Tak perlu menanti gebrakan besar untuk menyulutkan gerakan energi lestari, karena terkadang hal ini bisa lahir dari rutinitas harian. Salah satu sekolah di Cirebon, Jawa Barat, misalnya, sejak beberapa tahun terakhir sudah mempraktikkannya.
Siang itu, pada pekan kedua September 2025, udara teramat resik saat ANTARA menjejakkan kaki di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 7 Kota Cirebon.
Lingkungannya terasa asri, tertata begitu apik. Taman kecil menghijau di setiap sudut dan jalan setapaknya bersih tanpa jejak sampah, apalagi puntung rokok.
Beberapa siswa terlihat menyiangi tanaman di kebun belakang. Mereka menggemburkan tanah dan menata polybag berisi sayuran.
Di sudut lain, barisan tanaman hidroponik tumbuh subur. Akar-akar putih bergelayut di pipa air, sementara guru berdiri memberi arahan.
Siswa mencatat hasil pengamatan dengan wajah sumringah, karena belajar langsung dari alam yang dirawat sendiri.
Aroma fermentasi samar tercium pada ruangan bernama rumah kompos. Dua siswa mengaduk sisa bahan organik yang diolah menjadi pupuk cair.
Namun, yang paling mencuri perhatian dari semua itu, berada pada atap sekolah. Instalasi panel surya berderet rapi menjemput cahaya, membiarkan mentari bekerja untuk memberi daya.
Setrum dari surya
Sejak 2023, sekolah ini mulai menggerakkan agenda energi ramah lingkungan melalui pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Perangkat itu diperoleh lewat program Sekolah Berdikari, dari PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ).
Sistemnya terdiri atas enam panel surya berkapasitas total 3.300 watt peak (Wp), disertai baterai 5 kWh untuk penyimpanan energi.
Kepala SMPN 7 Kota Cirebon Euis Sulastri mengungkapkan penggunaan PLTS dapat memangkas tagihan listrik, yang semula Rp9 juta sampai Rp11 juta menjadi Rp6 juta per bulan.
“Efisiensinya sekitar 45 persen. Angka ini sangat signifikan mengingat sekolah kami memiliki sekitar 40 ruangan,” ujarnya kepada ANTARA.
Menurut dia sistem surya ini memberi dukungan signifikan pada program penghijauan sekolah, sekaligus mengurangi ketergantungan pada listrik konvensional.
Listrik dari PLTS dapat memasok ruang perpustakaan, tata usaha, laboratorium, hingga kebun hidroponik.
Letak Cirebon di wilayah pesisir, lanjut dia, membuat durasi penyinaran matahari lebih panjang dan stabil.
Dari pihak penyedia, PHE ONWJ rutin melakukan pemantauan panel, baterai, dan inverter agar operasinya tetap andal.
Gangguan sempat terjadi, tetapi dukungan teknis membuat instalasi kembali stabil.
Kontribusi SMPN 7 Cirebon dalam pemanfaatan tenaga surya, mungkin tak seberapa dibanding penggunaan PLTS atap yang secara nasional mencapai 538 MWp per Juli 2025. Sesuai catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Meski begitu, pada skala mikro, model seperti ini dapat direplikasi ke sekolah lain sehingga semangat efisiensi energi meluas di dunia pendidikan.
Kesadaran
Hampir setiap sudut sekolah ini menciptakan ruang belajar yang ramah indera, ditunjang listrik bertenaga surya. Kenyamanan itu dirasakan para siswa, termasuk Javier, pelajar kelas VIII.
Saat di bangku sekolah dasar (SD), dirinya sulit berkonsentrasi karena lingkungannya sangat panas.
Di sekolahnya sekarang, ruang kelas mendapat pasokan udara alami yang mengalir dari jendela-jendela besar.
Kondisi tersebut membantunya fokus ketika mengikuti pembelajaran, khususnya pada mata pelajaran yang membutuhkan konsentrasi tinggi.
Kala suntuk melanda, Javier memilih menatap pepohonan di luar sebagai jeda singkat sebelum kembali dalam rutinitas belajar.
“Aku merasa lebih fokus saat belajar, terutama pada pelajaran yang sulit seperti fisika dan matematika,” tuturnya kepada ANTARA di sela waktu istirahatnya.
Di luar akademik, Javier mengikuti kegiatan keanekaragaman hayati yang menjadi wadah untuk siswa mempelajari spesies tanaman di lingkungan sekitar.
Tujuannya menumbuhkan kesadaran pada siswa, termasuk dirinya, untuk benar-benar peduli terhadap keberlanjutan ekosistem.
Javier mengenali aneka tanaman di sekolahnya lewat kegiatan ini. Dirinya kerap membantu menempelkan barcode, agar setiap pohon memiliki identitas sampai ciri-ciri morfologinya yang mudah dilacak.
Nabila, teman seangkatan Javier, merasakan hal serupa. Ia jatuh hati pada atmosfer sekolah yang sejuk dan menenteramkan.
Ia aktif dalam program kegiatan memilah sampah organik dan anorganik, setelah belajar di sekolah.
Segala rutinitas yang dilakoni menjadi pintu masuk bagi mereka, untuk memahami bagaimana lingkungan dan energi saling berkaitan.
Misalnya, ketika kelas terasa lebih teduh, penggunaan kipas angin dapat dikurangi. Kemudian, saat cahaya alami cukup maka lampu tidak perlu menyala sepanjang hari.
Keduanya mengakui kebiasaan kecil tersebut menjadi bagian awal, untuk memahami pentingnya konservasi energi.
Energi lestari
Pengenalan konsep energi lestari dapat tumbuh ketika didukung ekosistem belajar yang dipraktikkan setiap hari. Hal ini diamini oleh Wakil Kepala SMPN 7 Kota Cirebon Dewi Yoni Setyorini.
Ia menilai konsep energi lestari dilihat dari cara menggunakan sumber daya secara holistik, dan tidak sebatas soal listrik.
Ada berbagai program yang dijalankan di sekolah ini yang menerapkan konsep tersebut, misalnya budidaya jamur tiram.
Awalnya guru-guru mempelajari budidaya jamur melalui pelatihan, kemudian mencoba menerapkannya di sekolah, hingga akhirnya berhasil memanen jumlah melimpah, sekitar 10 kg.
Hasilnya diolah menjadi makanan ringan atau dijual segar dengan label sekolah. Adapun omzet penjualan diputar kembali menjadi modal bibit. Hal serupa berlaku juga untuk budidaya sayur hidroponik.
Kompos menjadi aktivitas lain yang menonjol. Dengan produksi pupuk padat dan cair yang melimpah, sekolah ini bahkan membuka rumah sakit tanaman di green house.
Dewi mengatakan tanaman yang mengering atau tampak kurang sehat dirawat sesuai kebutuhannya, dipindahkan jika kurang cahaya atau diberi pupuk sesuai jenisnya.
Untuk urusan sampah, kata dia, sekolah menaruh dropbox atau wadah khusus di setiap kelas untuk mengumpulkan botol minuman bekas dalam kondisi kering.
Pihak sekolah memisahkan sampah menjadi tiga jenis yakni organik, anorganik dan B3 sehingga memudahkan pemanfaatan lebih lanjut.
Kalau sudah penuh, sampah itu biasanya dijual ke salah satu bank sampah di wilayah pesisir Kota Cirebon.
Uang hasil penjualan masuk ke tabungan bank sampah yang dikelola siswa per kelas, dan bisa dicairkan untuk keperluan kelas atau kegiatan lingkungan.
Semua program ini dijalankan oleh tim divisi yang terdiri dari guru pembina dan kader siswa. Jumlahnya minimal 20 persen dari total 1.177 murid di sekolah tersebut.
Salah satu divisi, kata dia, yakni bidang konservasi energi berhasil merancang instalasi alat siram otomatis dengan mekanisme Internet of Things (IoT).
Alat ini dilengkapi sensor kelembapan, yang bekerja saat tanah mulai kering, lalu memicu aliran air tanpa perlu disentuh siapa pun.
Soal air, sekolah ini juga hemat. Pihaknya mengandalkan empat sumur resapan sebagai sumber penyiraman area hijau. Masing-masing memiliki daya tampung 1.200 liter.
Menariknya lagi, air bekas wudhu masjid dan kolam ikan turut dialirkan kembali ke sistem hidroponik atau disaring sebelum masuk saluran drainase.
“Semua program tadi kami padukan dengan pasokan listrik dari PLTS,” katanya.
Dengan seluruh program yang berjalan simultan, para murid semakin terdidik untuk menjaga lingkungan. Tidak mengherankan sekolah ini menyandang predikat adiwiyata mandiri.
Berkelanjutan
Diceritakan Dewi, kiprah SMP Negeri 7 Kota Cirebon meraih predikat tersebut tidak mudah. Bahkan diawali dengan kegagalan dalam lomba sekolah sehat.
Evaluasi menyeluruh pun diterapkan, sampai membuat sekolahnya beralih fokus pada penguatan program adiwiyata.
Seiring waktu sekolah ini berhasil meraih predikat tingkat kota, dilanjutkan ke provinsi, nasional, hingga mencapai status adiwiyata mandiri.
Untuk memenuhi persyaratan status tersebut, pihaknya membina 10 sekolah imbas dari SD hingga SMP guna menularkan konsep cinta lingkungan dan hemat energi.
Pelaksana Bidang Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cirebon Budi Santoso mengatakan, penerapan tenaga surya di sekolah ini menjadi bentuk nyata konservasi energi.
Langkah itu menunjukkan penggunaan energi, dapat dilakukan tanpa mengurangi kualitas lingkungan di sekitarnya. Efisiensi pembayaran listrik tercapai, tetapi yang paling penting menumbuhkan kesadaran siswa terhadap energi baru terbarukan.
Budi menegaskan keberhasilan program semacam ini sangat bergantung pada edukasi.
Fasilitas tanpa pengetahuan dan pendampingan, hanya akan dimanfaatkan sementara tanpa nilai keberlanjutan.
Oleh karena itu, DLH turut bergerak memberikan pendampingan mencakup pengenalan nilai, keterampilan dan perilaku hemat energi kepada guru serta siswa.
Tujuannya agar seluruh warga sekolah, memahami makna konservasi energi secara utuh.
Dalam program adiwiyata, lanjutnya, konservasi energi menjadi bagian penting dari pembentukan perilaku ramah lingkungan. Sekolah dinilai berhasil, jika mampu menerapkan perilaku tersebut dalam aktivitas harian.
Ia menyampaikan sumber energi terdiri atas dua jenis, yakni yang dapat diperbarui dan yang terbatas seperti energi fosil.
Budi menambahkan, posisi Indonesia di garis khatulistiwa memberi potensi besar untuk mengembangkan energi surya yang berkelanjutan.
Kesadaran ini, kata dia, harus dibangun melalui pendidikan agar manfaatnya terus dirasakan oleh generasi berikutnya.
Optimalkan potensi
Tak hanya sekolah di wilayah kota, upaya untuk menapaki jalan menuju penggunaan energi bersih pun kini merembet pada kebijakan daerah, termasuk di Kabupaten Cirebon.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cirebon mencanangkan pembangunan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Kecamatan Sedong, yang diproyeksikan memiliki kapasitas 150 megawatt dengan 20 menara turbin.
Riset potensi di Kecamatan Sedong, menunjukkan kawasan tersebut memiliki kecepatan angin yang stabil sehingga sangat ideal untuk digunakan sebagai sumber energi dari PLTB.
Pembangunan fisiknya ditargetkan mulai pada 2026, kemudian dapat beroperasi secara komersial di tahun berikutnya.
Pemkab Cirebon sudah menyambangi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Barat pada Juni 2025, untuk mempercepat proses perizinan pembangunan PLTB.
Wakil Bupati Cirebon Agus Kurniawan Budiman menyebutkan pertemuan tersebut dinilai perlu, supaya proyek pada sektor energi terbarukan itu dapat terealisasi.
PLTB di Kecamatan Sedong, kata dia, disebut sebagai fasilitas pembangkit setrum pertama di kawasan pesisir utara Jawa Barat.
Langkah lain yang kini sedang digarap pemerintah daerah, yaitu rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Kabupaten Cirebon, berkapasitas 10 megawatt.
Dalam proyek ini, Pemkab Cirebon menjajaki kerja sama dengan sektor swasta untuk mengolah hingga 600 ton sampah per hari.
Bupati Cirebon Imron mengatakan fasilitas ini diperkirakan dapat mengolah setengah dari total sampah harian daerahnya, yang mencapai 1.200 ton per hari.
Proyek ini diawali dengan studi kelayakan sebelum memasuki tahap konstruksi. Bila semua proses berjalan lancar, pembangunan ditargetkan rampung dalam dua tahun ke depan.
“Proyek ini dapat mengubah wajah pengelolaan sampah, yang selama ini hanya berakhir di tempat pembuangan akhir,” tegasnya.
Masih terkait sampah, pemerintah daerah sangat serius untuk merealisasikan penerapan teknologi refuse derived fuel (RDF).
Fasilitas RDF digunakan untuk menyulap hasil olahan sampah, sebagai bahan bakar alternatif untuk industri semen. Kapasitas pengolahannya yang semula 50 ton per hari ditingkatkan menjadi 100 ton.
Adapun saat ini, lahan sekitar satu hektare telah disiapkan dan penyusunan Detail Engineering Design (DED) untuk proyek tersebut sedang dikebut.
Berbagai upaya tadi sejatinya bermuara pada satu hal, yaitu agar penggunaan energi ramah lingkungan tidak berhenti pada aspek perencanaan.
Jika sekolah kecil di Cirebon bisa menggabungkan pendidikan, lingkungan dan energi lestari, mengapa tidak di tempat lain?
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mematri gerakan energi lestari dari sekolah berdikari
Editor : Yuniardi Ferdinan
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2025