Komite Daerah (Komda) Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Jawa Barat, Senin menyatakan dugaan KIPI berat usai menerima vaksinasi COVID-19 pada SA (31) seorang guru SMA di Kabupaten Sukabumi tidak terbukti berhubungan dengan vaksin.

SA mengalami penglihatan yang buram usai 12 jam mendapatkan imunisasi COVID-19 pada awal April lalu sehingga dilarikan ke Rumah Sakit di Kabupaten Sukabumi dan mendapatkan perawatan selama 23 hari.

Ketua Komda KIPI Jabar Dr Prof Kusnandi Rusmil mengatakan, berdasarkan hasil audit Komnas KIPI 30 April 2021, setelah menjalani perawatan dan rangkaian pemeriksaan dengan CT scan torax (dada), darah dan saraf, SA diagnosa GDS.

“Hasil audit Komnas KIPI, SA 31 tahun wanita mengalami keluhan mata buram dan kelemahan anggota gerak. Mata buram perlahan 12 jam usai imunisasi, dilakukan rujukan ke RS selama 23 hari dari 1 April hingga 23 April. SA sudah menjalani CT scan torax, darah dan fungsi sarafnya dan didiagnosa GBS,” ujar Kusnandi dalam jumpa pers virtual.

Saat ini, lanjut Kusnandi, kondisi SA sudah membaik. Penglihatannya sudah berangsur membaik, dan minggu depan akan kembali kontrol.

Kusnandi menegaskan, masih dari hasil audit Komnas KIPI, saat ini belum ditemukan bukti yang kuat mengenai keluhan gejala klinis SA terkait vaksin berdasarkan dari hasil surveilen KIPI dan Kejadian Ikutan dengan Perhatian Khusus (KIPK).

Sampai 21 April 2021, sudah 20 juta dosis vaksin diberikan pada warga Indonesia dan tidak ditemukan keluhan gejala klinis serupa yang dilaporkan, termasuk dari uji klinis vaksin COVID-19 tahap 1-3.

“Kesimpulannya belum cukup bukti untuk menyatakan antara hubungan mata buram dan kelemahan anggota gerak dengan vaksinasi COVID-19,” kata dia membacakan surat dari Komnas KIPI yang ditandatangani oleh Ketua Komnas KIPI Prof dr Hindra Irawan Satari.

SA didiagnosa menderita Guillain-Barre Syndrome atau GBS yang merupakan penyakit saraf yang jarang ditemukan.

Kusnadi mengatakan, SA sudah terinfeksi virus penyebab GBS dua minggu sebelum vaksin tanpa gejala apapun sehingga tidak terdeteksi saat skrining sebelum divaksin. Buramnya penglihatan dan juga lemahnya anggota gerak secara kebetulan terjadi usai SA mendapatkan vaksin.

Menurut dia, SA mendapatkan imunisasi atau tidak, dampak terinfeksi virus penyebab GBS akan terjadi seperti yang dialami saat ini yaitu buramnya penglihatan dan lemahnya anggota gerak.

“Kalau ada reaksi vaksin yang berat itu dari 1 juta orang yang divaksinasi hanya satu orang yang mengalami tapi itu masih bisa disokong yang lainnya dan terlindungi. Namun efek samping tersebut sangat kecil dibanding dengan manfaat yang akan dirasakan dengan diimunisasi, yaitu lebih banyak keuntungannya,” tutur Kusnandi.

dr Dewi Hawani, spesialisasi syaraf mengatakan, GBS disebakan oleh virus, bakteri pada proses imunologis yang terjadi 2-4 minggu sebelum terjadinya gejala. GBS merupakan penyakit autoimun. Awalnya infeksi virus atau bakteri yang menyerang tubuh seseorang tapi virus bakteri ini tidak langsung merusak syaraf tapi ternyata proses autoimun.

“Sel saraf motorik dan mata pada pasien selnya itu berubah jadi sel bakteri sehingga dikenali oleh sistem imun kita sebagai zat yang harus dimusnahkan maka gejala sistem imun sendiri yang menyerang sel syaraf akibat terinfeksi oleh virus atau bakteri sehingga bukan infeksi langsung tapi akibat proses imunologi yang salah. Memang yang paling sering kelumpuhan tungkai tangan dan yang berat itu kalau ke otot pernafasan,” ujar dia.

Selebihnya, SA saat ini kondisinya mulai membaik dan bukan mustahil untuk bisa disembujkan.

Eni Pokja KIPI Kabupaten Sukabumi mengatakan, saat ini gerakan tangan SA sudah menunjukkan perbaikan, sudah bisa memijat. Namun untuk kaki belum maksimal. SA masih harus menjalani fisioterapi untuk mengembalikan fungsi motoriknya.

Baca juga: Dinkes Sukabumi: Kebutaan guru SMAN 1 Cisolok belum dipastikan akibat vaksinasi

Baca juga: Komnas KIPI: Kesan sementara kelumpuhan Susan tak terkait vaksinasi


 

Pewarta: Ajat Sudrajat

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021