Presiden RI Joko Widodo mengkhawatirkan bertambahnya negara yang menghentikan ekspor komoditas pangan dari 19 negara menjadi 22 negara.

Presiden mengakui situasi tersebut membuatnya ngeri karena terhentinya pasokan pangan dari negara tersebut akan berdampak pada kenaikan harga di dalam negeri.

"Ngeri sekali kalau melihat cerita semua negara sekarang mengerem semuanya, tidak ekspor pangan-nya. Gandum sudah, beras sudah, gula sudah, semuanya ngerem semuanya," kata Presiden Jokowi pada Pembukaan Rakernas IV PDIP di Jakarta, Jumat.

Jokowi menjelaskan sejumlah negara, seperti Uganda, Rusia, Bangladesh, Pakistan hingga Myanmar memutuskan untuk menghentikan ekspor bahan pangan mereka, termasuk gandum dan beras.

Kepala Negara mengingatkan bahwa akibat Ukraina dan Rusia menghentikan ekspor gandum mereka, salah satu negara maju di Eropa bahkan kekurangan bahan pangan karena mahalnya harga.

"Saya baca di sebuah berita, di satu negara maju di Eropa, anak-anak sekolah banyak yang sudah tidak sarapan pagi sekarang, karena kekurangan bahan pangan, karena mahalnya bahan pangan," kata Jokowi.

Ia kembali menekankan bahwa krisis pangan bukanlah kondisi yang mudah untuk diselesaikan di tengah perubahan iklim yang nyata.

Musim kemarau yang panjang telah menyebabkan gagal panen, serta ancaman gagal panen akibat fenomena super El Nino di 7 provinsi yang dapat memengaruhi pasokan pangan.

Oleh sebab itu, Presiden menegaskan perlunya visi taktis dan rencana yang matang, bahkan hingga 10 tahun ke depan untuk mewujudkan ketahanan pangan.

Apalagi, pertumbuhan penduduk di Indonesia naik 1,25 persen setiap tahun sehingga diperkirakan mencapai 310 juta penduduk pada tahun 2030.
"Sekali lagi, pangan menjadi kunci seperti yang disampaikan Bung Karno. Pangan merupakan mati hidupnya suatu bangsa itu betul sekali," kata Jokowi.


Ketergantungan beras

Sementara itu Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Megawati Soekarnoputri mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sangat tergantung kepada beras sehingga rawan mengidap diabetes atau penyakit gula.

Awalnya, dia menyinggung soal kenaikan harga beras yang terjadi beberapa waktu belakangan. Hal itu tentu menjadi potret bagaimana masyarakat sangat tergantung terhadap konsumsi beras

"Beberapa pekan terakhir ini, Indonesia telah merasakannya, dihadapkan pada persoalan kenaikan harga beras dan kebutuhan pokok lainnya. Kalau kembali dilihat karena kita ternyata tergantung sekali dalam kehidupan kita untuk mengonsumsi beras," ujar Megawati di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Jumat.

Dia mengutip data yang menyebut tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia melebihi angka yang layak.

"Tingkat konsumsi beras per kapita sebesar 96 kilogram dan itu ternyata tertinggi di dunia. Sementara sebenarnya konsumsi beras yang sehat adalah 65 kilogram per orang per tahun," paparnya.

Baca juga: Megawati sebut panganan lokal dapat gantikan konsumsi gandum

Baca juga: Megawati minta Jokowi tak alih fungsikan lahan subur jadi permukiman

Berdasarkan laporan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), Indonesia jadi negara dengan konsumsi beras global terbesar keempat di dunia yang konsumsinya mencapai 35,3 juta metrik ton pada periode 2022/2023.

Angka volume konsumsi beras tersebut konsisten dari konsumsi masyarakat Indonesia pada periode sebelumnya, kata dia.

Untuk itu, ia meyakini konsumsi beras yang sangat tinggi menyebabkan tingginya angka masyarakat Indonesia terkena penyakit diabetes.

"Tingginya konsumsi beras membawa implikasi terhadap kesehatan, seperti penyakit-penyakit termasuk yang sangat, sekarang menuju penyakit mungkin yang cukup masuk tertinggi adalah sakit gula atau diabetes," jelas Megawati.

Kendati demikian, salah satu solusi mengatasi permasalahan ini adalah penganekaragaman pangan masyarakat Indonesia. Padahal, banyak sumber pangan di Indonesia selain beras.

"Pada gilirannya, rendahnya diversifikasi pangan akan menjadi beban nasional kita," pungkasnya.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Jokowi ngeri sudah 22 negara stop ekspor pangan

Pewarta: Mentari Dwi Gayati

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2023