Cirebon yang terletak di sebelah Timur dari Jawa Barat mempunyai keunikan dari segi budaya, karena budaya yang sebagian besar dianut masyarakat bukanlah masuk kebudayaan Tatar Sunda ataupun kebudayaan Jawa seperti Yogyakarta, tetapi lebih banyak tumbuh dari akulturasi kedua budaya tersebut ditambah budaya masyarakat pesisir.
Kesenian Panggung yang berkembang juga seakan terlepas dari pengaruh Sunda seperti Tari Topeng, Tarling, Masres dan Sintren, demikian juga seni batik mempunyai motif khas tersendiri seperti wadasan dan mega mendung.
Namun, dari segi bahasa, Cirebon lebih banyak dipengaruhi bahasa Jawa karena pada tingkatan halus atau yang disebut "bebasan" tidak beda dengan kromoinggil dalam bahasa Jawa dengan pengucapan yang lebih ringan dan tidak "berat".
Keunikan itu membuat orang Cirebon enggan disebut orang Sunda walaupun masuk Jawa Barat dan bukan pula disebut orang Jawa, tetapi orang Cirebon.
Sebenarnya di beberapa wilayah Kabupaten Cirebon sendiri ada pula masyarakat yang masih menganut budaya Sunda yaitu di perbatasan dengan Kabupaten Kuningan seperti di Kecamatan Beber, sebagian Kecamatan Cirebon Selatan, dan Kecamatan Dukupuntang.
Mampukah kebudayaan Cirebon bertahan dari derasnya pengaruh globalisasi maupun dari gempuran budaya daerah lain akibat migrasi penduduk ?
Bupati Cirebon Drs Dedi Supardi MM mengakui, saat ini lebih banyak masyarakat Cirebon yang lebih senang menampilkan hiburan organ tunggal dibanding seni tradisional khasnya sendiri sehingga kaum seniman tradisional yang selama ini hidup dari panggilan hajatan semakin terpuruk.
"Jika dibiarkan bisa jadi budaya Cirebon, hanya tinggal namanya saja. Ini tidak boleh terjadi," katanya.
Menurut Bupati, masyarakat Cirebon harus dikenalkan dengan budayanya dan dengan kenal maka sedikit demi sedikit akan mencintai dan terus kemudian rindu jika tidak melihat penampilan seni budayanya itu.
"Bahasa Cirebon sudah menjadi mata ajaran bahasa daerah, tetapi tidak cukup karena generasi muda perlu terus dimotivasi agar mereka mengenal budaya Cirebon," katanya.
Pemilihan Kacung Lan Nok yang diselenggarakan baru-baru ini, merupakan salah satu bentuk pengenalan budaya Cirebon kepada generasi muda, dan terbukti cukup merangsang minat peserta untuk mengikuti kontes itu, padahal ada pesyaratan setiap peserta harus mempunyai kemampuan seni budaya Cirebonan.
Jumlah peserta yang ikut serta mencapai 121 orang dan setelah melalui tahap seleksi nanti akan terpilih 20 finalis yang kemudian bertarung dalam sebuah acara mirip kontes ratu kecantikan Indonesia.
Seperti layaknya "Kontes Dangdut Indonesia" para peserta dikarantina selama tiga hari dengan jadwal yang padat antara lain pengenalan sejumlah materi seperti etika dan kepribadian, kepariwisataan, kecantikan, busana, bahasa dan program kebijakan pembangunan Pemkab Cirebon.
Pada hari kedua di samping diminta menampilkan persentasi makalah tentang Periwisata Cirebon, peserta juga diminta unjuk kebolehan menampilkan seni dan budaya Cirebonan, ada yang menampilkan keterampilan membatik, menari, dan menyanyi tembang tarling Cirebonan.
Dari penyajian makalah dan uji kemampuan akhirnya terpilih 20 pasang Kacung lan Nok pada acara final yang digelar di Ball Room Apita Hotel, Rabu 26 April 2006 dengan pemandu Ronald Extravaganza dan Dita.
Seperti layaknya suguhan kontes ratu Indonesia dengan sentuhan khas Cirebon, tata panggung dibuat dengan latar belakang tembok pagar dan gapura Keraton Kasepuhan ditambah kanan-kiri berupa bangunan khas Cirebon.
Tidak kalah serunya, dan tarian pembukaan juga menggunakan Tari Cirebonan seakan mengukuhnya adanya seni yang terserabut dari Sunda maupun Jawa, inilah sosok budaya Cirebon yang masih tumbuh den berkembang di tengah masyarakatnya yang modern.
Satu per satu pasangan tampil ke depan memilih pertanyaan yang hampir semuanya mengenai budaya Cirebon, bahkan ada beberapa pertanyaan yang wajib dijawab dengan bahasa Cirebon sehingga banyak penonton yang tidak menyangka kacung yang ganteng dan nok yang cantik masih pandai berbahasa Cirebon yang halus.
Acara yang dipadati sekitar 2.000 penonton juga sempat diselingi "Tari Topeng Kelana", "Banyolan Pesisiran" dan Nyanyian Cirebonan oleh Dewi Yull.
Akhirnya terpilihlah sang juara yaitu Abdul Kholik dan Felinda Taguba, masing-masing dari Kecamatan Plered dan Tengah Tani, yang mampu menyisihkan 19 peserta lainnya, kemudian ada pula juara II dan III, serta juara katagori persahabatan dan favorit.
Abdul Kholik, mahasiswa Fakultas Hukum, Unswagati Cirebon mengaku, banyak hikmah yang dipetik dari rangkaian kontes tersebut antara lain peningkatkan wawasan tentang pariwisata khususnya pariwisata Cirebon dan munculnya motivasi untuk terus melestarikan budaya Cirebon.
"Saya makin sadar banyak potensi seni budaya yang bisa menjadi daya tarik wisata di Cirebon, tetapi belum dikemas dengan baik," katanya yang juga mahir membantik.
Hal senada diungkap Melinda Taguba, yang berkeinginan kompetisi seni dan budaya Cirebonan hendaknya di gelar secara rutin dari tingkat sekolah dasar sampai SMA sehingga ada penghargaan bagi mereka yang mendalami seni budaya Cirebon.
"Setiap sekolah bisa mengkhususkan pada satu atau dua seni Cirebonan, sehingga pembinaannya lebih intensif, setelah itu dibuat kompetisi tahunan," kata Melinda yang mahir memainkan Tari Topeng.
Ajang Kacung lan Nok yang disponsori Harian Mitra Dialog Cirebon juga membuat sejumlah peserta yang sebelumnya tidak mempunyai keahlian seni Cirebonan akhirnya tergerak untuk mempelajari sehingga menjadi bekal agar tidak tersingkir dalam ajang kontes itu.
Sebut saja, Aisyah, mahasiswa sebuah Perguruan Tinggi di Bandung asal Kecamatan Kedawung, Cirebon yang mengikuti kursus singkat selama satu minggu untuk menguasai "Tari Bedaya Cirebon".
"Karena saya tahu syaratnya menguasai salah satu seni Cirebonan, saya kursus kilat, dan Alhamdulilah bisa," kata Aisyah yang menyabet gelar Nok Persahabatan 2006. *
Budhi Santoso
Database Acuan Dan Perpustakaan LKBN ANTARA