Cuaca Kota Bandung yang mendung pagi itu tak menyurutkan semangat Rina Kania Dewi untuk menata barang dagangannya di etalase kaca tokonya.
Di etalase berukuran 2 meter x 0,5 meter tersebut, terpajang berbagai olahan makanan unik yang terbuat dari jamur tiram.
Perempuan kelahiran Kabupaten Garut 21 September 1972 ini memang telah berhasil mengkreasikan atau menciptakan berbagai olahan makanan berbahan dasar jamur bernama latin Pleurotus Ostreatus itu.
Olahan tersebut dari mulai keripik jamur kuping, keripik jamur tiram, cilok jamur, burger jamur, serundung jamur pedas, rendang jamur, sate jamur, permen jamur, basreng (baso goreng) jamur, permen jamur, cheese stick jamur, kerupuk jamur, sampai lemon mushroom. Bukan hanya makanan, ada juga gantungan kunci hingga topi jamur.
Totalnya ada sekitar 20 jenis produk olahan yang terdiri makanan, minuman, dan non makanan dengan bahan utama jamur yang diproduksi oleh Rina di Bale Suung. Tempat ini menjadi rumah sekaligus tempat ia berusaha. Lokasinya di Jalan Riung Mukti Raya Nomor 5, Cisaranten Kidul, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat.
Bale dalam kamus lengkap online Jawa-Indonesia artinya rumah. Suung sendiri merupakan bahasa Sunda, berarti jamur. Di Bale Suung tersebut, Rina juga membuat sebuah kumbung atau rumah jamur tiram yang terletak di sisi kanan bangunan.
Rina bercerita awal mula dirinya berkecimpung dengan dunia "per-jamuran" ialah saat masih tinggal di Kabupaten Garut, bersama sang suami pada tahun 2006.
Saat itu dirinya ikut dalam sebuah kelompok budidaya. Setelah mencari berbagai informasi dan masukan dari Dinas Pertanian Kabupaten Garut, akhirnya pilihannya jatuh kepada jamur.
Alasan lain mengapa ia tertarik dengan budidaya jamur karena ia menilai jamur adalah salah satu olahan makanan yang unik dan yang mudah untuk dikreasikan.
"Jadi kalau jamur itu, selain memiliki kandungan gizi yang bagus, itu gampang diolahnya. Kita bikin baso aci atau cilok bisa, kita olah jadi rendang bisa, bahkan jadi sabun pun bisa," kata dia saat ditemui di Bale Suung.
Dinas Pertanian Kabupaten Garut, saat itu memberikan dua pilihan yakni menjadi pembudidaya jamur tiram atau kuping. Karena merasa masih amatir dan belum tahu apa-apa tentang dunia pembudidayaan jamur, akhirnya ia memilih budidaya jamur kuping.
Setelah mendengarkan masukan tersebut, Rina saat itu membeli bedlog (media tempat tumbuhnya jamur) dan setelah menunggu kurang lebih dua bulan jamur yang ia tanam siap untuk dipanen.
Dengan bermodalkan uang sebesar Rp 500 ribu, alumni Institut Manajemen Koperasi Indonesia lulusan tahun 1996 ini mengolah jamur yang ia panen menjadi berbagai jenis makanan.
Rina mengolah jamur tersebut menjadi keripik hingga bakwan dan makanan tersebut ia bagikan ke saudara dan teman-teman.
Tak disangka respon positif pun ia terima dari teman-teman setelah mencicipi makanan olahan jamur buatannya. Dan salah seorang temannya menyarankan Rina menjual makanan olahan jamur tersebut.
"Jadi teman saya di Garut waktu itu bilang, 'Rin, sini saya bantuin jual ke kantor-kantor dan ke sekolah'," kata Rina.
Selain itu, temannya juga menyarankan agar keripik jamur yang dibuatnya dijual di sejumlah tempat oleh-oleh di Kabupaten Garut.
Namun, karena keripik jamur buatannya belum memenuhi syarat untuk dijual di tempat oleh-oleh seperti memiliki nama merek dagangan, ada kompisisi, izin dan lain-lain.
Hal tersebut tak mematahkan semangat Rina untuk terus maju mengembangkan produk olahanan makanan jamurnya.
Setelah mencari informasi tentang syarat-syarat pemasok produk ke jaringan tempat oleh-oleh, akhirnya keripik jamur buatannya diberi nama sesuai dengan nama anaknya yakni Alifa Mushroom.
Perjuangan Rina untuk memasarkan produk olahanan makanan jamur buatannya tidak semudah yang dibayangkan olehnya.
Butuh usaha dan kerja keras untuk memulai bisnisnya tersebut. Berkat keuletannya, buah manis dari kerja kerasnya pun mulai dirasakan oleh Rina.
Keberhasilan dalam usahanya tersebut mulai ia raih pada tahun 2011 atau pada saat sang suami memutuskan untuk pindah ke Kota Bandung.
Selama tinggal di Kota Kembang, Rina terus menyempurnakan ilmu dan kemampuannya dalam mengolah makanan dari olahan jamur.
Hasilnya manis pun mulai ia rasakan yakni mulai kebanjiran pesanan dari konsumen. Produk ini masuk ke jaringan Yogya Supermarket di Ciwalk, dan Hypermart.
Tak hanya sampai di situ, produk olahan jamur kreasinya juga sering mejeng di sejumlah pameran UMKM baik tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional bahkan hingga di luar negeri.
Ia pun berkisah, tahun 2011 pernah menghadiri pameran di Singapura dan Malaysia, dan mendapat penghargaan dari kementerian dan dari luar negeri.
Bahkan beberapa tahun sebelum pandemi COVID-19 melanda Indonesia, omzet per bulan yang bisa diraih oleh Rina dari berjualan makanan olahan jamur bisa mencapai Rp60 juta per bulan.
Selain itu, ia juga bisa memperkerjakan lima orang karyawan untuk membantu operasional bisnisnya.
Keberhasilan Rina dalam menjalankan bisnisnya saat itu tak lantas membuat dirinya jemawa.
Jika ada waktu yang kosong atau tepat ia tak segan untuk membagikan tips bisnis kepada para calon wirausahan lainnya.
"Jadi ibaratnya kita harus mengosongkan gelas dan terus mau belajar berjejaring, kolaborasi, networking," kata Rina.
Tak hanya di Jawa Barat, Rina juga sering diminta oleh dinas atau instansi lainya untuk menjadi trainer di luar daerah.
Seperti menjadi trainer pengolahan jamur di Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada tahun 2014, trainer pasca panen jamur merang di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat tahun 2011 dan trainer bintek produk olahan bagi UKM, di Jambi tahun 2015.
Digitalisasi ekonomi
Berkembang pesatnya transformasi digital di Indonesia yang dimulai antara tahun 2010 hingga 2011 sempat membuat Rina Kania Dewi kaget hingga kewalahan.
Hal itu dikarenakan digitalisasi ekonomi memaksa dirinya untuk mengubah pola pikir dan pandangannya dalam menjalankan usahanya tersebut.
"Bisa dibilang saya ini telat masuk ke dunia bisnis online. Saya kaget waktu itu karena selama ini saya merasa sudah di ada di zona nyaman menjalankan bisnis secara konvensional," kata dia.
Hingga saat ini, dirinya masih terus mencoba menyelami seluk beluk berbisnis secara online.
Tak ada kata menyerah, itulah prinsip yang ia terapkan jika harus dihadapkan pada tantangan baru dalam menjalankan usahanya. Kini, dirinya telah memasarkan berbagai jenis makanan olahan jamur buatannya di sejumlah marketplace.
Bangkit dari pandemi
Setelah dihadapkan dengan tantangan bisnis online, ujian kembali menerpa Rina saat menjalankan bisnisnya.
Ujian tersebut adalah pandemi COVID-19 yang mulai melanda Indonesia pada awal Maret 2020 hingga saat ini.
Wabah virus corona tersebut benar-benar dirasakan dampaknya oleh Rina. Omzet penjualannya turun drastis. Dalam sebulan Rina hanya mampu meraup omzet sekitar Rp6 juta per bulan.
Kondisi selama pandemi COVID-19, kata Rina, malah membuat dirinya semakin ingin bergerak mengembangkan bisnisnya.
Dan bener adanya, selama pandemi COVID-19 Rina melahirkan ide baru yakni Mushilight. Bersama sang buah hati Alifa yang saat ini sedang menempuh pendidikan tingkat akhir di Universitas Padjadjaran.
"Untuk produk olahan jamur yang kering sekarang itu kita masukkan ke Mushilight, termasuk produk minuman herbal yang di dalamnya ada kandungan jamur. Jadi si Mushilight ini lahir dibantu dengan ide anak saya," kata dia.
Selain melahirkan Mushilight, keinginan Rina untuk membesarkan usahanya semakin menjadi saat pandemi.
Akan tetapi hal tersebut terkendala dengan faktor dana. Ia mengaku kesulitan untuk lebih mengembangkan bisnisnya saat pandemi ini.
Keberuntungan seperti berpihak kepada Rina. Saat karena pada tahun 2020 ia bertemu denhgan kawanan lamanya yang bisa membantu keinginan Rina.
Kawannya tersebut menjadi jembatan Rina untuk menjadi salah satu bagian keluarga besar Program Kemitraan dari PT Pertamina.
Setelah menjalani serangkaian proses, akhirnya Rina berhasil menjadi bagian Program Kemitraan PT Pertamina yang ada di Kota Bandung, Jawa Barat.
Bantuan uang tunai pembinaan dari PT Pertamina tersebut, kata Rina, bagaikan "oase" bagi dirinya.
Karena ide-ide untuk mengembangkan bisnis di lini Alifa Mushroom dan Mushilight menjadi lebih mudah direalisasikan dengan adanya bantuan tersebut. Seperti mengembangkan produk olahan jamur yang masuk dalam merek dagang Mushilight yakni minuman herbal jamur dan burger jamur.
"Berkat bantuan dari Pertamina tersebut kesempatan saya untuk lebih membesarkan usaha saya terwujud. Bantuan dari Pertamina ini ibaratnya bagaikan oase bagi saya," kata Rina.
PT Pertamina (Persero) berkomitmen mendukung UMKM untuk bangkit di masa pemulihan akibat terdampak pandemi COVID-19, salah satunya melalui Program Kemitraan.
Unit Manager Communication, Relations & CSR Pertamina MOR III Eko Kristiawan menuturkan bahwa Program Kemitraan itu diharapkan dapat membantu para pelaku UMKM agar dapat bangkit dari dampak pandemi sehingga menjadi penggerak perekonomian di wilayah masing-masing.
Dia mengatakan jumlah mitra binaan di wilayah Jawa Barat hingga tahun 2021 adalah sebanyak 6.869.
Dari jumlah tersebut sektor usahanya terbagi ke dalam tujuh sektor yakni industri (13 persen), perdagangan (26 persen), pertanian (24 persen), perkebunan (17 persen), peternakan (7 persen), Perikanan (8 persen) dan Jasa (5 persen).
Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh UMKM untuk bisa menjadi bagian Program Pendanaan atau Kemitraan UMK Pertamima.
Seperti Usaha mikro dan usaha kecil dengan jenis usaha yang sejalan dibidang dan/atau mendukung bisnis inti Perusahaan/BUMN dan mempunyai potensi dan prospek usaha untuk dikembangkan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
Di etalase berukuran 2 meter x 0,5 meter tersebut, terpajang berbagai olahan makanan unik yang terbuat dari jamur tiram.
Perempuan kelahiran Kabupaten Garut 21 September 1972 ini memang telah berhasil mengkreasikan atau menciptakan berbagai olahan makanan berbahan dasar jamur bernama latin Pleurotus Ostreatus itu.
Olahan tersebut dari mulai keripik jamur kuping, keripik jamur tiram, cilok jamur, burger jamur, serundung jamur pedas, rendang jamur, sate jamur, permen jamur, basreng (baso goreng) jamur, permen jamur, cheese stick jamur, kerupuk jamur, sampai lemon mushroom. Bukan hanya makanan, ada juga gantungan kunci hingga topi jamur.
Totalnya ada sekitar 20 jenis produk olahan yang terdiri makanan, minuman, dan non makanan dengan bahan utama jamur yang diproduksi oleh Rina di Bale Suung. Tempat ini menjadi rumah sekaligus tempat ia berusaha. Lokasinya di Jalan Riung Mukti Raya Nomor 5, Cisaranten Kidul, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat.
Bale dalam kamus lengkap online Jawa-Indonesia artinya rumah. Suung sendiri merupakan bahasa Sunda, berarti jamur. Di Bale Suung tersebut, Rina juga membuat sebuah kumbung atau rumah jamur tiram yang terletak di sisi kanan bangunan.
Rina bercerita awal mula dirinya berkecimpung dengan dunia "per-jamuran" ialah saat masih tinggal di Kabupaten Garut, bersama sang suami pada tahun 2006.
Saat itu dirinya ikut dalam sebuah kelompok budidaya. Setelah mencari berbagai informasi dan masukan dari Dinas Pertanian Kabupaten Garut, akhirnya pilihannya jatuh kepada jamur.
Alasan lain mengapa ia tertarik dengan budidaya jamur karena ia menilai jamur adalah salah satu olahan makanan yang unik dan yang mudah untuk dikreasikan.
"Jadi kalau jamur itu, selain memiliki kandungan gizi yang bagus, itu gampang diolahnya. Kita bikin baso aci atau cilok bisa, kita olah jadi rendang bisa, bahkan jadi sabun pun bisa," kata dia saat ditemui di Bale Suung.
Dinas Pertanian Kabupaten Garut, saat itu memberikan dua pilihan yakni menjadi pembudidaya jamur tiram atau kuping. Karena merasa masih amatir dan belum tahu apa-apa tentang dunia pembudidayaan jamur, akhirnya ia memilih budidaya jamur kuping.
Setelah mendengarkan masukan tersebut, Rina saat itu membeli bedlog (media tempat tumbuhnya jamur) dan setelah menunggu kurang lebih dua bulan jamur yang ia tanam siap untuk dipanen.
Dengan bermodalkan uang sebesar Rp 500 ribu, alumni Institut Manajemen Koperasi Indonesia lulusan tahun 1996 ini mengolah jamur yang ia panen menjadi berbagai jenis makanan.
Rina mengolah jamur tersebut menjadi keripik hingga bakwan dan makanan tersebut ia bagikan ke saudara dan teman-teman.
Tak disangka respon positif pun ia terima dari teman-teman setelah mencicipi makanan olahan jamur buatannya. Dan salah seorang temannya menyarankan Rina menjual makanan olahan jamur tersebut.
"Jadi teman saya di Garut waktu itu bilang, 'Rin, sini saya bantuin jual ke kantor-kantor dan ke sekolah'," kata Rina.
Selain itu, temannya juga menyarankan agar keripik jamur yang dibuatnya dijual di sejumlah tempat oleh-oleh di Kabupaten Garut.
Namun, karena keripik jamur buatannya belum memenuhi syarat untuk dijual di tempat oleh-oleh seperti memiliki nama merek dagangan, ada kompisisi, izin dan lain-lain.
Hal tersebut tak mematahkan semangat Rina untuk terus maju mengembangkan produk olahanan makanan jamurnya.
Setelah mencari informasi tentang syarat-syarat pemasok produk ke jaringan tempat oleh-oleh, akhirnya keripik jamur buatannya diberi nama sesuai dengan nama anaknya yakni Alifa Mushroom.
Perjuangan Rina untuk memasarkan produk olahanan makanan jamur buatannya tidak semudah yang dibayangkan olehnya.
Butuh usaha dan kerja keras untuk memulai bisnisnya tersebut. Berkat keuletannya, buah manis dari kerja kerasnya pun mulai dirasakan oleh Rina.
Keberhasilan dalam usahanya tersebut mulai ia raih pada tahun 2011 atau pada saat sang suami memutuskan untuk pindah ke Kota Bandung.
Selama tinggal di Kota Kembang, Rina terus menyempurnakan ilmu dan kemampuannya dalam mengolah makanan dari olahan jamur.
Hasilnya manis pun mulai ia rasakan yakni mulai kebanjiran pesanan dari konsumen. Produk ini masuk ke jaringan Yogya Supermarket di Ciwalk, dan Hypermart.
Tak hanya sampai di situ, produk olahan jamur kreasinya juga sering mejeng di sejumlah pameran UMKM baik tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional bahkan hingga di luar negeri.
Ia pun berkisah, tahun 2011 pernah menghadiri pameran di Singapura dan Malaysia, dan mendapat penghargaan dari kementerian dan dari luar negeri.
Bahkan beberapa tahun sebelum pandemi COVID-19 melanda Indonesia, omzet per bulan yang bisa diraih oleh Rina dari berjualan makanan olahan jamur bisa mencapai Rp60 juta per bulan.
Selain itu, ia juga bisa memperkerjakan lima orang karyawan untuk membantu operasional bisnisnya.
Keberhasilan Rina dalam menjalankan bisnisnya saat itu tak lantas membuat dirinya jemawa.
Jika ada waktu yang kosong atau tepat ia tak segan untuk membagikan tips bisnis kepada para calon wirausahan lainnya.
"Jadi ibaratnya kita harus mengosongkan gelas dan terus mau belajar berjejaring, kolaborasi, networking," kata Rina.
Tak hanya di Jawa Barat, Rina juga sering diminta oleh dinas atau instansi lainya untuk menjadi trainer di luar daerah.
Seperti menjadi trainer pengolahan jamur di Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada tahun 2014, trainer pasca panen jamur merang di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat tahun 2011 dan trainer bintek produk olahan bagi UKM, di Jambi tahun 2015.
Digitalisasi ekonomi
Berkembang pesatnya transformasi digital di Indonesia yang dimulai antara tahun 2010 hingga 2011 sempat membuat Rina Kania Dewi kaget hingga kewalahan.
Hal itu dikarenakan digitalisasi ekonomi memaksa dirinya untuk mengubah pola pikir dan pandangannya dalam menjalankan usahanya tersebut.
"Bisa dibilang saya ini telat masuk ke dunia bisnis online. Saya kaget waktu itu karena selama ini saya merasa sudah di ada di zona nyaman menjalankan bisnis secara konvensional," kata dia.
Hingga saat ini, dirinya masih terus mencoba menyelami seluk beluk berbisnis secara online.
Tak ada kata menyerah, itulah prinsip yang ia terapkan jika harus dihadapkan pada tantangan baru dalam menjalankan usahanya. Kini, dirinya telah memasarkan berbagai jenis makanan olahan jamur buatannya di sejumlah marketplace.
Bangkit dari pandemi
Setelah dihadapkan dengan tantangan bisnis online, ujian kembali menerpa Rina saat menjalankan bisnisnya.
Ujian tersebut adalah pandemi COVID-19 yang mulai melanda Indonesia pada awal Maret 2020 hingga saat ini.
Wabah virus corona tersebut benar-benar dirasakan dampaknya oleh Rina. Omzet penjualannya turun drastis. Dalam sebulan Rina hanya mampu meraup omzet sekitar Rp6 juta per bulan.
Kondisi selama pandemi COVID-19, kata Rina, malah membuat dirinya semakin ingin bergerak mengembangkan bisnisnya.
Dan bener adanya, selama pandemi COVID-19 Rina melahirkan ide baru yakni Mushilight. Bersama sang buah hati Alifa yang saat ini sedang menempuh pendidikan tingkat akhir di Universitas Padjadjaran.
"Untuk produk olahan jamur yang kering sekarang itu kita masukkan ke Mushilight, termasuk produk minuman herbal yang di dalamnya ada kandungan jamur. Jadi si Mushilight ini lahir dibantu dengan ide anak saya," kata dia.
Selain melahirkan Mushilight, keinginan Rina untuk membesarkan usahanya semakin menjadi saat pandemi.
Akan tetapi hal tersebut terkendala dengan faktor dana. Ia mengaku kesulitan untuk lebih mengembangkan bisnisnya saat pandemi ini.
Keberuntungan seperti berpihak kepada Rina. Saat karena pada tahun 2020 ia bertemu denhgan kawanan lamanya yang bisa membantu keinginan Rina.
Kawannya tersebut menjadi jembatan Rina untuk menjadi salah satu bagian keluarga besar Program Kemitraan dari PT Pertamina.
Setelah menjalani serangkaian proses, akhirnya Rina berhasil menjadi bagian Program Kemitraan PT Pertamina yang ada di Kota Bandung, Jawa Barat.
Bantuan uang tunai pembinaan dari PT Pertamina tersebut, kata Rina, bagaikan "oase" bagi dirinya.
Karena ide-ide untuk mengembangkan bisnis di lini Alifa Mushroom dan Mushilight menjadi lebih mudah direalisasikan dengan adanya bantuan tersebut. Seperti mengembangkan produk olahan jamur yang masuk dalam merek dagang Mushilight yakni minuman herbal jamur dan burger jamur.
"Berkat bantuan dari Pertamina tersebut kesempatan saya untuk lebih membesarkan usaha saya terwujud. Bantuan dari Pertamina ini ibaratnya bagaikan oase bagi saya," kata Rina.
PT Pertamina (Persero) berkomitmen mendukung UMKM untuk bangkit di masa pemulihan akibat terdampak pandemi COVID-19, salah satunya melalui Program Kemitraan.
Unit Manager Communication, Relations & CSR Pertamina MOR III Eko Kristiawan menuturkan bahwa Program Kemitraan itu diharapkan dapat membantu para pelaku UMKM agar dapat bangkit dari dampak pandemi sehingga menjadi penggerak perekonomian di wilayah masing-masing.
Dia mengatakan jumlah mitra binaan di wilayah Jawa Barat hingga tahun 2021 adalah sebanyak 6.869.
Dari jumlah tersebut sektor usahanya terbagi ke dalam tujuh sektor yakni industri (13 persen), perdagangan (26 persen), pertanian (24 persen), perkebunan (17 persen), peternakan (7 persen), Perikanan (8 persen) dan Jasa (5 persen).
Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh UMKM untuk bisa menjadi bagian Program Pendanaan atau Kemitraan UMK Pertamima.
Seperti Usaha mikro dan usaha kecil dengan jenis usaha yang sejalan dibidang dan/atau mendukung bisnis inti Perusahaan/BUMN dan mempunyai potensi dan prospek usaha untuk dikembangkan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021