Jakarta (ANTARA) - Jalan terjal reformasi ekonomi mengadang ketika Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada Oktober 2022 lalu memenangkan gugatan Uni Eropa atas Indonesia terkait kebijakan larangan ekspor bijih nikel.
Kekalahan di WTO sempat dikhawatirkan menjadi batu sandungan untuk mempercepat hilirisasi dan industrialisasi di Tanah Air. Bangsa yang kaya akan sumber daya alam ini tentunya sudah jera setelah puluhan tahun hanya menjadi eksportir bahan mentah tanpa menghasilkan nilai tambah.
Namun pemerintah sudah mengambil sikap. Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) “ngotot” bahwa hilirisasi komoditas tambang harus terus berjalan.
Presiden memahami larangan ekspor bahan mentah tambang dari Indonesia akan merugikan banyak negara lain yang selama ini terlena dengan kebijakan longgar atas sumber daya alam Indonesia.
Dalam hal nikel, Uni Eropa (UE) merasa tidak nyaman dengan larangan ekspor mineral logam itu karena dapat mengganggu pertumbuhan industri baja antikarat (stainless steel) di negara-negara anggota blok tersebut.
Nikel kerap disebut sebagai the mother of industry karena pengolahan jenis logam ini menghasilkan produk turunan ke banyak sektor yang dibutuhkan manusia seperti sendok, baterai, telepon genggam, hingga kendaraan.
Nikel juga diprediksi akan menjadi primadona seiring dengan meningkatnya kebutuhan bahan baku mineral logam itu untuk produksi baterai dan kendaraan listrik yang digadang-gadang sebagai salah satu industri masa depan.
Indonesia menguasai lebih dari 20 persen total ekspor nikel dunia. Indonesia juga menjadi eksportir nikel terbesar kedua untuk industri baja negara-negara Uni Eropa.