Banyak pemburu kuliner dunia mengakui bahwa masakan Indonesia memiliki cita rasa tinggi dengan ciri kuat rasanya yang strong lantaran banyaknya bumbu.
Supaya bisa diterima di negara lain seperti di Vietnam, tentu dibutuhkan strategi khusus, dan ini yang dilakukan Restoran Halal Batavia yang merupakan satu-satunya restoran masakan Indonesia di Hanoi.
Berada di kawasan elit Vietnam, Ba Dihn atau sekitar 300 meter dari Museum Ho Chi Minh, restoran ini selalu ramai dari pukul sembilan pagi hingga 10 malam waktu setempat.
“Lidah orang di sini (Vietnam) beda sekali dengan Indonesia. Mereka tidak suka pedas tapi cenderung suka asam, asin dan selalu pakai minyak ikan,” kata Chef Yudi saat disambangi di dapur restoran tersebut, Jumat (13/5).
Bagi Yudi yang sudah bekerja di restoran tersebut selama tiga tahun, ini menjadi tantangan tersendiri apalagi warga lokal tergolong militan terhadap masakan negara sendiri.
Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan khusus tata boga asal Jakarta ini pun harus pintar dalam meracik bumbu sehingga masakannya bisa mendekati selera Hanoi.
Ia menyadari ini sangat penting karena menjadi penentu keberhasilan dalam menjalankan bisnis rumah makan.
Awalnya agak sulit, bahkan tak ada satu pun warga Hanoi yang singgah ke restorannya. Pengunjung hanya didominasi warga asing yang merupakan pemburu masakan halal, seperti asal Malaysia dan sejumlah negara muslim lainnya.
Namun, seiring waktu, pengunjung semakin beragam hingga mereka yang berasal dari Jepang dan Korea. Lebih membanggakan lagi, kini restoran ini mulai banyak dikunjungi warga lokal.
Untuk menggaet minat warga lokal, Yudi harus meracik beberapa bumbu yang levelnya harus diturunkan sedikit dari cita rasa asli Indonesia. Terkadang ia harus membuat sendiri kecap manis karena keinginan Hanoi memang berbeda.
Demi menjaga cita rasa Indonesia, sejumlah bumbu didatangkan langsung dari Indonesia seperti kapulaga, jinten dan kemiri. Bukan karena harga yang lebih murah, terkadang sulit mendapatkannya di Vietnam. Jika pun ada harganya terbilang mahal seperti kapulaga.
Dalam satu hari, bersama empat orang asistennya, Chef Yudi mampu menyediakan 200 menu makanan, termasuk juga menyediakan beberapa menu khusus asal negara Jepang, Korea dan Prancis.
“Yang paling disukai di sini itu nasi goreng, mie goreng, rendang, sop iga, dan gado gado. Untuk rendang, jangan dibilang bakal sama dengan rasanya di Indonesia karena sudah saya modifikasi sedikit,” kata pria asal Betawi-Bugis yang juga pernah bekerja di salah satu restoran India di Kota Brabat.
Pemilik Restoran Batavia, Nurlaela Hera mengatakan daya tarik utama dari restorannya itu terletak pada label halal itu. Hingga kini masih sulit dijumpai restoran halal di Hanoi karena untuk mendapatkannya harus diverifikasi oleh otoritas muslim setempat.
Demi mendapatkan label halal itu, Nurlaela harus memastikan bahan-bahan masakan hingga produk yang dijual tidak mengandung bahan-bahan tak halal seperti mengandung daging babi dan minuman beralkohol.
“Di sini minum alkohol sudah menjadi gaya hidup, tapi kami tegaskan ke pengunjung tidak akan menjualnya. Bahkan membawa dari luar pun tidak boleh,” kata dia.
Nurlaela mulai merintis bisnis restoran ini pada 2017 bersama suaminya Azhar Rizal yang bekerja di Kedutaan Besar RI (KBRI).
Awalnya ia memulai bisnis kuliner ini berupa katering masakan halal untuk sekadar memenuhi permintaan kalangan internal KBRI.
Namun, lama kelamaan ia mendapati bahwa pesanan semakin bertambah banyak terutama dari luar KBRI. Terkadang ada pula warga Hanoi yang meminta dimasakkan nasi minyak.
Ia pun menangkap ini sebagai peluang bisnis yang sayang jika disia-siakan, sembari mendampingi suami yang menjadi diplomat.
“Saat awal-awal sekali, kami bahkan potong sendiri ayam. Tapi kini sudah tidak lagi, sudah ada yang menyediakan (pihak ketiga), termasuk untuk tempe dan tahu,” kata dia.
Ibu tiga anak ini tak menyangkal bahwa tak mudah untuk menjalankan bisnis restoran halal masakan Indonesia ini.
Dibutuhkan kegigihan untuk tetap bertahan karena pangsa pasar yang dibidik yakni 60 persen warga Vietnam dan kalangan ekspatriat.
Ia tak mungkin membidik WNI karena warga Indonesia yang berada di kawasan tersebut tak melebihi 200 jiwa dari total 600 orang di Vietnam. Bahkan khusus di kawasan utara, jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Vietnam hanya tercatat delapan orang.
Di sisi lain, warga Vietnam merupakan komunitas mayoritas non muslim yang dikenal sangat militan dengan masakan bangsanya sendiri.
Jelas ini menjadi tantangan luar biasa bagi pasangan suami istri asal Kalimantan Barat dan Jawa Tengah ini. Selain tentunya modal usaha yang relatif besar, ia juga harus mendatangkan tenaga kerja dari Indonesia demi mengangkat cita rasa masakan.
Berawal di West Lake
Semula ia membuka restoran di depan danau terbesar di Hanoi, Danau West Lake.
Di lokasi elit itu, Nurlaela harus merogoh kocek cukup dalam karena sewa gedung tergolong tinggi. Namun ia diuntungkan karena penduduk sekitar sebagian besar kalangan ekspatriat sehingga sudah terbiasa icip-icip masakan dari beragam negara.
Selama dua tahun berbisnis di lokasi tersebut, bisa dikatakan Nurlaela dapat meraup banyak keuntungan. Bahkan ia rela berinvestasi dengan membangun restoran tiga lantai.
Namun, apa hendak dikata, secara tiba-tiba pemerintah setempat melakukan pelebaran jalan sehingga gedung yang sudah kadung direnovasinya itu terpaksa digusur. Tak ada pilihan lain selain mencari lokasi baru.
Kawasan Ba Dihn yang berdekatan dengan Museum Ho Chi Mihn akhirnya dipilihnya. Walau harus merintis lagi dari awal tapi setidaknya ia merasa beruntung karena bisa membuka restoran di kawasan wisata.
“Bisa dikatakan kami harus merintis dari nol lagi, tapi cukup diuntungkan karena terkadang pengunjung museum mengantre untuk masuk hingga ke depan restoran kami,” kata dia.
Para pengujung kini sebagian besar merupakan turis, yang juga sudah mengenal masakan Indonesia seperti nasi goreng, rendang, soto dan sate ayam.
Walau bisnis belum pulih sepenuhnya seperti saat membuka restoran di lokasi pertama dan ada juga terdampak pandemi, tapi Nurlaela mensyukuri kini rumah makannya menjadi salah satu tujuan turis untuk bersantap disela-sela kunjungan ke Museum Ho Chi Mihn.
SEA Games
Adanya ajang SEA Games Vietnam 2021,12-23 Mei 2020, menjadi berkah tersendiri bagi restoran Indonesia ini.
Sejak gelaran olahraga bergengsi 11 negara Asia Tenggara ke-31 itu digelar, jumlah pengunjung ke restoran menjadi berlipat-lipat.
Tak hanya Indonesia, tapi juga atlet dan ofisial asal Malaysia dan Brunei Darusalam silih berganti berdatangan ke restoran ini.
“Seperti semalam kami dapat pesanan mendadak 40 paket ayam penyet, repot juga,” kata dia sambil tertawa.
Saat ANTARA berkunjung ke restoran tersebut, terdapat sejumlah ofisial dari cabang olahraga futsal asal Indonesia yang bersantap siang di sana.
Terdapat juga rombongan asal Malaysia yang datang dengan seragam khas berwarna kuning.
Kesibukan pun sangat terasa di dapur restoran tersebut.
Untuk memastikan layanan di restoran tetap prima, ternyata Nurlaela sudah menambah tenaga kerja baru yang khusus didatangkan dari Indonesia berjumlah lima orang. Sehingga total terdapat 10 orang yang berkerja di restoran tersebut.
Ia pun mendatangkan putra sulungnya dari Indonesia untuk turut meringankan kerepotannya selama SEA Games berlangsung di Vietnam.
Chef Adi Suwarno, salah seorang juru masak yang khusus didatangkan dari Tanah Air mengatakan, dia tertarik untuk bekerja di Vietnam karena ingin menambah pengalaman, selain tentunya gaji yang lebih lebih baik dari di Indonesia.
Sebagai ahli masak ia membutuhkan rekam jejak pernah bekerja di restoran luar negeri yang bisa meningkatkan karir.
Selain itu, ternyata Adi juga memiliki misi khusus yakni ingin memperkenalkan masakan Indonesia dari racikan tangannya sendiri ke warga Vietnam.
“Masakan Indonesia itu luar biasa sekali, dan di kalangan Chef internasional sangat diakui karena rasanya yang strong, tapi sayang, secara promosi kurang, dan ini saya merasa terpanggil,” kata dia.
Salah seorang pengunjung, turis asal Prancis, Rafael, mengatakan dirinya sangat menikmati masakan Indonesia.
Dari sisi harga, ia pun merasa tak terlalu mahal karena berkisar 50.000 Dong hingga 200.000 Dong per menu. Sebagai gambaran, harga sepiring nasi goreng senilai Rp60.000 Dong atau sekitar Rp38.000
“Makanannya lezat, tadi saya coba nasi goreng,” kata pelajar ini.
Presiden Soekarno
Secara keseluruhan, sisi bagian dalam Restoran Batavia tak berbeda jauh dari restoran lain pada umumnya.
Rapi, bersih, nyaman dan terdapat sedikit asesoris khusus khas Indonesia, seperti dua patung berpakaian adat khas Jawa yang ditempatkan di meja kasir.
Namun, yang membedakan dari restoran lainnya yakni adanya dinding yang memajang belasan foto. Di antara foto-foto itu terdapat foto Presiden pertama RI, Soekarno, saat berkunjung ke Hanoi pada 24-29 Juni 1959.
Itu merupakan kunjungan balasan Soekarno atas kedatangan Presiden Vietnam Ho Chi Minh ke Jakarta pada 27 Februari-8 Maret 1959.
Jika melihat foto-foto itu, setidaknya menggambarkan adanya hubungan karib antara dua pemimpin bangsa itu.
Bahkan Soekarno tak mau menunggu lama, hanya berselang tiga bulan setelah kedatangan Ho Chi Minh langsung melakukan kunjungan balasan ke Hanoi.
Perjumpaan keduanya kala itu menandai dimulainya hubungan bilateral antara Indonesia-Vietnam yang hingga kini tetap terjaga.
Dalam beberapa kesempatan, bahkan setiap tahun KBRI selalu memperingati momen tersebut, dan tahun 2022 menjadi tahun ke-67.
Dari belasan foto yang dipajang di restoran itu, terdapat satu foto yang paling menarik yakni foto Ho Chi Minh sedang menari dengan perempuan Indonesia saat mengunjungi Jakarta pada tahun 1959.
Bagi WNI, foto ini demikian berkesan, mungkin juga bagi warga Vietnam yang sangat mencintai Ho Chi Minh.
Parade foto-foto sarat makna sejarah itu membuat Restoran Batavia memiliki nilai lebih. Tempat makan halal ini tak hanya menggugah selera soal masakan Indonesia, tapi juga mengingatkan adanya kedekatan Indonesia dengan Vietnam.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022
Supaya bisa diterima di negara lain seperti di Vietnam, tentu dibutuhkan strategi khusus, dan ini yang dilakukan Restoran Halal Batavia yang merupakan satu-satunya restoran masakan Indonesia di Hanoi.
Berada di kawasan elit Vietnam, Ba Dihn atau sekitar 300 meter dari Museum Ho Chi Minh, restoran ini selalu ramai dari pukul sembilan pagi hingga 10 malam waktu setempat.
“Lidah orang di sini (Vietnam) beda sekali dengan Indonesia. Mereka tidak suka pedas tapi cenderung suka asam, asin dan selalu pakai minyak ikan,” kata Chef Yudi saat disambangi di dapur restoran tersebut, Jumat (13/5).
Bagi Yudi yang sudah bekerja di restoran tersebut selama tiga tahun, ini menjadi tantangan tersendiri apalagi warga lokal tergolong militan terhadap masakan negara sendiri.
Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan khusus tata boga asal Jakarta ini pun harus pintar dalam meracik bumbu sehingga masakannya bisa mendekati selera Hanoi.
Ia menyadari ini sangat penting karena menjadi penentu keberhasilan dalam menjalankan bisnis rumah makan.
Awalnya agak sulit, bahkan tak ada satu pun warga Hanoi yang singgah ke restorannya. Pengunjung hanya didominasi warga asing yang merupakan pemburu masakan halal, seperti asal Malaysia dan sejumlah negara muslim lainnya.
Namun, seiring waktu, pengunjung semakin beragam hingga mereka yang berasal dari Jepang dan Korea. Lebih membanggakan lagi, kini restoran ini mulai banyak dikunjungi warga lokal.
Untuk menggaet minat warga lokal, Yudi harus meracik beberapa bumbu yang levelnya harus diturunkan sedikit dari cita rasa asli Indonesia. Terkadang ia harus membuat sendiri kecap manis karena keinginan Hanoi memang berbeda.
Demi menjaga cita rasa Indonesia, sejumlah bumbu didatangkan langsung dari Indonesia seperti kapulaga, jinten dan kemiri. Bukan karena harga yang lebih murah, terkadang sulit mendapatkannya di Vietnam. Jika pun ada harganya terbilang mahal seperti kapulaga.
Dalam satu hari, bersama empat orang asistennya, Chef Yudi mampu menyediakan 200 menu makanan, termasuk juga menyediakan beberapa menu khusus asal negara Jepang, Korea dan Prancis.
“Yang paling disukai di sini itu nasi goreng, mie goreng, rendang, sop iga, dan gado gado. Untuk rendang, jangan dibilang bakal sama dengan rasanya di Indonesia karena sudah saya modifikasi sedikit,” kata pria asal Betawi-Bugis yang juga pernah bekerja di salah satu restoran India di Kota Brabat.
Pemilik Restoran Batavia, Nurlaela Hera mengatakan daya tarik utama dari restorannya itu terletak pada label halal itu. Hingga kini masih sulit dijumpai restoran halal di Hanoi karena untuk mendapatkannya harus diverifikasi oleh otoritas muslim setempat.
Demi mendapatkan label halal itu, Nurlaela harus memastikan bahan-bahan masakan hingga produk yang dijual tidak mengandung bahan-bahan tak halal seperti mengandung daging babi dan minuman beralkohol.
“Di sini minum alkohol sudah menjadi gaya hidup, tapi kami tegaskan ke pengunjung tidak akan menjualnya. Bahkan membawa dari luar pun tidak boleh,” kata dia.
Nurlaela mulai merintis bisnis restoran ini pada 2017 bersama suaminya Azhar Rizal yang bekerja di Kedutaan Besar RI (KBRI).
Awalnya ia memulai bisnis kuliner ini berupa katering masakan halal untuk sekadar memenuhi permintaan kalangan internal KBRI.
Namun, lama kelamaan ia mendapati bahwa pesanan semakin bertambah banyak terutama dari luar KBRI. Terkadang ada pula warga Hanoi yang meminta dimasakkan nasi minyak.
Ia pun menangkap ini sebagai peluang bisnis yang sayang jika disia-siakan, sembari mendampingi suami yang menjadi diplomat.
“Saat awal-awal sekali, kami bahkan potong sendiri ayam. Tapi kini sudah tidak lagi, sudah ada yang menyediakan (pihak ketiga), termasuk untuk tempe dan tahu,” kata dia.
Ibu tiga anak ini tak menyangkal bahwa tak mudah untuk menjalankan bisnis restoran halal masakan Indonesia ini.
Dibutuhkan kegigihan untuk tetap bertahan karena pangsa pasar yang dibidik yakni 60 persen warga Vietnam dan kalangan ekspatriat.
Ia tak mungkin membidik WNI karena warga Indonesia yang berada di kawasan tersebut tak melebihi 200 jiwa dari total 600 orang di Vietnam. Bahkan khusus di kawasan utara, jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Vietnam hanya tercatat delapan orang.
Di sisi lain, warga Vietnam merupakan komunitas mayoritas non muslim yang dikenal sangat militan dengan masakan bangsanya sendiri.
Jelas ini menjadi tantangan luar biasa bagi pasangan suami istri asal Kalimantan Barat dan Jawa Tengah ini. Selain tentunya modal usaha yang relatif besar, ia juga harus mendatangkan tenaga kerja dari Indonesia demi mengangkat cita rasa masakan.
Berawal di West Lake
Semula ia membuka restoran di depan danau terbesar di Hanoi, Danau West Lake.
Di lokasi elit itu, Nurlaela harus merogoh kocek cukup dalam karena sewa gedung tergolong tinggi. Namun ia diuntungkan karena penduduk sekitar sebagian besar kalangan ekspatriat sehingga sudah terbiasa icip-icip masakan dari beragam negara.
Selama dua tahun berbisnis di lokasi tersebut, bisa dikatakan Nurlaela dapat meraup banyak keuntungan. Bahkan ia rela berinvestasi dengan membangun restoran tiga lantai.
Namun, apa hendak dikata, secara tiba-tiba pemerintah setempat melakukan pelebaran jalan sehingga gedung yang sudah kadung direnovasinya itu terpaksa digusur. Tak ada pilihan lain selain mencari lokasi baru.
Kawasan Ba Dihn yang berdekatan dengan Museum Ho Chi Mihn akhirnya dipilihnya. Walau harus merintis lagi dari awal tapi setidaknya ia merasa beruntung karena bisa membuka restoran di kawasan wisata.
“Bisa dikatakan kami harus merintis dari nol lagi, tapi cukup diuntungkan karena terkadang pengunjung museum mengantre untuk masuk hingga ke depan restoran kami,” kata dia.
Para pengujung kini sebagian besar merupakan turis, yang juga sudah mengenal masakan Indonesia seperti nasi goreng, rendang, soto dan sate ayam.
Walau bisnis belum pulih sepenuhnya seperti saat membuka restoran di lokasi pertama dan ada juga terdampak pandemi, tapi Nurlaela mensyukuri kini rumah makannya menjadi salah satu tujuan turis untuk bersantap disela-sela kunjungan ke Museum Ho Chi Mihn.
SEA Games
Adanya ajang SEA Games Vietnam 2021,12-23 Mei 2020, menjadi berkah tersendiri bagi restoran Indonesia ini.
Sejak gelaran olahraga bergengsi 11 negara Asia Tenggara ke-31 itu digelar, jumlah pengunjung ke restoran menjadi berlipat-lipat.
Tak hanya Indonesia, tapi juga atlet dan ofisial asal Malaysia dan Brunei Darusalam silih berganti berdatangan ke restoran ini.
“Seperti semalam kami dapat pesanan mendadak 40 paket ayam penyet, repot juga,” kata dia sambil tertawa.
Saat ANTARA berkunjung ke restoran tersebut, terdapat sejumlah ofisial dari cabang olahraga futsal asal Indonesia yang bersantap siang di sana.
Terdapat juga rombongan asal Malaysia yang datang dengan seragam khas berwarna kuning.
Kesibukan pun sangat terasa di dapur restoran tersebut.
Untuk memastikan layanan di restoran tetap prima, ternyata Nurlaela sudah menambah tenaga kerja baru yang khusus didatangkan dari Indonesia berjumlah lima orang. Sehingga total terdapat 10 orang yang berkerja di restoran tersebut.
Ia pun mendatangkan putra sulungnya dari Indonesia untuk turut meringankan kerepotannya selama SEA Games berlangsung di Vietnam.
Chef Adi Suwarno, salah seorang juru masak yang khusus didatangkan dari Tanah Air mengatakan, dia tertarik untuk bekerja di Vietnam karena ingin menambah pengalaman, selain tentunya gaji yang lebih lebih baik dari di Indonesia.
Sebagai ahli masak ia membutuhkan rekam jejak pernah bekerja di restoran luar negeri yang bisa meningkatkan karir.
Selain itu, ternyata Adi juga memiliki misi khusus yakni ingin memperkenalkan masakan Indonesia dari racikan tangannya sendiri ke warga Vietnam.
“Masakan Indonesia itu luar biasa sekali, dan di kalangan Chef internasional sangat diakui karena rasanya yang strong, tapi sayang, secara promosi kurang, dan ini saya merasa terpanggil,” kata dia.
Salah seorang pengunjung, turis asal Prancis, Rafael, mengatakan dirinya sangat menikmati masakan Indonesia.
Dari sisi harga, ia pun merasa tak terlalu mahal karena berkisar 50.000 Dong hingga 200.000 Dong per menu. Sebagai gambaran, harga sepiring nasi goreng senilai Rp60.000 Dong atau sekitar Rp38.000
“Makanannya lezat, tadi saya coba nasi goreng,” kata pelajar ini.
Presiden Soekarno
Secara keseluruhan, sisi bagian dalam Restoran Batavia tak berbeda jauh dari restoran lain pada umumnya.
Rapi, bersih, nyaman dan terdapat sedikit asesoris khusus khas Indonesia, seperti dua patung berpakaian adat khas Jawa yang ditempatkan di meja kasir.
Namun, yang membedakan dari restoran lainnya yakni adanya dinding yang memajang belasan foto. Di antara foto-foto itu terdapat foto Presiden pertama RI, Soekarno, saat berkunjung ke Hanoi pada 24-29 Juni 1959.
Itu merupakan kunjungan balasan Soekarno atas kedatangan Presiden Vietnam Ho Chi Minh ke Jakarta pada 27 Februari-8 Maret 1959.
Jika melihat foto-foto itu, setidaknya menggambarkan adanya hubungan karib antara dua pemimpin bangsa itu.
Bahkan Soekarno tak mau menunggu lama, hanya berselang tiga bulan setelah kedatangan Ho Chi Minh langsung melakukan kunjungan balasan ke Hanoi.
Perjumpaan keduanya kala itu menandai dimulainya hubungan bilateral antara Indonesia-Vietnam yang hingga kini tetap terjaga.
Dalam beberapa kesempatan, bahkan setiap tahun KBRI selalu memperingati momen tersebut, dan tahun 2022 menjadi tahun ke-67.
Dari belasan foto yang dipajang di restoran itu, terdapat satu foto yang paling menarik yakni foto Ho Chi Minh sedang menari dengan perempuan Indonesia saat mengunjungi Jakarta pada tahun 1959.
Bagi WNI, foto ini demikian berkesan, mungkin juga bagi warga Vietnam yang sangat mencintai Ho Chi Minh.
Parade foto-foto sarat makna sejarah itu membuat Restoran Batavia memiliki nilai lebih. Tempat makan halal ini tak hanya menggugah selera soal masakan Indonesia, tapi juga mengingatkan adanya kedekatan Indonesia dengan Vietnam.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022