Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Cirebon, Jawa Barat, memperkuat pendataan cagar budaya untuk mencegah terulangnya kesalahpahaman maupun miskomunikasi antara pemilik aset dengan pemerintah daerah (pemda).
Kepala Disbudpar Kota Cirebon Agus Sukmanjaya di Cirebon, Kamis, mengatakan penguatan pendataan ini penting untuk menyinkronkan dokumen pemerintah daerah dengan dokumen pemilik aset, termasuk yang dikelola oleh pihak swasta maupun BUMN seperti PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Hal ini, kata dia, menjadi tindak lanjut dari hasil rapat dengar pendapat (RDP) di DPRD Kota Cirebon yang memantik untuk adanya peningkatan koordinasi antarpemangku kepentingan terkait aset cagar budaya.
“Koordinasi perlu ditingkatkan antara tim ahli cagar budaya yang ditugaskan untuk pemeliharaan dan pelestarian dengan pemilik aset, terutama yang dari sektor swasta maupun privat,” katanya.
Agus menuturkan persoalan yang muncul belakangan ini berkaitan dengan adanya perbedaan data maupun dokumen terkait cagar budaya. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan miskomunikasi dalam pengelolaan aset bersejarah.
Menurutnya, penyelarasan dokumen penting agar pemda dan pemilik aset memiliki pijakan yang sama dalam upaya pelestarian.
“Artinya yang kami usung tentu adalah aspirasi masyarakat untuk penyesuaian dokumen yang ada di pemda dengan dokumen, seperti yang ada di PT KAI,” ujarnya.
Agus berharap ke depan tidak ada lagi kesalahan dalam pencatatan maupun penetapan kepemilikan cagar budaya, sehingga proses perlindungan serta pemanfaatannya dapat berjalan lebih terarah.
Ia pun menyinggung soal polemik naming rights atau hak penamaan di Stasiun Cirebon yang sempat menjadi sorotan masyarakat, karena menyematkan jenama produk tanpa mencantumkan nama Kejaksan yang merupakan lokasi stasiun tersebut.
Ia menegaskan hal tersebut, berada sepenuhnya di bawah kewenangan PT KAI sebagai pemilik aset Stasiun Cirebon yang termasuk cagar budaya di daerahnya.
Disbudpar, lanjut dia, tidak mengambil posisi lebih jauh karena saat ini fokus untuk menampung aspirasi masyarakat agar ada penyesuaian data secara lebih akurat.
“Harapan kami ke depan hal seperti ini tidak terjadi lagi,” ujarnya.
Sementara itu, Vice President Daop 3 Cirebon Mohamad Arie Fathurrochman memastikan pihaknya siap menampung aspirasi masyarakat terkait penyesuaian nama Stasiun Cirebon agar tetap mencantumkan identitas Kejaksan sebagai kawasan bersejarah di kota tersebut.
Ia mengatakan aspirasi masyarakat menjadi pertimbangan utama, terutama usulan agar nama resmi stasiun diubah menjadi Stasiun Cirebon Kejaksan.
“Namun perubahan nama membutuhkan prosedur karena status formalnya diatur secara nasional atau manajemen pusat,” tuturnya.
Terkait naming rights, lanjut Arie, pihaknya sempat melakukan kerja sama dengan perusahaan batik swasta untuk menyematkan hak penamaan di Stasiun Cirebon.
Akan tetapi, ia menekankan kerja sama tersebut saat ini masih dalam kajian ulang sesuai arahan manajemen pusat karena memicu kritik dari budayawan di Kota Cirebon.
“MOU tersebut ada di pusat, kami hanya pelaksana. Semua aspek sedang ditinjau ulang dan akan kami laporkan hasilnya,” ucap dia.
Editor : Riza Fahriza
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2025