Jauh di sebuah kota yang dijuluki kota Tahu, kota yang terbelah oleh dua sungai Histori dan Kali Branas yakni Kota Kediri. Tempat Makhya mendapatkan beasiswa sejak MTs karena keterbatasan ekonomi orang tua.
Makhya mengungkapkan bahwa, saat masa SMA tepatnya pada tahun 2019 keluarganya hanya memiliki sebuah motor lawas seharga lima juta rupiah. Bahkan, Makhya dan keluarga tidak memiliki Hp (Handphone) dan juga laptop. Di tengah ekonomi yang sedang serba keterbatasan Makhya berjuang menjadi seorang tulang punggung keluarga.
"Pendapatan bapak tidak menentu, ditambah dengan kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan. Saat tahun 2019 saya mulai bekerja serabutan, mulai jualan figura foto, mengajar ngaji dan jasa pembuatan mahar," ungkap Makhya saat diwawancarai di UIN Bandung dengan raut wajah penuh semangat.
Namun, suatu ketika malang tidak dapat diraih untung tidak dapat diolak. Tepat pada awal tahun 2021 Makhya mendapati sang cinta pertamanya itu terbujur kaku, di hari ia diterima kuliah di UIN Bandung akibat sakit yang diderita selama ini.
Makhya mengungkapkan, ayahnya pergi ke pangkuan Ilahi untuk selama-lamanya. Makhya harus jadi satu-satunya tulang punggung keluarga.
"Di tahun 2021 bagi saya adalah tahun yang memilukan, ayah saya meninggal dunia dan di tahun yang sama ibu saya harus operasi kanker ganas. Sehingga, saya satu-satunya yang harus bekerja untuk sekolah adik dan biaya ibu saya yang sampai hari ini masih harus perawatan rutin,’’ tutur Makhya dengan menitikan air mata.
Titik balik kehidupan seorang Makhya
Makhya mengungkapkan kehidupan harus terus berlanjut, masa lalu bersama ayahnya hanya bisa ia kenang dan ia bekalkan surat Al-Fatihah dan doa-doa.