Sekretaris Gugus Tugas Penanggulangan COVID-19 di Jawa Barat (Jabar) Daud Achmad mengatakan adanya sejumlah kepala desa atau kades di provinsi itu yang menolak bantuan sosial (bansos) untuk warga terdampak COVID-19 dikarenakan para kades tersebut kurang mengetahui informasi lebih lanjut tentang bansos.
"Selanjutnya, video viral kepala desa menolak bansos (seperti di Kabupaten Subang), saya menengarai itu karena kurang informasi dari kades dan karena bantuan yang turun tidak berbarengan. ini yang menimbulkan banyak masalah di bawah," kata Daud Achmad di Gedung Sate Bandung, Rabu.
Sebelumnya, video Kepala Desa Jalancagak, Kabupaten Subang, Indra Zaenal Abidil viral di jagat dunia maya karena menolak bansos bagi warga terdampak COVID-19 dari Pemerintah Pusat dan Pemprov Jabar.
Oleh karena itu, kata Daud, Pemprov Jabar akan terus berusaha mensosialisasikan bansos bagi warga terdampak COVID-19 kepada masyarakat dan ia berharap bantuan media massa untuk membantu sosialisasi.
Daud juga memastikan pendataan penerimaan bantuan sosial provinsi terus dilakukan dan hingga saat ini data masih dinamis.
Dia mengatakan berdasarkan peraturan gubernur, pendataan itu dimulai dari DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) yang sama sekali belum tersentuh bantuan dari pusat berupa PKH (program keluarga harapan) atau BPNT (bantuan pangan non-tunai). Setelah disisir yang sudah di-SK-kan berjumlah 445.000 RTS.
"Masalah data ini memang dinamis. Kita harap data ini datang dari RW, berjenjang kemudian sampai ke tingkat provinsi diajukan oleh bupati/wali kota, "by name by address", diiringi surat tanggung jawab mutlak. Nanti pak gubernur mengeluarkan SK tanggung jawab bupati/wali kota. Itu cara pendataannya," katanya.
Ia menuturkan untuk data non-DTKS, ada sembilan pintu dan pihak yang memilah adalah pemerintah tingkat kota atau kabupaten. "Contohnya keluarga A mendapatkan PKH, keluarga B sembako, C dapat dari presiden. Yang memilah siapa, yang memilah kabupaten kota. Dari sekian ribu, kabupaten/kota yang harus memilah. Itu cara untuk membedakannya," kata dia.
Menurut dia, dari 27 kota/kabupaten, baru 13 kota/kabupaten yang sudah beres, sehingga mungkin ada beberapa keputusan gubernur keluar. "Kami berharap hari ini bisa masuk semua. Tadi ada 14 kabupaten/kota yang belum lengkap untuk segera dimasukkan data yang ada. Sementara sekitar 1,4 juta KK dari kabupaten/kota . Nanti SK-nya ada dengan data pasti," ucapnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan pihaknya ingin transparan tentang penerima bansos tersebut dan ingin data ini dibuka. "Namun, apakah penerima mau? Jadi ini bukan data mohon maaf daftar orang terkaya. Ini daftar penerima bantuan. Mereka yang miskin dan data miskin baru sama dengan data COVID," katanya.
"Menurut undang-undang itu tidak boleh. Sama juga dengan data penerima bansos ini. Kalau kami sih inginnya terbuka. Lebih enak. Barangkali nama tetangga anda ada, jadi bisa lebih gampang divalidasi," ujarnya.
Dia mengatakan Pemprov Jabar pada dasarnya tidak ingin ada yang ditutupi terkait data penerima bansos tersebut.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
"Selanjutnya, video viral kepala desa menolak bansos (seperti di Kabupaten Subang), saya menengarai itu karena kurang informasi dari kades dan karena bantuan yang turun tidak berbarengan. ini yang menimbulkan banyak masalah di bawah," kata Daud Achmad di Gedung Sate Bandung, Rabu.
Sebelumnya, video Kepala Desa Jalancagak, Kabupaten Subang, Indra Zaenal Abidil viral di jagat dunia maya karena menolak bansos bagi warga terdampak COVID-19 dari Pemerintah Pusat dan Pemprov Jabar.
Oleh karena itu, kata Daud, Pemprov Jabar akan terus berusaha mensosialisasikan bansos bagi warga terdampak COVID-19 kepada masyarakat dan ia berharap bantuan media massa untuk membantu sosialisasi.
Daud juga memastikan pendataan penerimaan bantuan sosial provinsi terus dilakukan dan hingga saat ini data masih dinamis.
Dia mengatakan berdasarkan peraturan gubernur, pendataan itu dimulai dari DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) yang sama sekali belum tersentuh bantuan dari pusat berupa PKH (program keluarga harapan) atau BPNT (bantuan pangan non-tunai). Setelah disisir yang sudah di-SK-kan berjumlah 445.000 RTS.
"Masalah data ini memang dinamis. Kita harap data ini datang dari RW, berjenjang kemudian sampai ke tingkat provinsi diajukan oleh bupati/wali kota, "by name by address", diiringi surat tanggung jawab mutlak. Nanti pak gubernur mengeluarkan SK tanggung jawab bupati/wali kota. Itu cara pendataannya," katanya.
Ia menuturkan untuk data non-DTKS, ada sembilan pintu dan pihak yang memilah adalah pemerintah tingkat kota atau kabupaten. "Contohnya keluarga A mendapatkan PKH, keluarga B sembako, C dapat dari presiden. Yang memilah siapa, yang memilah kabupaten kota. Dari sekian ribu, kabupaten/kota yang harus memilah. Itu cara untuk membedakannya," kata dia.
Menurut dia, dari 27 kota/kabupaten, baru 13 kota/kabupaten yang sudah beres, sehingga mungkin ada beberapa keputusan gubernur keluar. "Kami berharap hari ini bisa masuk semua. Tadi ada 14 kabupaten/kota yang belum lengkap untuk segera dimasukkan data yang ada. Sementara sekitar 1,4 juta KK dari kabupaten/kota . Nanti SK-nya ada dengan data pasti," ucapnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan pihaknya ingin transparan tentang penerima bansos tersebut dan ingin data ini dibuka. "Namun, apakah penerima mau? Jadi ini bukan data mohon maaf daftar orang terkaya. Ini daftar penerima bantuan. Mereka yang miskin dan data miskin baru sama dengan data COVID," katanya.
"Menurut undang-undang itu tidak boleh. Sama juga dengan data penerima bansos ini. Kalau kami sih inginnya terbuka. Lebih enak. Barangkali nama tetangga anda ada, jadi bisa lebih gampang divalidasi," ujarnya.
Dia mengatakan Pemprov Jabar pada dasarnya tidak ingin ada yang ditutupi terkait data penerima bansos tersebut.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020