuanya terasa menghantui,” ucapnya.
Hingga saat ini, Anton masih berupaya untuk memulihkan dirinya dari trauma pascakejadian yang menghantui.
Tindakan dari Polri
Polri memberikan prioritas pengobatan kepada para prajurit pembela negara sebagai penghargaan atas jasa serta pertumpahan darah yang telah diberikan demi menjaga keutuhan Indonesia.
Anton mengatakan bahwa tidak ada personel yang diabaikan, seluruhnya mendapatkan pengobatan yang diperlukan guna memulihkan kondisi.
Polri juga memfasilitasi Anton untuk menjalankan terapi guna memulihkan trauma yang dihadapi.
Atas berbagai fasilitas yang diberikan, Anton Tonapa menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) dan Kepala Polri (Kapolri).
Penghargaan lain dari Kapolri yang sangat berkesan bagi Anton adalah kenaikan pangkat luar biasa (KPLB) menjadi setingkat lebih tinggi dari pangkat lama.
Walaupun sesungguhnya, ia berharap agar seluruh anggota tim yang terlibat dalam insiden tersebut diberi kemudahan atau percepatan untuk naik pangkat. Anton merasa keberhasilannya merupakan buah dari kerja sama tim yang tidak mungkin dapat ia lalui sendiri.
Iptu Anton Tonapa berpesan kepada seluruh TNI dan Polri untuk tetap semangat dalam menjalani latihan agar terbiasa dengan situasi apapun di lapangan.
Perjuangan Anton beserta timnya telah menunjukkan bahwa Polri sebagai penegak hukum tidak pernah gentar mempertahankan NKRI dan melakukan tindakan terhadap kelompok kriminal. Ia berharap generasi muda dapat meneruskan semangat perjuangan para TNI dan Polri dalam mempertahankan keutuhan Indonesia.