Bandung (ANTARA) -
Indonesia Tour Leader Association (ITLA) atau Asosiasi Perkumpulan Pemimpin Perjalanan Wisata menyatakan pihaknya berencana melakukan pertemuan dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) sektor pariwisata untuk berkolaborasi memajukan lagi pariwisata di Indonesia.
"Kita baru mengadakan kiff off roadshow dan gathering di Bandung. Jadi tujuannya adalah kita ingin silaturahmi dengan pentahelix di sektor pariwisata. Kita ingin bersilaturahmi dengan pemerintah, industri, akademisi, komunitas dan juga dengan media massa. Pasca pandemi ini, harus kolaborasi enggak bisa maju sendiri," kata President Indonesia Tour Leader Association (ITLA), Robert A Moningka, di Bandung, Jawa Barat, Minggu.
Robert menuturkan ITLA yang memiliki anggota sekitar 1.700 ini ingin membagikan pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya selama bertugas di dalam dan luar ini dengan pihak lainnya yang ada di pentahelix (lima unsur) sektor pariwisata Indonesia, yaitu unsur pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media.
"Jadi ini bisa kami share, kami bisa berkontribusi untuk memajukan pariwisata. Jadi kita yang proaktif. Rencana akan dilakukan di tujuh kota seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Bali, Makassar, Batam dan Medan. Kalau nanti ditambah Pekanbaru dan Palembang," kata dia.
Robert menuturkan sampai saat ini, faktor sumber daya manusia atau SDM masih menjadi tantangan terbesar bagi pengembangan sektor pariwisata di Indonesia.
Menurut dia, selama ini Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa namun untuk mengembangkannya, diperlukan SDM yang mumpuni.
"Jadi kami melihat SDM di kita berupa kompetensinya, yakni pengetahuan, keterampilan, dan attitude. Seperti sikap ramah. SDM pariwisata yang memiliki sikap ramah, maka ia akan sabar dan ramah ketika berhadapan dengan berbagai persoalan di lapangan," kata dia.
Akan tetapi, lanjut dia, saat sikap ramah ini hanya ada di ucapan namun tidak diperbuatan, maka keramahannya akan dipertanyakan.
Dia mengingatkan pariwisata bukan hanya bicara ekonomi, tapi hospitality atau keramahtamahan sehingga jangan menjadi pariwisata zombi atau pariwisata tanpa hati.
"Contohnya ialah saat kita datang ke beberapa tukang roti. Dengan bahan dan cara buat yang sama, wisatawan akan merasakan mana roti yang dikerjakan dengan hati dan tidak. Jadi dalam pelayanan harus ada rasa," kata dia.
Dia menuturkan pengalaman ini akan lebih menarik apabila SDM pariwisata memiliki kompetensi yang mumpuni, sehingga wisatawan akan selalu kembali untuk berkunjung.
Contoh lainnya, kata Robert, Indonesia dulu dikenal sebagai negara paling ramah di dunia dan pascakrisis 1998, julukan tersebut direbut oleh Thailand.
"Dan inilah yang harus direbut kembali oleh kita. Jadi baru tahun lalu ada ada perbaikan, saat pandemi COVID-19," kata Robert.