Singapura (ANTARA) - Harga minyak naik tipis di perdagangan Asia pada Senin sore, setelah anjlok 8,0 persen pekan lalu ke level terendah lebih dari tiga minggu karena kekhawatiran bahwa pertumbuhan yang lebih lambat di ekonomi-ekonomi utama dapat membatasi konsumsi bahan bakar melebihi tanda-tanda pemulihan permintaan di China, importir minyak utama dunia.
Minyak mentah berjangka Brent terangkat 32 sen atau 0,4 persen, menjadi diperdagangkan di 80,26 dolar AS per barel pada pukul 07.00 GMT. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS bertambah 22 sen atau 0,3 persen, menjadi diperdagangkan di 73,61 dolar AS per barel.
Jumat lalu (3/2/2023), WTI dan Brent jatuh 3,0 persen setelah data pekerjaan AS yang kuat menimbulkan kekhawatiran bahwa Federal Reserve akan terus menaikkan suku bunga, yang pada gilirannya mendorong dolar. Greenback yang lebih kuat biasanya mengurangi permintaan minyak berdenominasi dolar dari pembeli yang membayar dengan mata uang lain.
Sementara kekhawatiran resesi mendominasi pasar pekan lalu, pada Minggu (5/2/2023) Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA) Fatih Birol menyoroti bahwa pemulihan China tetap menjadi pendorong utama harga minyak.
IEA memperkirakan setengah dari pertumbuhan permintaan minyak global tahun ini akan datang dari China, di mana Birol mengatakan permintaan bahan bakar jet melonjak.
Dia mengatakan tergantung pada seberapa kuat pemulihan itu, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, bersama-sama disebut OPEC+, mungkin harus menilai kembali keputusan mereka untuk memangkas produksi sebesar 2 juta barel per hari hingga 2023.
"Jika permintaan naik sangat kuat, jika ekonomi China pulih, maka menurut saya, akan ada kebutuhan bagi negara-negara OPEC+ untuk melihat kebijakan (produksi) mereka," kata Birol kepada Reuters di sela-sela konferensi di India.