Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengingatkan bahwa pemerintah bisa memproses hukum pihak-pihak yang terlibat dalam penolakan 'tracing' Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab.
Mahfud mengatakan bahwa siapapun yang menghalang-halangi petugas untuk melakukan upaya menyelamatkan masyarakat, dimana petugas itu melakukan tugas pemerintahan bisa diancam dengan pasal 212 dan 216 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
"Maka siapapun dia bisa diancam juga dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 212 dan 216. Jadi ada perangkat hukum di sini buat bisa diambil oleh pemerintah," kata Mahfud dalam konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, Minggu.
Mahfud mengatakan memang benar bahwa catatan kesehatan pasien berhak dilindungi aspek kerahasiaannya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
"Tetapi, di sini berlaku dalil lex specialis derogat legi generalis bahwa kalau ada hukum khusus, maka ketentuan yang umum seperti itu bisa disimpangi atau tidak harus diberlakukan" kata Mahfud.
Dalam kasus Rizieq tersebut, berlaku hukum khusus yaitu Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular yang menyebutkan bahwa catatan kesehatan seseorang bisa dibuka dengan alasan-alasan tertentu.
Untuk itu, pemerintah mengimbau kepada Rizieq Shihab agar kooperatif dalam rangka penegakan hukum.
"Kalau merasa diri sehat, tentunya tidak keberatan untuk memenuhi panggilan aparat hukum memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan demi keselamatan bersama," kata Mahfud.
Ia menambahkan seumpama Rizieq Shihab dinyatakan sehat dan tidak dapat menulari COVID-19 kepada orang lain, bisa saja Imam Besar FPI tersebut yang tertular karena kerap berada di antara kerumunan orang.
"Secara teknis kesehatan, itu sangat membahayakan bagi penularan COVID-19," kata Mahfud.
Dia mengatakan pihak Rumah Sakit Ummi dan MER-C juga akan dimintai keterangan oleh pihak berwajib.
Untuk itu, Mahfud meminta pihak terkait dapat kooperatif dan wajib hadir, agar kepolisian bisa mendalami keterangan-keterangan dari yang bersangkutan.
"Dimintai keterangan itu, mungkin hanya perlu data-data teknis. Tidak mesti kalau dimintai keterangan itu sudah dinyatakan bersalah. Mungkin hanya dimintai keterangan jam berapa datang, apa yang diperlihatkan, bagaimana, siapa saja yang masuk, dan sebagainya. Jadi tidak harus dianggap ia telah melanggar Undang-Undang," kata Mahfud.
Mahfud mengatakan bahwa MER-C tidak memiliki laboratorium terdaftar di Kementerian Kesehatan sebagai pihak yang berwenang melakukan tes COVID-19.
"Meskipun berdasarkan catatan MER-C itu tidak mempunyai laboratorium dan tidak terdaftar dalam jaringan yang memiliki kewenangan untuk melakukan tes," demikian Mahfud.
Mahfud menyampaikan pernyataan dalam konferensi pers tersebut dibuat usai rapat koordinasi bersama Ketua Satuan Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo, Direktur Jenderal P2P Kementerian Kesehatan, Dirjen Imigrasi Kemenkumham, Kadiv Hukum Mabes Polri, Jaksa Agung Muda bidang Intelijen, serta perwakilan Badan Intelijen Negara.
Baca juga: Satgas Kota Bogor minta RS UMMI laksanakan tes swab untuk lindungi pasien dan warga
Baca juga: Polisi akan panggil manajemen RS Ummi Bogor yang merawat Rizieq Shihab