Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama PT PLN (Persero) 2016-2018 Sofyan Basir dituntut 5 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti memfasilitasi pertemuan antara anggota Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, politikus Partai Golkar Idrus Marham dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo.
"Menyatakan, terdakwa Sofyan Basir terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagai mana dakwaan pertama. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 5 tahun dan pidana denda sejumlah Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ronald Worotikan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Tuntutan itu berdasarkan dakwaan pasal P2 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 56 ayat 2 KUHP.
Jaksa KPK menilai bahwa Sofyan terbukti membantu mewujudkan tindak pidana suap meski tidak menikmati hasil suap tersebut.
"Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi, hal yang meringankan terdakwa berlaku sopan, belum pernah dihukum dan tidak ikut menikmati pidana suap yang telah dibantunya," tambah jaksa Ronal.
Tujuan bantuan Sofyan tersebut adalah agar mempercepat proses kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) dengan Blackgold Natural Resources Limited (BNR) Ltd dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC,LTd) yang dibawa oleh Johannes Budisutrisno Kotjo.
JPU menilai Sofyan mengetahui Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham akan mendapat sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Johannes Budisutrisno Kotjo sehingga Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR RI 2014-2019 dan Idrus Marham menerima hadiah berupa uang secara bertahap seluruhnya berjumlah Rp4,75 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham BNR, Ltd.
Pada 2015, Johannes Kotjo melakukan kesepakatan dengan CHEC Ltd mengenai rencana pemberian fee sebagai agen proyek pembangunan PLTU MT RIAU-1 yang diperkirakan nilai proyeknya 900 juta dolar AS dengan "fee" sebesar 2,5 persen atau sejumlah 25 juta dolar AS.
Direktur PT Samantaka Batubara (anak perusahaan BNR) Rudy Herlambang pada 1 Oktober 2016 mengajukan permohonan proyek PLTU MT RIAU-1 agar PT PLN memasukan proyek ke dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PT PLN.
Namun karena setelah beberapa bulan tidak ada tanggapan maka Kotjo menemui Setya Novanto untuk meminta bantuan agar dipertemukan dengan PT PLN.
Setya Novanto lalu memperkenalkan Kotjo dengan Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR. Setnov meminta Eni agar membantu Kotjo dalam proyek PLTU itu dan akan memberikan "fee" dari bagian yang akan diperoleh Kotjo dari CHEC, yang kemudian disanggupi oleh Eni Saragih.
Menindaklanjuti permintaan Johannes Kotjo, pada saat rapat kerja Komisi VII DPR dengan PT PLN, Eni Maulani Saragih menyampaikan kepada Sofyan bahwa ia ditugaskan oleh Setya Novanto untuk mengawal perusahaan Johanes Budisutrisno Kotjo dalam proyek pembangunan PLTU MT RIAU-1 di PLN guna kepentingan mencari dana untuk Partai Golkar dan pemilu legislatif Partai Golkar, untuk itu Eni Maulani meminta Sofyan melakukan pertemuan dengan Setya Novanto di rumah Setya Novantao yang disanggupi terdakwa.
Pertemuan dilakukan pada 2016 dimana Sofyan didampingi Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso bersama dengan Eni Maulani Saragih bertemu dengan Setya Novanto di rumahnya.
Dalam pertemuan itu Setya Novanto meminta proyek PLTGU Jawa III kepada Sofyan Basir namun Sofyan menjawab PLTGU Jawa III sudah ada kandidat dan agar mencari pembangkit listrik lainnya, sehingga Eni berkoordinasi dengan Supangkat terkait proyek PLTU MT RIAU-1.
Beberapa waktu kemudian di Hotel Mulia Senayan, Sofyan kembali bertemu dengan Eni dan Johannes Kotjo membahas proyek pembangunan PLTU MT RIAU-1 dan Jawa sesuai pesan dari Setya Novanto sebelumnya.
Dalam pertemuan itu Sofyan menyampaikan kepada Johannes Budisutrisno Kotjo agar ikut proyek Riau saja dengan kalimat 'ya sudah kamu di Riau aja, jangan mikirin di Jawa karena sudah melebihi kapasitas', yang kemudian disanggupi oleh Johannes Kotjo.
Selanjutnya pada awal 2017, Johannes Kotjo dan Eni menemui Sofyan di kantor Sofyan untuk membawa proposal penawaran terkait proyek pembangunan PLTU MT RIAU-1 dimana Sofyan kemudian mengarahkan agar proposal diserahkan langsung kepada Supangkat Iwan.
Pertemuan selanjutnya dilakukan di hotel Fairmont Jakarta. Sofyan mengajak Iwan Santoso dan Nicke Widyawati bertemu Eni dan Johannes. Eni dan Johannes dalam pertemuan itu meminta kepada Sofyan agar proyek PLTU MT RIAU-1 tetap dicantumkan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2017-2026.
Atas permintaan Eni dan Johannes Kotjo tersebut, pada 29 Maret 2017, IPP PLTU MT Riau pun masuk ke dalam RUPTL PT PLN 2017-2026 dan disetujui masuk dalam rencana kerja dan anggaran (RKAP) PT Pembangkit Jawa Bali (PJB). PT PJB sesuai Perpres no 4 tahun 2016 ditunjuk melaksanakan sembilan proyek IPP dengan wajib memilik 51 persen saham.
Pada September 2017 di restoran Arkadia Plaza Senayan, Sofyan dan Supangkat Iwan kembali bertemu Eni dan Johannes Kotjo dan pada pertemuan itu, Sofyan memerintahkan Supangkat Iwan untuk mengawasi proses PLTU MT RIAU-1 Dan Eni juga meminta Sofyan dan Supangkat Iwan agar Johannes Kotjo bisa segera mendapat proyek PLTU MT RIAU-1 tersebut.
Selanjutnya pada 14 September 2017 di kantor PLN ditandatangani kontrak induk (heads of agreeement) oleh Dirut PT PJB Iwan Agung Firstantara, Plt Dirut PT PLN Batubara Suwarno, perwakilan CHEC Ltd Wang Kun, CEO BNR Richard Philip Cecile dan Dirut PT Samantaka Rudy Herlambang untuk membentuk konsorsium mengembangkan proyek PLTU MT RIAU-1.
Komposisi saham konsorsium adalah PT PJBI 51 persen, CHEC Ltd 37 persen dan BNR Ltd 12 persen dan pihak penyedia batu bara adalah PT Samantaka Batubara.
Sofyan pun menandatangani PPA proyek PLTU MT RIAU-1 dengan mencantumkan tanggal maju yaitu 6 Oktober 20117 padahal letter of intent IPP PLTU MT RIAU-1 baru ditandatangani Supangkat Iwan dan perwakilan perusahaan konsorsium pada 17 Januari 2018 dengan menggunakan tanggal mundur yaitu tertanggal 6 Oktober 2017 berisi masa kontrak 25 tahun dengan tarif dasar 5,4916 dolar AS per kWh dan segera membentuk perusahan proyek yang akan menjadi pihak penjual berdasarkan PPA.
Setelah Setya Novanto ditahan KPK dalam kasus KTP-El, Eni Maulani selanjutnya melaporkan perkembangan proyek PLTU MT RIAU-1 Idrus Marham agar Eni tetap diperhatikan terdakwa karena Idrus saat itu merupakan Sekretaris Jendral Golkar saat itu. Eni juga menyampaikan bahwa akan mendapat fee dari Kotjo untuk mengawal proyek tersebut.
Pada 25 September 2017, Eni Maulani melalui telepon berkomunikasi dengan Idrus Marham dan Idrus mengarahkan Eni untuk meminta uang 2,5 juta dolar AS kepada Johannes Kotjo untuk keperluan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar yang disanggupi Eni.
Atas bantuan Sofyan telah memfasilitasi Eni untuk mempercepat proses kesepaktan IPP PLTU MT RIAU maka untuk kepentingan munaslub partai Golkar dan biaya kampanye pilkada suami Eni Maulani Saragih sebagai calon Bupati Temanggung yang diusung partai Golkar, Eni bersama Idrus menerima imbalan berupa uang seluruhnya Rp4,75 miliar yang diterima secara bertahap melalui tenaga ahli Eni Maulani Tahta Maharaya di kantor Johannes Kotjo, Graha BIP Jakarta.
Pemberian uang itu, yaitu pada 18 Desember 2018 senilai Rp2 miliar, 14 Maret 2018 sejumlah Rp2 miliar, 8 Juni 2018 sejumlah Rp250 juta dan pada 13 Juli 2018 sejumlah Rp500 juta.
Selanjutnya sesaat setelah pemberian uang pada 13 Juli 2018, Johanes Kotjo dan Eni Maulani diamankan oleh petugas KPK beserta uang sejumlah Rp500 juta.
Dari total penerimaan uang dari Johanes Kotjo sejumlah Rp4,75 miliar tersebut, sejumlah Rp713 juta diserahkan oleh Eni Maulani selaku Bendahara Munaslub Partai Golkar kepada Muhammad Sarmuji selaku Wakil Sekretaris Steering Committe Munaslub Partai Golkar 2017 sesuai dengan keinginan Idrus Marham, sedangkan sisanya dipergunakan oleh Eni untuk kepentingan kampanye suaminya dalam Pilkada Temanggung.
"Uang sejumlah Rp4,75 miliar diterima Eni Maulani Saragih dari Johannes Sutrisno Kotjo dengan maksud agar Eni dan Idrus Marham membantu untuk mempercepat atau setidaknya tercapai kesepakatan PT PJBI, BNR Ltd dan CHEC Ltd," tambah jaksa Nanang Suryandi.
Menurut jaksa, dilihat dari Johannes Kotjo meminta Setya Novanto untuk memfasilitasi pertemuan dengan Sofyan Basir karena surat yang dikirimkan PT Samantaka untuk memasukkan PLTU MT Riau-1 ke RUPTL PLN tidak ditanggapi sehingga Setnov memperkenalkan Kotjo ke Eni.
"Dan Eni memfasilitasi pertemuan dengan terdakwa. Kotjo mengetahui Eni adalah anggota komisi VII dan Eni dapat mengatasi persoalan yang dialami oleh Johannes Kotjo, dan Johannes Kotjo yakin dengan bantuan Eni. Terdakwa paham Eni dan Setnov membantu Kotjo untuk kepentingn Golkar bukan tupoksi sebagai anggota DPR," jelas jaksa.
Atas tuntutan tersebut, Sofyan dan penasihat hukumnya akan mengajukan nota pembelaan pada Senin, 21 Oktober 2019
Terkait perkara ini sudah ada tiga orang yang divonis bersalah dan sedang menjalani hukuman.
Mereka adalah pemegang saham Blakgold Natural Resources (BNR) Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo yang divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda sejumlah Rp250 juta berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis mantan Menteri Sosial Idrus Marham menjadi 5 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan.
Sedangkan Eni Maulani Saragih pada 1 Maret 2019 lalu telah divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan ditambah kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp5,87 miliar dan 40 ribu dolar Singapura.
Baca juga: Dirut PLN Sofyan Basir dinonaktifkan
Jaksa KPK tuntut mantan Dirut PLN Sofyan Basir 5 tahun penjara
Senin, 7 Oktober 2019 16:31 WIB