Jakarta (ANTARA) - Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa sore terkoreksi tertekan imbal hasil surat utang atau obligasi Amerika Serikat (AS).
Rupiah ditutup melemah tujuh poin atau 0,05 persen ke posisi Rp14.410 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp14.403.
"Memang publikasi trade balance masih belum bisa meredam volatilitas pasar. Tekanan masih tinggi, terkait sangat erat dengan pergerakan yield US treasury 10 year," kata Analis Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto di Jakarta, Selasa.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) sebesar 2,01 miliar dolar AS pada Februari 2021. Nilai ekspor tumbuh 8,56 persen (yoy), sementara nilai impor tumbuh 11,86 persen (yoy) pada Februari 2021.
Imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 10 tahun sendiri saat ini masih tercatat di level yang cukup tinggi di kisaran 1,6 persen.
Rully menuturkan pelaku pasar juga tengah menanti hasil rapat bank sentral AS, Federal Reserve (Fed), setelah Presiden AS Joe Biden mengesahkan paket stimulus senilai 1,9 triliun dolar AS.
"Pasar menunggu sinyal dari The Fed besok," ujar Rully Arya.
Dalam jangka menengah panjang Rully memperkirakan rupiah akan bisa kembali ke kisaran Rp14.200 per dolar AS hingga Rp14.300 per dolar AS karena likuiditas global masih cukup tinggi.
Rupiah pada pagi hari dibuka stagnan di posisi Rp14.403 Rp14.395 per dolar AS hingga Rp14.423 per dolar AS.
Sementara itu kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Selasa menunjukkan rupiah melemah Rp14.424 per dolar AS, dibandingkan posisi pada hari sebelumnya Rp14.418 per dolar AS.
Baca juga: Kurs Rupiah menguat didukung penurunan imbal hasil obligasi AS
Baca juga: Kurs rupiah Selasa pagi menguat 3 poin
Baca juga: Kurs rupiah ditutup terkoreksi dipicu kenaikan imbal hasil obligasi AS