Bandung (ANTARA) - Chief Executive Officer (CEO) Lembaga Riset Telematika, Sharing Vision, Ali Akbar mengatakan nilai kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh sebuah hoaks atau berita bohong di sejumlah negara sangat besar dan jika dihitung bisa hingga ratusan juta rupiah.
"Tapi kerugian terbesar berupa non-materiil, rusaknya persatuan dan persaudaraan. Jadi hoaks sangat berbahaya, baik secara ekonomi maupun non-ekonomi dan itu bisa kita lihat dari kasus kerusuhan di Wamena, Papua, beberapa waktu lalu," kata Ali Akbar, Selasa.
Menurut dia apabila terjadi pada dunia usaha, sebuah hoaks bisa berpotensi menghilangkah peluang usaha dan keuntungan dan hoaks bisa membuat klien dan calon klien menjauh.
"Jadi hoaks juga bisa membuat konsumen lari dan pada gilirannya akan menekan angka penjualan dan omzet usaha," ujar dia.
Dampak yang paling besar ialah akan terjadi pada perusahaan yang melantai di bursa dan hoaks berpotensi menghilangkan kepercayaan pasar dan pada gilirannya akan menekan harga saham.
"Untuk dunia usaha, kepercayaan itu sangat penting dan dampaknya akan sangat luas, khususnya untuk pemasaran," ujarnya.
Sebagai contoh, sejumlah kasua hoaks yang sempat terjadi di sejumlah negara dan d Inggris, sebuah hoaks melalui telepon pada 2017 merugikan pihak rumah sakit sebesar 2.465 pound sterling atau Rp45 juta (satu pound sterling = Rp18.087).
"Dan itu merupakan ongkos yang dikeluarkan untuk pengiriman ambulans pada kasus hoaks tersebut," ujarnya.
Kerugian ekonomi besar lainnya akibat hoaks, kata dia, ialah diderita bandara Manchester pada 2014 ketika muncul hoaks bom di Maskapai Qatar Airways.
Sementara itu Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar) menggelar 'Seminar Pencegahan Ujaran Kebencian dan Sebaran Hoaks' di Aula Barat Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa sore.
Dalam seminar yang diikuti pelajar, mahasiswa, dosen, serta bagian hukum pemda kab/kota di Jabar ini, ditegaskan pentingnya bijak bermedia khususnya media sosial agar tidak terjerumus dalam hate speech (ujaran kebencian) dan hoaks (berita bohong).
Pasalnya di era disrupsi saat ini, media sosial memang menjadi platform utama penyebaran informasi.
Jika tidak digunakan dengan bijak dan sesuai etika, media sosial adalah lahan subur untuk menyebarkan konten terlarang, hate speech, hoaks, cyber-bullying, hingga penyebaran virus komputer.
Untuk itu, Direktur Kerja Sama HAM Direktorat Jenderal HAM Kemenkumham Bambang Iriana Djajaatmadja mengimbau pengguna media sosial (medsos) untuk berpikir sebelum menulis (posting) dan berpikir sebelum menyebarkan konten (share).
"Saat ini yang hilang dari kita adalah etikanya. Postingan kita juga harus ada rambu-rambunya. Dulu mulutmu harimaumu, sekarang statusmu harimaumu," kata Bambang.
"Berhati-hatilah dalam menggunakan media sosial. Kekecewaan penting (diutarakan), tapi think twice sebelum di-posting," tambahnya.
Terkait hate speech, lanjut Bambang, bentuk paling banyak berupa penghasutan, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, dan provokasi.
Semua itu bisa menjadi 'kuburan' bagi pengguna medsos karena melanggar UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) khususnya Pasal 27 ayat 3 terkait penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Selain itu, perilaku di medsos lainnya yang bisa dikenakan sanksi hukum antara lain hoaks pengancaman, peretas sistem data elektronik, pencurian data elektronik, serta akses ilegal.
Bambang berujar, pihaknya rutin bekerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia untuk mengedukasi masyarakat terkait pentingnya etika bermedia terutama menghindari hate speech dan hoax.
Adapun Kapolri pun telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian untuk menangani kasus tersebut.
"Jadi Polri selalu menggandeng Kemenkumham atau kami menggandeng Polri untuk menunjukkan efek takutnya. 'Ini loh, Polisi yang ngomong'," kata Bambang.
Bambang pun mengingatkan agar masyarakat tidak menyebarkan berita yang tidak bermanfaat dan belum pasti kebenarannya.
"Karena yang berat itu menyetop berita (hoaks) sebetulnya, bagaimana memutus berita itu agar tidak diserap masyarakat. Apalagi audio visual (video) bisa dipotong-potong, ditambah dengan narasi," kata Bambang.
"Saat ini, orang cenderung inginnya instan, melihat banyak membaca sedikit. Ini membuat kans penyebaran hoax semakin tinggi. Jadi setop menyebarkan berita yang belum pasti kebenarannya," katanya.
Bambang pun menyatakan, banyaknya pelaku tindak pidana ujaran kebencian yang terkena hukuman bukanlah prestasi bangsa ini, melainkan cermin kegagalan negara dalam melakukan penanggulangan tindak pidana tersebut.
Bambang menegaskan bahwa pemerintah terus berupaya menanggulangi (non pidana) hate speech melalui kerja sama dengan media sosial seperti Youtube, WhatsApp, Twitter, Instagram, hingga Facebook untuk mengawasi dan memblokir bentuk chatting dan berita yang mengarah kepada hate speech.
Langkah preventif lain dilakukan dengan menggandeng tokoh masyarakat dan agama, serta melakukan sosialisasi dan penyuluhan/diseminasi informasi larangan ujaran kebencian untuk menekan potensinya.
Baca juga: Video kepulangan Rizieq Shihab menjelang Reuni 212 adalah hoaks
Baca juga: Artikel - Hoaks, bukan sekedar kabar bohong
Kerugian akibat sebuah hoaks bisa ekonomi dan non-ekonomi
Rabu, 4 Desember 2019 15:55 WIB