Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga Direktur Utama PT PAL Indonesia (Persero) BUS menerima aliran dana Rp686.185.000 dalam kasus korupsi penjualan dan pemasaran di PT Dirgantara Indonesia (DI) Tahun 2007-2017.
"Dari hasil penyidikan sejauh ini, tersangka BUS diduga menerima aliran dana hasil pencairan pembayaran pekerjaan mitra penjualan fiktif tersebut sebesar Rp686.185.000," kata Deputi Penindakan KPK Karyoto saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis.
KPK, Kamis telah menetapkan BUS sebagai tersangka baru pengembangan kasus di PT DI tersebut. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Direktur Aerostructure PT DI 2007-2010, Direktur Aircraft Integration PT DI 2010-2012, dan Direktur Niaga dan Restrukturisasi PT DI 2012-2017.
Dalam konstruksi perkara dijelaskan Direksi PT DI periode 2007-2010 melaksanakan rapat Dewan Direksi (BOD/Board of Director) pada akhir 2007 membahas dan menyetujui penggunaan mitra penjualan (keagenan) beserta besaran nilai imbalan mitra dalam rangka memberikan dana kepada pembeli PT DI atau "end user" untuk memperoleh proyek.
"Pelaksanaan teknis kegiatan mitra penjualan dilakukan oleh direktorat terkait tanpa persetujuan BOD dengan dasar pemberian kuasa BOD kepada direktorat terkait," ucap Karyoto.
Ia mengatakan persetujuan atau kesepakatan untuk menggunakan mitra penjualan sebagai cara untuk memperoleh dana khusus guna diberikan kepada "end user" dilanjutkan oleh direksi periode 2010-2017.
"Sebagai pelaksanaan tindak lanjut persetujuan direksi tersebut, para pihak di PT DI melakukan kerja sama dengan Didi Laksamana selaku Dirut PT Abadi Sentosa Perkasa.
"Serta para pihak di lima perusahaan PT BTP (Bumiloka Tegar Perkasa), PT AMK (Angkasa Mitra Karya), PT ASP (Abadi Sentosa Perkasa) PT PMA (Penta Mitra Abadi) dan PT NPB (Niaga Putra Bangsa) dan Ferry Santosa Subrata selaku Dirut PT SBU (Selaras Bangun Usaha) untuk menjadi mitra penjualan," tuturnya.
Karyoto menyebut penandatanganan kontrak mitra penjualan tersebut sebanyak 52 kontrak selama periode 2008-2016. Kontrak mitra penjualan tersebut fiktif dan hanya sebagai dasar pengeluaran dana dari PT DI dalam rangka pengumpulan dana untuk diberikan kepada "end user".
"Pembayaran dari PT DI kepada perusahaan mitra penjualan yang pekerjaannya diduga fiktif tersebut dilakukan dengan cara mentransfer langsung ke rekening perusahaan mitra penjualan. Kemudian sejumlah uang yang ada di rekening tersebut dikembalikan secara transfer/tunai/cek ke pihak-pihak di PT DI maupun ke pihak lain atas perintah pihak PT DI serta digunakan sebagai fee mitra penjualan," ungkapnya.
Kemudian, dana yang dihimpun oleh para pihak di PT DI melalui pekerjaan mitra penjualan yang diduga fiktif tersebut digunakan untuk pemberian aliran dana kepada pejabat PT DI, pembayaran komitmen manajemen kepada pihak pemilik pekerjaan, dan pihak-pihak lainnya serta pengeluaran lainnya.
"Tersangka BUS menerima kuasa dari Budi Santoso sebagai Direktur Utama PT DI untuk menandatangani perjanjian kemitraan dengan mitra penjualan. Selain itu, juga tersangka memerintahkan Kadiv Penjualan agar memproses lebih lanjut tagihan dari mitra penjualan meskipun mengetahui bahwa mitra penjualan tidak melakukan pekerjaan pemasaran," kata Karyoto.
Dari dugaan perbuatan melawan hukum tersebut, kata dia, mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara pada PT DI sekitar Rp202 miliar dan 8,6 juta dolar AS sehingga total kerugian negara diperkirakan mencapai Rp315 miliar.
Baca juga: KPK tetapkan BUS tersangka baru kasus PT DI
Baca juga: Berkas perkara mantan Dirut PT DI dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Bandung
Baca juga: Mantan Dirut PT DI segera disidang
Tersangka BUS terima aliran dana Rp686 juta terkait kasus PT DI
Kamis, 22 Oktober 2020 16:53 WIB