Bandung (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar) siap memfasilitasi SA (31) seorang guru SMA di Kabupaten Sukabumi yang didiagnosa menderita Guillain-Barre Syndrome atau GBS yang merupakan penyakit saraf yang jarang ditemukan.
Ketua Harian Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Jawa Barat Daud Achmad, Senin, mengatakan pihaknya siap membantu SA untuk mendapatkan hunian sementara selama pengobatan di Bandung.
Komite Daerah (Komda) Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Jawa Barat memastikan dugaan KIPI berat usai menerima vaksinasi COVID-19 terhadap SA (31) seorang guru SMA di Kabupaten Sukabumi tidak terbukti berhubungan dengan vaksin.
SA didiagnosa menderita Guillain-Barre Syndrome atau GBS yang merupakan penyakit saraf yang jarang ditemukan.
Untuk diketahui, SA alami penglihatan yang buram usai 12 jam mendapatkan imunisasi COVID-19 pada awal April lalu kemudian anggota geraknya pun melemah sehingga dilarikan ke Rumah Sakit di Kabupaten Sukabumi dan mendapatkan perawatan selama 23 hari.
Selebihnya, Daud meminta kasus SA yang ternyata tidak ada kaitannya dengan efek samping vaksin diminta untuk disebarluaskan kepada masyarakat dengan berbagai saluran media sosial milik pemerintah maupun bantuan media massa.
“Kami pastikan bahwa vaksin ini aman kalau pun ada KIPI seperti di Sukabumi ini ternyata bukan karena vaksin melainkan karena GBS,” ujar dia.
Daud berharap dengan masih panjangnya proses vaksinasi di Jabar maupun dunia proses skrining ke depan lebih lengkap lagi.
Laporan KIPI Jabar
Sementara itu, terkait KIPI di Jabar, Ketua Divisi Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan COVID-19 Jawa Barat (Jabar) Marion Siagian mengatakan sejak vaksinasi digelar, terdapat 107 KIPI ringan dan 36 serius. KIPI ringan mayoritas ngantuk, merah di tempat penyuntikan dan juga lapar.
“Ke 36 KIPI serius itu sudah diaudit dan tidak ada yang hubungan langsung akibat vaksin Covid-19 ini,” kata Marion dalam kesempatan yang sama.
Marion berharap kasus SA merupakan kasus terakhir pada KIPI di Jabar. Tidak ada lagi kasus KIPI ringan maupun berat.
Sementara itu anggota Komda KIPI Jabar dr Rodman Tarigan menambahkan untuk KIPI serius itu kebanyakan pasien tidak sadarkan diri atau pingsan setelah menerima vaksin. Hal itu dikarenakan adanya kecemasan, ditambah melihat jarum suntik.
“Ada ketakutan sehingga muncul gejala sakit sampai pingsan. KIPI serius itu sampai dirawat dan itu ternyata tidak ada kaitannya dengan vaksinasi,” kata dia.
Dia menambahkan, kasus KIPI berat rasionya 1 juta banding satu orang. Adapun reaksi alergi berat dan ringan angkanya berkisar 2,5-5 persen.
“Efek samping yang terjadi sangat sedikit memang ada yang gatal, merah di tempat penyuntikan itu bawah 2,5 persen,” ujar Kusnandi
Menurut dia, KIPI itu bisa dikaitkan sama vaksin dan juga tidak bisa dikaitkan dengan vaksin. Contoh reaksi vaksin membuat panas badan, bengkak di tempat suntikan.
“Ada juga yang bukan reaksi vaksin, seperti salah suntik yang harus dicegah dan kita belum pernah ketemu KIPI seperti itu, kebanyakan reaksi individu yang terjadi. Biasanya 2,5 hingga 5 persen dari semua populasi itu KIPI ringan. Yang berat itu sangat jarang dari sejuta itu satu. Untuk keuntungan vaksinasi jauh lebih besar daripada reaksi itu jadi jangan takut divaksinasi karena ini mencegah dari penyakit,” kata dia.
Sementara itu, Plt. Kadinkes Jabar Dewi Sartika mengatakan untuk vaksinasi di Jabar yang dilaksanakan di Jabar dari 14 Januari hingga 2 Mei untuk dosis pertama tenaga kesehatan sudah mencapai 100 persen sedangkan dosis kedua baru mencapai 92 persen dari 180.000 nakes.
Tahap kedua dengan sasaran 4,4 juta lansia dan 2,195 juta pelayanan publik, dari sasaran lansia masih rendah. Lansia baru 7,54 persen yang mendapatkan dosis pertama dan 4 persen yang sudah mendapatkan dosis kedua. Terakhir untuk sasaran pelayanan publik sudah mencapai 58,2 persen dosis pertama dan 36,05 persen yang mendapatkan dosis kedua.*
Baca juga: Komda KIPI Jabar: Guru lumpuh di Sukabumi tak terkait vaksin
Baca juga: Komnas KIPI: Kesan sementara kelumpuhan Susan tak terkait vaksinasi