Bandung (ANTARA) - Guru Besar Institut Teknologi Bandung Prof Suhono Harso mengatakan pemindahan Ibu Kota Indonesia harus memerlukan aspek yang terintegrasi dengan menerapkan sistem pemerintahan 4.0 dengan menggunakan teknologi yang memudahkan kerja pemerintahan.
"Saat ini kehadiran teknologi ini tentu bisa memberikan kontribusi bidang bidang lain seperti bidang pendidikan, kesehatan , perdagangan hingga pemerintahan," kata Suhono yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Prakarsa Indonesia Cerdas (APIC) di Bandung, Rabu.
Menurut dia saat ini wacana pemindahan Ibu Kota Indonesia mencuat kembali akhir bulan April lalu, bahkan isu tempat yang diusulkan seperti Jonggol, Kertajati di Kabupaten Majalengka, Jabar, hingga Kalimantan dan Sulawesi terus menjadi bahan diskusi.
Dia mengatakan masing-masing punya dasar dan alasan dengan faktor seperti biaya, teknis, sosial, keamanan, kenyamanan, ekonomi hingga lingkungan, termasuk juga masalah pemerataan dan mungkin politik.
Akan tetapi, kata dia, masih jarang yang membahas (konsider) beban pemerintahan yang akan diemban oleh ibu kota ke depan, katakan 100 tahun kemerdekaan tahun 2045, waktu selama 25 tahun ke depan cukup untuk melakukan rencana pembangunan dalam rangka pencapain cita cita bangsa.
"Transformasi pada hakekatnya adalah perubahan dari satu kondisi ke suatu kondisi yang diharapkan. Makna hijrah yang sering dimaknai pindah lokasi, bisa diartikan juga perubahan," katanya.
Dia mengatakan lima tahun terakhir masyarakat juga disibukan dengan hadirnya suatu revolusi industri yang dikenal dengan Revolusi Industri 4.0, kehadiran disrupsi teknologi seperti IoT, Cloud Computing hingga kecerdasan buatan telah mengubah cara pabrik atau industri berproses.
Pemerintahan yang mempunyai fungsi perencaanaan, pelaksanaan, pengaturan hingga pengawasan pembangunan, kata dia, tentu sangat bisa terbantukan oleh teknologi informasi, kerja pemerintahan akan lebih efektif dalam melakukan observasi, orientasi, keputusan dan tindakan sistem pemerintahan.
"Beban atau proses yang selama ini dilakukan untuk fungsi administrasi, baik dalam monitoring, pelaporan rapat bahkan proses pengambilan keputusan dengan mudah terbantukan oleh teknologi," katanya.
Ia menegaskan, teknologi robot, komputasi, jaringan, hingga kecerdasan tiruan (Artificial Intellegence) sangat dimungkinkan mengurangi beban admistrasi pemerintahan.
Bahkan, lanjut dia, bisa dilakukan penyimpanan dokumen secara terdistribusi, jika ada bencana, data bisa disimpan secara "mirror" di beberapa lokasi atau yang disebut sebagai "Data Recovery Center", termasuk pertemuan, rapat, koordinasi bisa dilakukan melalui jejaring video, teks dan suara.
"Sejatinya pemerintah juga sedang siapkan sistem pemerintahan berbasis elektronik, walau progresnya, sejak ada Inpres e-Gov 2003 hingga Perpres SPBE 2018 masih belum membanggakan, karena mungkin ekosistem pendukungnya belum siap, ekosistemnya menyangkut sarana dan prasarana, regulasi hingga sumber daya manusia," jelasnya.
Dalam kerangka 25 tahun kedepan menuju 100 tahun kemerdekaan Indonesia, kata Suhono, jika progres Making Indonesia 4.0 berhasil maka proses pemerintahan mestinya dengan mudah dibantu oleh teknologi informasi.
Upaya pemindahan Ibu Kota atau tetap di ibu Kota lama, menurut Suhono, perlu memperhatikan kebutuhan ibu kota dan kemampuan teknologi dalam membantu tugas dan fungsi ibu kota jangka panjang.
Roadmap pemerintahan berbasis elektronik (smart government) kata dia, perlu dibuat dan dikaji lebih rinci, kebutuhan ruang Aparatur Sipil Negara, pertemuan, dan sistem terdistribusi bisa mengurangi beban Ibu Kota.
Lebih lanjut Suhono mengungkapkan prediksiknya tahun 2045, Aparatur Sipil Negara dan penduduk akan diisi oleh kaum yang saat ini banyak disebut sebagai generasi millenia, yaitu generasi yang tidak perlu kantor tetap, lebih bisa kerja di "co working space" atau sistem kerja gabungan non formal dengan dunia virtual.
"Tentu ini akan berpengaruh terhadap rancangan "government co working space. Masalah infrastructure sharing, tidak boleh dilupakan juga masalah keamanan fisik dan virtual. Hoax dan hacker perlu di antisipasi lebih baik lagi," ujarnya.
Untuk itu, Suhono memandang pemindahan ibu kota perlu dipikirkan lebih masak lagi, tetapi yang lebih penting lagi bagaimana visi atau bentuk pemerintahan yang berakibat kebutuhan fisik dan virtual yang saling melengkapi.
Seiring dengan revolusi industri, kata dia, maka revolusi pemerintahan juga perlu disiapkan dengan baik, toll langit, jalan darat hingga maritim menjadi saling sinergi dalam suatu platform sistem cerdas.
Sementara itu, Gubernur Jawa Barat M Ridwan Kamil atau Emil mengatakan terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara ke luar Pulau Jawa, dirinya telah membaca kajian dari Bappenas yang memungkinkan Ibu Kota dipindah ke Pulau Kalimantan.
"Dan saya kira itu sudah jadi pertimbangan Bappenas. Pak Jokowi memutuskan karena saya lihat langsung hasil penelitian Bappenas kalau di poin-poin kelihatannya poin tertinggi ngumpulnya di Kalimantan," kata Emil.
Gubernur Emil menilai secara penilaian Pulau Kalimantan relatif paling memungkinkan untuk dijadikan pusat pemerintahan.
"Jadi bukan yang lain tidak mungkin tapi setelah diskoring isunya bukan hanya lokasi, aman dari bencana, infrastruktur dan lainnya," kata dia.