Oleh: Dyah Sulistyorini *)
Intelegensia direduksi hanya sebatas akal dan panca indera, manusia modern meninggalkan naluri, nurani, intuisi, dan imajinasi, demikian cuplikasi Ngaji Filsafat oleh doktor bidang Ilmu Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fahruddin Faiz.
"Manusia modern mereduksi intelegensia hanya sebatas rasio, ini bunuh diri" ucap dia mengacu isi buku Nestapa Manusia Modern karya Syed Hussein Nashr profesor emeritus studi Islam di George Washington University, Amerika Serikat.
Nada suara Fahruddin cenderung tenang, konstan, dan pelan saat memaparkan materi Ngaji Filsafat di Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta yang diunggah di https://www.youtube.com/watch?v=1BfRDJ3-BpI.
Ngaji Filsafat adalah nama salah satu kajian rutin di Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta di samping kajian tentang Studi Quran dan banyak lagi.
"Jangan dikira modern itu puncaknya peradaban manusia, ndak," kata Fahruddin.
Faktanya memang banyak peradaban masa lalu yang lebih canggih, seperti peradaban Mesir kuno, China kuno, Babilonia, termasuk Islam yang jauh lebih luar biasa dibandingkan dengan peradaban modern hari ini.
Peradaban modern mereduksi banyak khazanah dan mereduksi banyak hikmah. Peradapan modern adalah peradaban yang miskin karena hanya memahami sains yang sifatnya empiris dan rasional.
Di luar itu, manusia modern menyerah, bahkan metafisika dibuang-buang, artinya kalau ada hal-hal yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera maka hal itu diangap tidak ada.
Padahal banyak kapasitas di luar akal yang juga dapat menangkap pengetahuan, yakni naluri, nurani, intuisi, dan imajinasi.
Untuk menggambarkan kapasitas intelegensia manusia yang turun derajatnya itu, Fahruddin mengibaratkan sebagai sebuah komputer yang speksifikasinya canggih namun hanya dibuat untuk menulis (teks), sayang sekali (Jawa: eman-eman).
Ternyata degradasi peran intelegensia itu hanyalah salah satu dari nestapanya manusia modern, problem lainnya adalah misosophia yakni membenci kebijaksanaan, desakralisasi pengetahuan, dan degradasi metafisik.
Salah satu kritik Nashr terhadap peradaban modern adalah sifatnya yang reduktif sehingga menyebabkan banyak khazanah lainnya lenyap.
Kalau dalam Islam yang lenyap adalah spiritualitas melalui penghancuran tasawuf, hal ini menyebabkan khazanah batin yang hilang.
Bidang-bidang spiritualitas hilang dihancurkan atas nama rasionalitas dan formalisme agama.
Padahal, menurut Nashr spiritualitas dapat menjadi solusi atas krisis tersebut.
Dalam konteks kehidupan mahasiswa, Fahruddin mengajak audiens untuk melampaui hal-hal yang sifatnya rasional.
Apabila agama diibaratkan sebagai jasad maka tasawuf adalah rohaninya, sehingga tradisi tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh.
Menurutnya memang penting memahami agama secara empiris, secara rasional namun jangan terpaku akan hal itu.
Keterpakuan pada hal yang bersifat rasio saja akan menyebabkan ibadah terasa kering seolah hanya kegiatan rutin semacam apel kehadiran saja.
Ditelusuri
Syed Hussein Nashr adalah intelektual terkemuka dalam diskursus relasi sains dan agama. Jejak digital karyanya mudah ditelusuri.
Bukunya berjumlah lebih dari 50 dengan ratusan karya termasuk jurnal. Buah pikirannya diabadikan dalam bahasa Persia, Inggris, Prancis, dan Arab, meliputi topik-topik seperti metafisika tradisionalis, agama dan lingkungan, tasawuf, dan filsafat Islam.
Konsep yang ditawarkan Nashr lewat buku Nestapa Manusia Modern adalah ilmu pengetahuan bertumpu pada prinsip unitas, yaitu paham kesatupaduan dan interelasi dari segala yang ada, sehingga memungkinkan terjadinya integrasi pengetahuan dan tindakan manusia secara harmonis.
Nashr menawarkan konsep Scientia Sacra (pengetahuan agung) agar nilai kesucian dari Islam dapat menjiwai ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat.
Di tangan Fahruddin yang pernah menulis buku berjudul Filosof Juga Manusia (2016), buku karya Nashr yang terkesan rumit itu menjadi mudah dicerna.
Ngaji Filsafat berjudul Nestapa Manusia Modern ini diunggah oleh akun Media Koenji di YouTube yang terbagi dalam lima sesi dengan durasi masing-masing sekitar 20 sekian menit. Sayangnya, suasana kelas saat diskusi berlangsung tidak ikut diunggah.
Pada salah satu segmen Fahruddin menyatakan bahwa Islam menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu termasuk Ngaji Filsafat ini agar wawasan audiens menjadi besar dan luas.
Fahruddin mengatakan kalau seseorang wawasannya luas maka tidak akan kaget dengan perbedaan.
Menurut dia, di setiap gagasan ada sisi pasnya masing-masing kalau konteksnya tepat.
"Orang yang wadahnya luas, biasanya lebih mudah menangkap perbedaan, makanya ciri orang yang ilmuya luas adalah 'ndak gampang ngamuk, 'ndak gampang marah, kalau kalian mudah marah itu karena wadahmu kurang besar," kata dia diselingi suara tawa audiens.
Pasang surut kegiatan terjadi di Masjid Jenderal Sudirman, masjid yang cukup tua ini (berdiri 1394 H) rupanya pernah menjadi sarang Islam radikal.
Ketika itu, pada 1978 sekelompok anak muda yang memimpikan berdirinya Negara Islam Indonesia melakukan rapat di masjid terkait dengan deklarasi Darul Islam (DI) Yogyakarta.
Puji syukur saat ini Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta telah bersih dari paham radikalisme dan melakukan sejumlah kegiatan dalam bingkai spiritual, mengasah intelektual, sambil menguri-uri (melestarikan) kebudayaan.
*) Penulis adalah alumni Paramadina Graduate School of Communication
Baca juga: Telaah - Berpikir jernih menyambut Pilpres 2019
Baca juga: Artikel - Semangat Desa Cisayong bangun lapangan berstandar FIFA