Bandung (ANTARA) - Kepala Balai Wyata Guna, Sudarsono memberikan penjelasan tentang balai yang dipimpinnya saat ini dalam proses revitalisasi fungsional yang merupakan program nasional untuk mengoptimalkan peran balai-balai rehabilitasi sosial milik pemerintah.
Pihaknya juga meluruskan polemik yang terjadi di media dan media sosial, Balai Rehabiltiasi Sosial Wyata Guna, Bandung.
"Revitalisasi fungsional bertujuan agar masyarakat disabilitas diharapkan dapat diberdayakan dan berkiprah setelah mendapat pelayanan Rehabilitasi Sosial Lanjut di Balai Rehabilitasi Sosial," kata Sudarsono, dalam siaran persnya, Rabu.
Selama ini, kata dia, ada kesan bahwa balai rehabilitasi sosial seperti penampungan bagi disabilitas padahal menurutnya, fungsi balai lebih dari itu yakni diharapkan dapat mendorong kaum disabilitas berdaya sesuai dengan bidangnya.
"Kita ada program transformasi, perubahan status panti menjadi balai. Kita ingin balai rehabilitasi sosial ini berkontribusi secara progresif. Jadi pijakan bagi saudara-saudara kita kaum disabilitas agar dapat mengembangkan keberfungsian sosialnya dan kapabilitas sosialnya sehingga bisa berkiprah di masyarakat," ujar Sudarsono.
Salah satu konsekuensi dari transformasi tersebut, adalah adanya batas waktu bagi para penerima manfaat sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan.
"Tujuannya, agar para penerima manfaat dapat berkumpul kembali dengan keluarganya, mandiri serta berkiprah di masyarakat. Ini yang kita sebut dengan proses inklusi. Kita ingin, saudara-saudara kita diterima di masyarakat. Seperti yang lainnya," ujar Sudarsono.
Kendati demikian, kata dia, pemberlakuan ketentuan mengembalikan penerima manfaat kepada keluarga atau ke masyarakat, tidak dilakukan seketika.
Namuni melalui proses-proses yang panjang dan selama di balai, mereka diberikan pelatihan dan layanan yang holistik, sistematis dan terstandar sehingga ketika kembali ke masyarakat, mereka mandiri.
Adapun polemik yang terjadi di Wyata Guna, sebetulnya sudah diproses secara bijaksana sejak tahun 2019.
Pengelola balai, lanjut dia, bahkan telah memberikan toleransi kepada para penerima manfaat hingga bulan Juli.
"Di mana mereka seharusnya meninggalkan balai sejak Juni 2019. Pengelola balai juga sudah secara persuasif meminta penerima manfaat untuk berinisiatif mematuhi ketentuan, sebab, banyak penyandang disabilitas Sensorik Netra lainnya yang antre untuk masuk balai dan mendapatkan pelayanan," kata dia.
Selain itu, pada tanggal 12 Agustus 2019, Kementerian Sosial dan Pemprov Jawa Barat juga sudah rapat untuk mencari solusi bersama.
Dia mengatakan salah satu keputusannya adalah, Dinas Pendidikan Jabar berkomitmen membangun sarana pendidikan berkebutuhan khusus. dengan konsep boarding school yang dilengkapi asrama.
Dinas Sosial Provinsi Jabar juga merencanakan pembangunan panti sosial yang melayani semua penyandang disabilitas termasuk sensorik netra.
Pengembangan layanan terpadu nasional ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah meningkatkan pelayanan kepada penyandang disabilitas.
Sudarsono menyayangkan, di tengah proses peralihan dan komunikasi dengan Pemprov Jabar tersebut, mencuat isu yang justru kontraproduktif dengan langkah-langkah pemerintah.
"Kita duduk bersama, mencari solusi terbaik. Kita semua anak bangsa, tidak mungkinlah saling menegasi," kata dia.
Baca juga: Pemprov Jabar janji fasilitasi disabilitas alumni Wyata Guna
Baca juga: 30 disabilitas di Bandung terlantar di jalan setelah perubahan status panti