New York (ANTARA) - Harga minyak beragam pada penutupan perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), setelah sesi bergejolak karena penyebaran varian Delta COVID-19 memicu kekhawatiran tentang permintaan bahan bakar, tetapi kerugian dibatasi oleh perkiraan bahwa pasokan minyak mentah akan ketat sepanjang sisa tahun ini.
Harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman September terdongkrak 40 sen atau 0,5 persen, menjadi mengakhiri sesi di 74,50 dolar AS per barel. Harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate(WTI) AS untuk pengiriman September tergelincir 16 sen atau 0,2 persen, menjadi menetap di 71,91 dolar AS.
Di awal sesi, kedua kontrak acuan turun lebih dari satu dolar AS per barel.
"Risk appetite (selera risiko) jelas meningkat secara besar-besaran selama seminggu terakhir dan sama seperti aset berisiko lainnya, minyak mengambil jeda menjelang beberapa hari yang intens," kata Analis Pasar Senior OANDA, Craig Erlam.
“Pemulihan kuartal kedua telah membuat denyut nadi berpacu dengan prospek apa yang akan datang. Gelombang COVID berikutnya adalah risiko negatif untuk itu tetapi tidak sejauh lonjakan sebelumnya. Optimisme masih kuat dan untuk alasan yang bagus.”
Kasus Virus Corona terus meningkat selama akhir pekan, dengan beberapa negara melaporkan rekor peningkatan harian dan memperpanjang tindakan penguncian. China, importir minyak mentah terbesar di dunia, juga mencatat peningkatan kasus COVID-19.
Beberapa orang khawatir impor minyak mentah China tahun ini dapat tumbuh pada tingkat paling lambat dalam dua dekade meskipun diperkirakan ada kenaikan dalam tingkat penyulingan di paruh kedua, karena tindakan keras Beijing terhadap penyalahgunaan kuota impor yang dikombinasikan dengan dampak harga minyak mentah yang tinggi.
“Varian Delta masih menyebar dan China mulai menekan sejumlah teapot (pemurni independen), sehingga pertumbuhan impor mereka tidak akan sebesar itu,” kata Manajer Komoditas Senior Phillips Futures Singapura, Avtar Sandu.
Sementara itu harga minyak mendapat dukungan dari melemahnya dolar AS. Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya, turun 0,28 persen menjadi 92,6487 pada akhir perdagangan Senin (26/7/2021). Secara historis, harga minyak berbanding terbalik dengan harga dolar AS.
Laporan dari India juga menunjukkan permintaan minyak melemah, kata analis Commerzbank dalam sebuah catatan.
"Impor minyak pada Juni turun ke level terendah sembilan bulan, sementara pemrosesan minyak mentah hanya sedikit di atas level terendah Mei, yang dipengaruhi oleh pembatasan pandemi," kata mereka.
Namun, kedua patokan minyak mentah pekan lalu pulih dari penurunan 7,0 persen di awal pekan dan menandai kenaikan mingguan pertama mereka dalam dua hingga tiga minggu, didorong oleh permintaan AS yang kuat dan ekspektasi pasokan yang ketat.
Persediaan di Cushing, Oklahoma, titik pengiriman untuk minyak mentah berjangka AS, turun sekitar 2,6 juta barel pekan lalu, kata para pedagang, mengutip data dari Wood Mackenzie.
Pasar minyak global diperkirakan akan tetap defisit meskipun ada keputusan oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, yang secara kolektif dikenal sebagai OPEC+, untuk meningkatkan produksi sepanjang sisa tahun ini.
“Tampaknya ada pertempuran di dalam kompleks energi antara defisit pasokan yang ada yang direkayasa oleh OPEC+ dan ancaman varian Delta COVID-19 di wilayah dengan tingkat vaksinasi yang rendah,” kata Analis StoneX, Kevin Solomon.
“Penerimaan vaksinasi yang lambat akan terus membatasi kenaikan permintaan minyak di wilayah tersebut, dan akan ada periode pemulihan yang terputus-putus dalam beberapa bulan mendatang.”
Baca juga: Harga minyak naik tipis, lanjutkan reli di tengah perkiraan ketatnya pasokan
Baca juga: Harga minyak melonjak dua persen lebih dipicu ekspektasi mengetatnya pasokan
Baca juga: Harga minyak melonjak meski stok AS meningkat, Brent terangkat 4,2 persen