Pendukung kandidat, sambung Fins, mendapatkan 35 temuan kasus hoaks dengan rincian 9 hoaks saat pra pilpres dan 26 hoaks pasca-pilpres. Kemudian, kandidat mendapatkan 25 hoaks untuk pra-pilpres sekitar 7 temuan dan pasca-pilpres 18 kasus hoaks.
Ada 20 kasus hoaks yang menyasar KPU dengan 6 kasus hoaks saat pra-pilpres, sedangkan 14 temuan pasca-pilpres. Lebih lanjut, institusi kepolisian menemukan 15 kasus yang menyasar pra-pilpres sebanyak 3 hoaks dan pasca-pilpres 12 temuan hoaks.
Lalu, pemerintah pusat mendapatkan 9 hoaks, sekitar 2 hoaks saat pra-pilpres dan 7 temuan pasca-pilpres. "Beberapa kami catat seperti pendukung dan kandidat ini cukup masuk akal karena memang perkaranya di situ," tambahnya.
Fins menilai Pilpres 2019 sangatlah berbeda dengan Pilkada 2017 yang lebih banyak menyerang kandidat di Pilkada DKI Jakarta. Sementara pada Pilpres 2019, jumlah hoaks lebih banyak menyerang pendukung kandidat.
Adapun proses yang jadi target hoaks pra-pilpres saat kampanye dan pemungutan suara, sedangkan pasca-pilpres menyasar sengketa dan penghitungan suara. Selain itu, ia juga memperkirakan pada Pilpres 2024, temuan hoaks akan menyasar saat sengketa pemilu.
"Dua puncak lain saat masa kampanye dan penghitungan suara. Ini dua puncak yang bisa kita antisipasi juga," tutur Fins.
Untuk tindak lanjut, 39 temuan hoaks dilakukan oleh organisasi pemeriksa fakta. Pemerintah baru melakukan 19 persen.
"Perlu meningkatkan kolaborasi antara pemerintah dan organisasi koalisi sipil 9 persen," ucapnya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Facebook masih menempati posisi pertama penyebaran hoaks di awal 2023