Denpasar (ANTARA) - "Innalillahi wa innaa ilaihi raji'un. Kyai Maimoen Zubeir (Mbah Moen) wafat di tanah suci Mekkah jam 08.17 WIB. Beliau wafat di tempat yang dicintainya. Saya mendapat kabar langsung berita ini dari Pak Supri, salah seorang terdekat Mbah Moen. Jadi, insya-Allah, ini bukan hoax," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfudh MD saat mengabarkan melalui akun Twitter @mohmahfudmd.
Ya, ulama ahli fiqih (hukum Islam) asal Rembang, Jawa Tengah, yang akrab disapa "Mbah Moen" Zubair itu memang telah wafat di Mekkah, Arab Saudi, pada 6 Agustus 2019 pukul 04.17 Waktu Arab Saudi atau 08.17 WIB.
Mbah Moen adalah pimpinan Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah, yang juga peduli dengan persoalan kebangsaan, karena ia juga tercatat sebagai Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) dan juga Ketua Majelis Syariah di DPP PPP.
Hal itu agaknya mendorong Menteri Agama Lukman Saifuddin yang juga Amirul Hajj Indonesia langsung untuk bergegas melakukan takziyah almarhum ke RS An Noer, Mekkah, setelah mendengar kematian Mbah Moen pada Selasa subuh itu.
Juga baca: Selamat jalan Mbah Moen...
Juga baca: KH Maimoen Zubair dan hari kematian yang telah "diramalkan"
Juga baca: Prabowo: Mbah Moen sosok menginspirasi
"Tolong segera, agak cepat ya," kata Lukman yang mengenakan gamis panjang warna putih dan kopiah putih kepada jajarannya untuk menuju tempat Mbah Moen disemayamkan.
"Kita amat sangat berduka, sedih atas kepulangan almarhum. Almaghfurlah orangtua kita, guru kita, al Mukarom KH Maimoen Zubair, sehingga kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam bagi bangsa," kata Menag.
Presiden Joko Widodo pun langsung menyampaikan bela sungkawa atas meninggalnya pimpinan Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah, itu setelah menghadiri Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan 2019 di Istana Negara Jakarta (6/8).
Menurut Jokowi, tokoh NU yang terkenal dengan panggilan Mbah Moen ini merupakan kyai kharismatik dan menjadi rujukan-rujukan bagi umat muslim di Indonesia, terutama dalam hal fiqih. Selain itu, Mbah Moen sangat gigih dalam menyampaikan NKRI harga mati.
"Oleh sebab itu, kita sangat kehilangan. Atas nama pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia, kita semua ikut berbela sungkawa atas wafatnya beliau. Semoga dapat diterima di tempat terbaik di sisi Allah SWT dan keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran dan keikhlasan," kata Jokowi.
Presiden juga sangat terkesan dengan sosok Mbah Moen karena pernah datang ke Pondok Pesantren Al-Anwar, bahkan langsung diundang ke kamarnya untuk diberi pesan-pesan dan diajak Shalat Maghrib berjamaah.
"Pesan-pesan beliau sangat banyak, jadi tidak bisa diungkapkan satu persatu," kata Jokowi ketika ditanya pesan yang paling terkesan dari Mbah Moen.
Rencananya, Mbah Moen dimakamkan di Jannatul Ma’la Mekkah bersama ulama-ulama Indonesia sebelumnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani (cicit KH Ma'ruf Amin), Syekh Amin Al Quthbi al-Lomboky, Syekh Khotib Minangkabau, Sayyidah Khadijah al-Kubro, Sayyid Ibrohim, Sayyid Qosim, Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki
Ulama "penjaga" NKRI
Mengutip media resmi NU "NU online" tentang profil singkat almarhum, Mbah Moen dikenal sebagai seorang alim, faqih, sekaligus muharrik (penggerak). Kiai Maimoen merupakan rujukan ulama Indonesia dalam bidang fiqih, karena Kiai Maimoen menguasai secara mendalam ilmu fiqih dan ushul fiqih.
Kiai Maimoen lahir di Sarang, Rembang, pada 28 Oktober 1928. Kiai sepuh ini, mengasuh Pesantren al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Kiai Maimoen merupakan putra dari Kiai Zubair, Sarang, seorang alim dan faqih. Kiai Zubair merupakan murid dari Syekh Saíd al-Yamani serta Syekh Hasan al-Yamani al-Makky.
Kedalaman ilmu dari orang tuanya, menjadi basis pendidikan agama Kiai Maimoen Zubair juga menjadi sangat kuat. Ia meneruskan mengajinya di Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah bimbingan Kiai Abdul Karim. Selain itu, selama di Lirboyo, ia juga mengaji kepada Kiai Mahrus Ali dan Kiai Marzuki.
Pada umur 21 tahun, Maimoen Zubair melanjutkan belajar ke Mekkah Mukarromah, didampingi oleh kakeknya sendiri, yakni Kiai Ahmad bin Syuáib. Di Mekkah, Kiai Maimun Zubair mengaji kepada Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly dan beberapa ulama lainnya.
Kiai Maimoen juga meluangkan waktunya untuk mengaji ke beberapa ulama di Jawa, di antaranya Kiai Baidhowi, Kiai Ma'shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain.
Kiai Maimoen juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan santri. Di antaranya, kitab berjudul "Al-Ulama al-Mujaddidun". Ia merupakan kawan dekat dari Kiai Sahal Mahfudh, yang sama-sama santri kelana di pesantren-pesantren Jawa, sekaligus mendalami ilmu di tanah Hijaz.
Selepas kembali dari tanah Hijaz dan mengaji dengan beberapa kiai, Kiai Maimoen kemudian mengabdikan diri untuk mengajar di Sarang, tanah kelahirannya. Pada 1965, Kiai Maimoen kemudian istiqomah mengembangkan Pesantren al-Anwar Sarang. Pesantren ini pun menjadi rujukan santri untuk belajar kitab kuning dan mempelajari turats secara komprehensif.
Selama hidupnya, Kiai Maimoen memiliki kiprah sebagai penggerak. Ia pernah menjadi anggota DPRD Rembang selama 7 tahun. Selain itu, beliau juga pernah menjadi anggota MPR RI utusan Jawa Tengah. Kini, karena kedalaman ilmu dan kharismanya, Kiai Maimoen Zubair diangkat sebagai Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Bagi Kiai Maimoen, politik itu bukanlah tentang kepentingan sesaat, tetapi bagian dari kontribusi untuk mendialogkan Islam dan kebangsaan. Tidak jauh berbeda dengan ulama-ulama Indonesia terdahulu yang alim dalam keilmuan, tapi kecintaan kepada bangsa dan negaranya juga cukup tinggi.
Kecintaan Mbah Moen kepada bangsa dan negaranya itu diungkapkan Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor Yaqut Cholil Qoumas. Ia mengenang almarhum KH Maimoen Zubair sebagai figur ulama yang mengijazahkan mars "Syubbanul Wathan" yang kini cukup memasyarakat itu.
"Saat kami sowan ke Pesantren Al Anwar Sarang Rembang, Kiai Maimoen mengijazahkan (menyampaikan amalan dari guru untuk dilaksanakan sang murid/santri) syair Syubbanul Wathan yang beliau dengar tiap hari saat mondok di Pesantren Tambak Beras, Jombang," ujar Gus Yaqut.
Syubbanul Wathan adalah lagu ciptaan KH Wahab Hasbullah yang berisi semangat kebangsaan dan cinta tanah air yang sedemikian populer di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Lagu ciptaan KH Wahab Hasbullah itu membuktikan pandangannya yang utuh tentang berbangsa bahwa Indonesia adalah martabat dan mempertahankan NKRI adalah harga diri.
Ya, Mbah Moen merupakan pakar hukum Islam (fiqih) yang menjadi rujukan, tapi sekaligus muharrik (penggerak) yang menyemangati umat Islam dengan slogan "NKRI Harga Mati". "Semoga teladan yang telah diberikan Mbah Moen tentang agama dan bangsa bisa menjadi bekal kita menghadapi tantangan bangsa ini," ujar Gus Yaqut yang keponakan KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) itu.
Baca juga: Amirul Hajj: Mbah Moen dimakamkan di Mekkah