Jakarta (ANTARA) -
Pengelola Masjid Jami Angke Tambora, Jakarta Barat menyebut tempat ibadah tersebut memiliki arsitektur unik dan bersejarah sebab di setiap ornamennya menunjukkan simbol persatuan antaretnis.
Ketua Bidang Bangunan dan Sejarah Masjid Jami Angke Muhammad Abryan Abdillah menjelaskan antaretnis yang tinggal di sekitar wilayah tersebut pada zaman dahulu disimbolkan dalam perpaduan unsur arsitektur Hindu Bali, Belanda dan Tiongkok.
"Atap masjidnya arsitektur Hindu Bali dan Tiongkok, pintunya ukiran bunga Hindu Bali, pilarnya juga perpaduan Belanda dan Tiongkok, di atapnya ada seperti nanas, itu simbol kerukunan. Jadi, masjid ini sudah berbicara tentang persatuan,” ujar Abryan, di Jakarta, Kamis.
Dia menyebut tempat ibadah yang dibangun pada 1761 itu dirancang oleh seorang arsitek Tiongkok muslim Syaikh Liong Tan, yang makamnya terletak di belakang masjid itu.
Keberadaan bangunan yang merupakan cagar budaya tersebut awalnya sebagai tempat untuk berembug dan merancang strategi perang.
Pada zaman itu, terjadi tragedi Angke yakni ketika Belanda membantai etnis Tionghoa akibat keterpurukan ekonomi dan perdagangan. Sebagian etnis Tionghoa kemudian melarikan diri ke Kampung Angke dan dilindungi penduduk asli di sana.
Seiring berkembangnya warga yang memeluk agama Islam, kebutuhan rumah ibadah menjadi pertimbangan sehingga tempat berembug antaretnis itu dibangun menjadi masjid.
Beberapa puluh tahun lalu, kata Abryan, masjid tersebut memiliki warna dominan merah dan emas yang menunjukkan adanya akulturasi budaya Tionghoa di lingkungan itu.
Namun pada 2017, ahli konservatori cagar budaya menyarankan agar bangunan tersebut tetap seperti bentuk aslinya hingga akhirnya Masjid Jami Angke dominan dengan warna natural dinding putih dan coklat dari kayu jati.
Abryan menjelaskan kebanyakan dari penghuni Gang I Masjid Angke Tambora atau berdekatan dari masjid itu justru merupakan etnis Tionghoa sehingga warga di sana punya tradisi unik ketika Imlek seperti berbagi kue-kue.
"Seperti Lebaran saja, jadi dari kami orang asli sini dan muslim memberi kue kepada etnis Tionghoa dan diterima. Selanjutnya, mereka membalasnya pakai kue keranjang,” ujar dia.
Selain itu di Hari Imlek, pemukiman di sekitar masjid itu banyak lalu lalang warga etnis Tionghoa yang berkunjung ke sanak saudaranya. Warga asli Angke membantu mengatur parkiran mobil dan menyediakan jasa ojek payung.
Namun, di situasi pandemi COVID-19, Abryan tak dapat membayangkan begitu sepinya perayaan Imlek tetangganya di sekitar Masjid Jami Angke.
“Mungkin nanti jarang ada yang membantu parkirkan mobil atau ojek payung, tapi kita nantikan saja,” ujar dia.